Prof. Suteki , Ubah Madesu Jadi Pelita


TintaSiyasi.com -- Siapa yang tak mengenal Profesor Suteki? Sosok ahli hukum ini dikenal teguh dalam memegang prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Namanya kian luas dikenal publik pasca tindakan represif yang pernah diterimanya.

Sekitar lima tahun lalu, tepatnya pada tgl 23 Oktober 2017 Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum. diminta untuk memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai ahli hukum dalam sidang Judicial Review terkait dengan penerbitan Perppu Ormas nomor 2 tahun 2017. Lalu, pada 1 Februari 2018, ia juga memberikan keterangan ahli pada sidang PTUN perkara pencabutan Badan Hukum Perkumpulah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Terkait hal itu, sebagai seorang ahli hukum, dosen dan ilmuwan, ia lantang menyampaikan kebenaran ilmu dengan argumentasi yang logis dan berlatar belakang filsafat, serta teori hukum dan praktik yang benar dalam penerapan teori hukum dan hal yang terkait di dalamnya. 

Di dalam maupun di luar sidang, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) itu menyuarakan ketidaksetujuannya pada langkah Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Ormas 2/2017 yang kemudian menjadi UU Ormas no 2/2017. 

Pria kelahiran 2 Februari 53 tahun lalu itu juga tidak setuju dengan langkah pemerintah mencabut badan hukum HTI. Sebab, ia nilai langkah itu tidak dilakukan menurut proses hukum yang semestinya. Padahal, menurutnya, langkah-langkah pembubaran ormas telah sangat demokratis diwadahi dalam undang-undang Ormas nomor 17/2013.

“Saya tidak setuju dengan Perppu Ormas dan pencabutan badan hukum ormas yang tidak dilakukan secara due process of law,” tuturnya dikutip TintaSiyasi.com dari kanal YouTube Prof.Suteki dalam Deep Talk with Profesor#3 Edisi Spesial Milad: Prof. Suteki: Teaching Progressive Law, Finding Repressive Law (Pengajar Hukum Progresif Kena Sanksi Represif), Sabtu (4/2/2023).

“Tidak bisa semau gue pemerintah itu dengan prinsip contrarius actus, pokoknya, siapa yang menerbitkan, bisa langsung mencabut. Enggak bisa begitu. Mesti lewat pengadilan dulu. Baru dinyatakan salah, ya, baru bisa mencabut. Jadi, mencabutnya itu atas perintah putusan pengadilan, bukan putusan badan eksekutif sendiri,” kritiknya.

Sayangnya, argumentasi dan aspirasi yang disampaikan Prof.Suteki itu tidak disambut pemerintah dengan tangan terbuka. Ketidaksetujuannya terhadap penerbitan Perppu Ormas justru dianggap sebagai tindakan melanggar disiplin berat. 

Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah puluhan tahun mengabdikan diri pada negara dan menjadi dosen yang mencerdaskan ribuan mahasiswa itu dianggap tidak setia terhadap pemerintah. Tak ayal, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 pun seakan menjadi ‘alat gebuk’ atas sikap kritisnya. 

Pada 28 November 2018, Prof. Suteki dicopot dari jabatan Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum dan Ketua Senat Fakultas Hukum dan anggota litbang di universitas. Bahkan, rektor yang selama ini memahami kinerjanya di universitas, juga memberhentikannya dari beberapa jabatan penting dan beberapa jabatan lain di luar kampus. 

Prof. Suteki dilarang mengajar di Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Undip. Mirisnya lagi, ia dilarang mengajar mata kuliah Pancasila yang sudah 24 tahun ia tekuni. Atas permintaan Rektor Undip juga, sang Profesor diberhentikan mengajar di Akpol. Selain itu, ia tidak boleh diorbitkan dalam seminar nasional maupun internasional di Undip.

Filsafat Rumput Teki

Walau seribu anjing menyalak, gunung takkan runtuh. Begitulah peribahasa yang tepat tuk menggambarkan keteguhan Prof. Suteki dalam memegang prinsip yang diyakininya. Kehilangan jabatan yang bisa jadi berpengaruh pada nominal pendapatan, sama sekali tak membuatnya surut, sekalipun ketika teman tak membela, bahkan meninggalkannya.

Tindakan represif yang diterimanya lima tahun lalu itu diakuinya sebagai ujian yang tidak mudah. Kehilangan berbagai jabatan pastinya berpengaruh pada nominal pendapatan. Tentu saja situasi sulit ini pun dirasakan oleh keluarganya.

Namun, ia meyakini, sekalipun orang-orang ingin menutup pintu rezekinya secara zalim, Allah pasti tetap akan membukakan pintu rezeki lainnya. Baginya, rezeki bukan semata berupa sejumlah nominal pendapatan.

