Indonesia sebagai Religious Nation State: Vonis Mati bagi Sambo Bertentangan dengan HAM?

TintaSiyasi.com -- Dikutip dari Tempo.co, Jakarta Senin, 13 Februari 2023 19:45 WIB menurunkan berita bahwa Komisioner Komnas HAM Hari Kurniawan buka suara mengenai vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo. Dia berpendapat hukuman mati seharusnya tidak lagi dipakai. 

Hari berpendapat penghapusan hukuman mati dari sistem pidana sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Menurutnya dalam prinsip tersebut hak hidup merupakan hak yang tidak boleh direnggut oleh siapapun, termasuk negara. Menurutnya Hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Benarkah demikian?

Pernyataan Komisioner atas vonis mati terhadap Ferdy Sambo tersebut patut diduga tidak konsisten, mengingat banyak kasus vonis mati atas beberapa kasus di Indonesia, tetapi dalam hal ini Komnas HAM tidak bereaksi menentangnya. Sebut saja misalnya ada 3 Mantan Polisi Ini Divonis Mati sebagaimana putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjungbalai menjatuhkan vonis hukuman mati kepada tiga mantan polisi pada Kamis (10/2/2022). Eks personel Polres Tanjungbalai itu terbukti bersalah menjual sebagian hasil tangkapan sabu-sabu seberat 76 kilogram.

Pro kontra terhadap pelaksanaan eksekusi mati bagi gembong narkoba masih menjadi perdebatan untuk saat ini. Eksekusi mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.

 Sebagian orang mendukung hukuman mati (retensionis) dengan alasan utama karena dapat memberikan efek jera dan mencegah meningkatnya kejahatan narkoba. Sedangkan sebagian lainnya tidak setuju (ABOLISIONIS) dengan diadakannya hukuman mati terhadap gembong narkoba karena baginya, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hak untuk hidup yang tertuang dalam amandemen kedua konstitusi UUD Pasal 28 ayat 1.

Namun pemerintah era Presiden Jokowi rupanya tidak main-main dengan keputusannya dalam memberantas narkoba. Undang-undang di Indonesia telah mengatur aturan ini pada undang undang narkotika nomor 35 tahun 2009. Di dalam undang-undang ini, hukuman berat bagi narapidana narkoba adalah mulai dari penjara seumur hidup hingga eksekusi mati. Terdapat beberapa hukuman yang berlaku. Hal ini dilihat dari berat narkoba yang ia bawa/edarkan. Untuk narkoba yang beratnya melebihi satu kilogram, pelaku akan dikenai hukuman penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, penjara seumur hidup, dan yang paling mengerikan adalah eksekusi mati. Hukuman tersebut juga tergantung motif dan seringnya ia melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan narkoba. 

Saya kira sangat tepat vonis mati yang dijatuhkan oleh hakim terhadap 3 POLISI yang seharusnya sbg APH bisa menjadi tauladan masy, tetapi justru menjadi penjahat narkoba (pengedar melebihi 1 kg, bahkan 76 kg).

Terdakwa Tuharno, Wariono dan Agung Sugiarto dinyatakan bersalah melanggar dakwaan Kesatu Primair Pasal 114 ayat (2) UU RI No. 35 Tahun 2009 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Kedua Pasal 137 huruf b UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP dan Ketiga Pasal 137 huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Kasus Sambo dan kasus penjualan barang bukti narkoba ini mencoreng nama kepolisian. Ini termasuk kasus yang tdk main-main. Kasus narkoba Tanjungbalai merupakan kejahatan berjamaah. Sebanyak 11 polisi berpangkat bintara hingga perwira di Tanjung Balai, Sumatera Utara (Sumut) diduga menjual barang bukti narkoba jenis sabu kepada bandar narkoba. Jelas hal ini mencoreng nama kepolisian, menambah daftar panjang polisi yang terlibat dalam aksi kejahatan. Makin menjauhkan dari slogan presisi, prediktif responsilitas dan transparansi berkeadilan. Demikian pula kasus Sambo merupakan kejahatan berjamaah, bahkan melibatkan hingga 95 polisi.