Ujian yang dihadapi Prof. Suteki tak hanya sampai di situ. Dalam situasi sulit, tak sedikit pun pembelaan dari teman sejawat ia temukan. Bahkan, belakangan ia ketahui, sanksi yang diterimanya pun karena teman sejawatnya. Teman yang sering bersamanya memperjuangkan Undip agar lebih baik. “Tidak ada teman sejawat, apalagi jiwa corsa sesama profesor. Mereka lebih suka dalam comfort zone daripada membela sejawat yang nota benenya tidak melakukan kejahatan,” sesalnya.

Stigma negatif dilekatkan padanya. Seiring propaganda deradikalisasi yang kerap dialamatkan kepada umat Islam yang teguh memperjuangkan syariat Islam ataupun pihak-pihak yang kritis terhadap rezim, label ‘Profesor Radikal’ pun tak dapat ia elakkan.

Tak sedikit orang termakan fitnah lalu meninggalkannya. Banyak yang menghindar dan menjauh karena takut dinilai radikal. Banyak yang membatalkan acara atau batal mengundangnya sebagai pembicara. Prof. Suteki memaklumi kondisi demikian karena tidak sedikit orang lebih memilih mencari aman. Meski demikian, tak sedikit pula yang justru tertarik dengan pemikirannya.

Prof. Suteki tak ambil pusing dengan tudingan radikal, anti-Pancasila, anti-NKRI, dsb. Karena baginya, semua stempel itu di luar nalar. “Kalau Anda pikir, mungkin enggak, orang yang mengajarkan Pancasila dan filsafat Pancasila selama 24 tahun itu anti-Pancasila? Itu di logika, enggak mungkin,” sanggahnya.

“Saya enggak pernah memberontak kepada NKRI. Dan radikal saya itu hanya sebatas pemikiran yang mendasar, mengakar untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Bukan radikal yang merusak. Bukan kekerasan. Apalagi melakukan makar. Tapi radikal saya adalah ramah, terdidik dan berakal,” imbuhnya.

Dengan falsafah rumput teki yang kuat, tak pernah menyerah untuk tetap survive meski cor beton menghalagi, Prof.Suteki terus lantang bersuara. Bagai pelita, kata radikal yang dinarasikan rezim secara negatif dan suram, ia ubah menjadi kepanjangan dari “ramah, terdidik dan berakal.” Radikal (ramah, terdidik, dan berakal) pun menjadi tagline yang terus ia usung
 
Idealis Sejak Belia

Live opressed or rise up against (hidup tertindas atau bangkit melawan). Itulah salah satu prinsip hidup Prof.Suteki yang membuatnya kuat. Keyakinan berada di jalan kebenaran membuatnya tak ciut nyali melawan kezaliman.

“Melakukan perlawanan itu juga butuh jiwa dan keberanian (braveness and vigilante). Tanpa keduanya, pasti ambyar. Untuk mempunyai keduanya, saya kira juga bukan hal yang mudah. yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani,” ungkapnya.

Keberanian dan jiwa yang kuat tidak dimiliki Prof. Suteki secara instan. Sejak belia jiwa pejuang ia tanam, pupuk dan rawat. Ia tanamkan dalam dirinya bahwa cita-cita harus diraih dengan perjuangan. Begitu pula perjuangan membela kebenaran dan keadilan. Tetapi, satu hal yang tak ia tinggalkan, yaitu keterikatan dengan Allah.

Di belakang semua itu, mesti ada landasan utama, yakni aspek transendental seseorang, tidak lain adalah keterikatan dengan Allah, Tuhan yang Maha Kuasa dengan prinsip laa khaula wala quwata illa bilahil'aliyil adzim,” ujarnya.

Benar saja, ia menjadi pelajar berprestasi sejak sekolah dasar hingga tingkat atas. Ia juga memupuk dan merawat kualitas dirinya dengan aktif di berbagai kegiatan dan organisasi. 

Di era 80-an, kebanyakan orang mengidam-idamkan menjadi insinyur dan dokter. Dua gelar kesarjanaan itulah yang dianggap paling mentereng dan bergengsi. Namun, tidak bagi Prof.Suteki. Ia tertarik di bidang hukum, demi ingin menjadi pembela kebenaran dan keadilan. 

Usai lulus SMA tahun 1989, ia merasa jenuh dengan Fisika yang sebelumnya ia geluti. Karenanya, ia mencoba hal yang baru, di bidang Sosial. Saat seleksi penerimaan mahasiswa baru (sipenmaru), ia memilih Teknologi Industri Pertanian, Hubungan Internasional, dan Hukum. 

Usai menentukan pilihan, dalam hatinya ia berprinsip, “Apa pun yang Allah berikan kepada saya dari ketiga pilihan ini, saya tidak akan mengulang lagi untuk tes kembali tahun depan.”

Allah sebaik-baik pemberi ketetapan. Allah tetapkan Suteki muda lulus di pilihan ketiga, Fakultas Hukum. Tahu ia diterima di Fakultas Hukum, orang-orang dan temannya berseloroh, “Apa? Hukum? Ah, madesu itu. Masa depan suram.”

Walau begitu, ia tetap memenuhi tekadnya. Ia tertarik dengan perjuangan penegakan kebenaran dan keadilan, meski ia tahu, menegakkan kebenaran dan keadilan itu bagaikan menegakkan benang basah.

Karena itu, ia menekuni bidang hukum bukan untuk menjadi penegak hukum, tetapi dengan satu tekad, “Saya ingin menjadi dosen yang akan membentuk sarjana-sarjana hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.”

Kebenaran dan keadilan menjadi konsen hidupnya. Karena baginya, keduanya adalah pelita kehidupan. Tanpa keduanya, hidup ini redup (tidak menyala), tidak berlangsung. “Dalam bahasa Jawa, ‘Urip iku urup. Ingin menjadi pencerah (cahaya).”

Prinsip hidup yang mulia itu, ditambah tindakan represif yang diterimanya, makin membuatnya meyakini, mesti ada yang berjuang mengubah madesu menjadi cahaya.

“Perlu ada sebuah perjuangan hidup untuk menghadirkan cahaya di tengah kegelapan hidup sementara banyak orang yang menolaknya karena sudah terbiasa hidup dalam kegelapan. Kebenaran dan keadilan menjadi musuhnya, termasuk yang menyuarakannya,” ujarnya.

Puncak Cahaya

Tiada perjuangan tanpa risiko. Dari waktu ke waktu, pejuang kebenaran dan keadilan selalu berhadapan dengan pecundang kebenaran dan keadilan. Hal itu disadari Prof. Suteki. Perjuangannya untuk cita-cita menegakkan kebenaran dan keadilan pun tidak selamanya mulus. 

Dua puluh delapan tahun mendidik mahasiswa hukum, 24 tahun mengajar Pancasila dan Filsafat Pancasila, justru ia mendapat tuduhan anti-Pancasila. ‘teaching progressive law finding repessive law.’ Itulah yang dialaminya kini.

Namun, ia yakin, “Benturan akan terus terjadi hingga dunia ini berakhir. Soal hasil perjuangan itu tidak selalu dituntut Allah terwujud saat ini. Yang terpenting adalah proses searching the truth and justice. Maka, yang lebih penting adalah menentukan koordinat kita. Berdiri di koordinat pejuang atau pecundang?”

Prof. Suteki tampak mantap berdiri pada koordinatnya, berjuang menyuarakan kebenaran Islam. Sekalipun jalan juangnya terjal dan bisa jadi berhadapan dengan penguasa. Namun, baginya, hidup itu singkat, setiap kedigdayaan makhluk pasti ada akhirnya. 

Karena itu, ia tak khawatir untuk terus membela khilafah yang kini seolah dikriminalisasi dan distigmatidasi. Ia memahami secara nalar sehat bahwa Al-Qur’an dan hadits tidak mungkin salah dan mengajarkan sesuatu yang salah. Termasuk terhadap ajaran Islam, khilafah.

“(Khilafah) Itu bukan ideologi dan hanya sebatas sistem pemerintahan yang telah dipraktikkan oleh para sahabat yg bersumber dari tuntunan Nabi Muhammad dalam menyelenggarakan negara Madinah waktu itu dan kemudian meluas keseluruh penjuru dunia. Rasululloh itu bukan Ketua RT atau Lurah atau hanya pemimpin agama. Beliau juga pemimpin negara dgn sistem pemerintahan Islam yang kaffah,” ujarnya.
 
Hingga kini, Prof. Suteki terus melakukan pembelaanya terhadap ajaran Islam itu dengan argumen-argumennya. Ia sampaikan hal itu lisan maupun tulisan di berbagai forum diskusi, luring maupun daring, termsuk di kanal sosial medianya.

Ia menyayangkan, sistem khilafah yang diajarkan dalam kitab-kitab fikih semua madzab Islam, kini dianggap seolah menjadi ajaran terlarang, bahkan disejajarkan dengan ideologi komunis. “Sayang sekali, Indonesia dengan 87,19% penduduknya Muslim, tapi terhadap ajarannya sendiri merasa asing bahkan memusuhinya. Ajaran dan pendakwahnya dipersekusi dalam berbagai cara. Ironis!” 

Padahal, Islam adalah cahaya, menyelamatkan manusia dari suram menuju terang. Fakta sejarah telah membuktikannya. Karenanya, dengan berpegang pada akidah, dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimana keinginannya sejak belia, Prof. Suteki terus lantang menyuarakan pembelaannya pada ajaran Islam. “Atas fakta sejarah dan aqidah, saya tetap menyatakan bahwa khilafah itu ajaran Islam, dan setiap muslim harus diberi ruang untuk mendakwahkannya, yang penting tidak ada pemaksaan dan kekerasan, apalagi perbuatan makar,” tandasnya.[] Saptaningtyas

Posting Komentar

0 Komentar