Perlu diketahui oleh kita bersama bahwa fungsi dilakukannya hukuman adalah sebagai alat untuk memaksa agar peraturan ditaati dan siapa yang melanggar diberi sanksi hukuman sehingga terwujudnya rasa kesejahteraan dan keamanan bagi masyarkat. Sia-sia saja aturan dibuat bila tidak ada sanksi yang diterapkan bila aturan itu dilanggar karena tidak ada efek jera atau pengaruh bagi si pelanggar aturan tersebut. Sehingga hukuman mati itu sangat diperlukan karena selain dapat memberi efek cegah dan rasa takut bagi orang lain untuk tidak melakukannya pelanggaran, dan juga dapat memberikan rasa aman dan terlindung bagi setiap orang.

Menurut sebagian masyarakat, eksekusi mati melanggar pasal 28 A UUD 1945. Tetapi di Pasal 28 G UUD 1945 juga jelas tertera bahwa manusia berhak untuk mendapatkan perlindungan. Contohnya perlindungan dari kejahatan narkoba yang dapat tiba-tiba mengancam nyawanya. Dalam hal yang seperti ini asas kepentingan umum sangat harus ditegakkan menyampingkan kepentingan khusus atau pribadi. 

Eksekusi mati masih dipraktikkan dalam sistem hukum Indonesia. Misalnya eksekusi terhadap delapan warga negara asing yang menjadi terpidana narkoba, dilaksanakan pada regu penembak pada Rabu (29/4/2015) dinihari. Mereka yang ditembak mati adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran warga Australia, tiga warga Nigeria, masing-masing Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise dan Okwudili Oyatanze, seorang warga Ghana, Martin Anderson, seorang warga Brazil, Rodrigo Galarte dan seorang warga Indonesia, Zainal Abidin. Eksekusi mati kembali dilanjutkan pada Jumat (29/7/2016) dinihari kepada 4 terpidana mati yaitu Freddy Budiman asal Indonesia, dua warga negara Nigeria, Humprey Ejike dan Michael Titus Igwen, dan seorang warga Afrika Selatan, Seck Osame.

Eksekusi Mati Tidak Melanggar HAM dan Agama

Soal hukuman mati ini, Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan bahwa hukuman mati yang diancamkan untuk kejahatan tertentu dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hukuman mati tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak asasi manusia (HAM).

Hak asasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, dibatasi oleh pasal 28J, bahwa hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak azasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Pandangan konstitusi itu,ditegaskan juga oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan pembatasan hak asasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum. Jadi sama sekali tidak ada yang bertentangan dengan konstitusi mengenai masalah Hukuman mati ini.

Hukuman mati seringkali dipandang sebagai salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hukuman jenis ini dinilai sebagai jenis pidana yang paling berat dibandingkan dengan jenis pidana lainnya.

Pengenaan suatu jenis hukuman tentu harus didasarkan pada sistem hukum apa yg dipakai dan sistem pemerintahan apa yang sedang dijalankan. Hukum rajam bagi penzina hanya dikenal dalam sistem hukum Islam di bawah naungan pemerintahan Islam. Hal ini mengingat pengenaan sanksi dlm Islam bukan untuk penjeraan saja tetapi untuk penghapusan dosa di hadapan Allah. Sedangkan hukuman mati saja di negara2 sekuler ditentang, jadi polemik berkepanjangan.

Sebagai misal jika hukum rajam ditegakkan, bagaimana pandangan kita dengan pegiat HAM yang menentang? Penentangan atas dasar HAM ini memang berbasis pada ideologi yg liberal sekuler. Jadi wajar kalau mereka menentang. Yang tidak wajar itu kalau umat Islam yang menentang sendiri. Dalam perspektif HAM partikular seperti dianut Indonesia, HAM itu bisa dibatasi oleh Hukum, Moral dan Agama sepanjang untuk keluhuran umat manusia itu sendiri. 

Hukuman rajam bagi pezina memang terkesan "mengerikan", namun cara itulah yang oleh alloh akan membuat orang lain tidak akan melakukan hal yang sama dan sekaligus sebagai penebus dosa bagi pelakunya karena tidak sempat bertobat. Jadi, lebih baik singkirkan HAM (sekuler ateis) jika ingin menegakkan hukum Allah yang berarti menegakkan keadilan. Dengan demikian sebagai negara religious nation state, maka pidana berupa hukuman mati untuk kasus Ferdy Sambo atau kasus pidana lainnya dalam sistem hukum nasional Indonesia tidak bertentangan dengan HAM dan juga agama. Tabik!

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Semarang, Rabu, 15 Pebruari 2023


Posting Komentar

0 Komentar