Sarkasme Haji ala Assegaf Kribo: Penodaan terhadap Agama

TintaSiyasi.com -- Gemar bikin heboh. Nampaknya tak lepas dari sosok seorang Zein Assegaf Kribo. Terbaru, ia mengkritik Muslim Indonesia yang berhaji lebih dari satu kali. Ini menurutnya sudah melampaui batas dan akhirnya melupakan sisi kemanusiaan. 

Ia pun menyebut agar tak  perlu pamer benda mati. Katanya, Tuhan tidak parkir di masjid atau Ka'bah, untuk apa pergi jauh-jauh buang duit ke Arab, berebut hajar Aswad, membuang duit besar, mau cari Tuhan. Tuhan tidak di situ, Tuhan ada di tempat orang-orang susah (populis.id, 11/1/2023).

Di satu sisi, kritikan Assegaf Kribo bahwa berhaji lebih dari satu kali itu melampaui batas dan melupakan sisi kemanusiaan, kami kira tak ada masalah. Namun, pernyataan Tuhan tidak parkir di masjid atau Ka'bah, untuk apa pergi jauh ke Arab dan berebut Hajar Aswad inilah yang kami nilai terlalu sarkas dan diduga merupakan tindakan penodaan agama. 

Tidak selayaknya bila kritik dilakukan dengan nada sarkasme dan penghinaan. MUI dan Menag sebaiknya memberikan teguran kepada Assegaf Kribo atas pernyataannya tersebut agar menjadi pelajaran bagi anggota masyarakat lainnya.

Pernyataan Assegaf Kribo, Antara Kritikan dan Penodaan

Kritikan Habib Kribo itu bermula dari keputusan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang membangun Masjid Al Jabbar di Kota Bandung senilai Rp 1 triliun. Setelah diresmikan, masjid tersebut mendadak banjir kritikan dari masyarakat, terutama warganet.

Assegaf Kribo juga menyindir Kang Emil yang dinilai bermegah-megahan dalam membangun tempat ibadah. Padahal umat Islam masih hidup dalam kemiskinan. Kritikan itu merembet ke masalah ibadah haji (ayobogor.com, 9/1/2023).

Kritik Assegaf Kribo ini bisa dinilai dari dua sisi. Pertama, secara kontekstual, penyataannya bahwa ibadah haji lebih dari satu kali melampaui batas dan tidak berpihak pada rasa kemanusiaan, itu sesuai realitas. Memang orang berhaji berkali-kali itu terkesan melampaui batas, karena batas kewajibannya itu satu kali dan bila mampu. 

Ibadah haji itu lebih bersifat pribadi, berdampak pribadi, berbeda dengan penggunaan dana yang jika digunakan untuk kepentingan kemanusiaan akan lebih   bermaslahat bagi umat, misalnya pengentasan kemiskinan dan problem sosial umat Islam lainnya.

Oleh karena itu, pernyataan soal melampaui batas ini tidak ada konsekuensi hukumnya. Itu pandangan Assegaf Kribo saja terkait dua sisi penglihatannya, antara kewajiban menunaikan ibadah haji dan sisi kemanusiaan umat Islam.

Kedua, adapun kalimat Tuhan tidak parkir di masjid, Tuhan tidak parkir di Ka'bah, ngapain pergi jauh buang duit cuma ke Arab sana berebut Hajar Aswad, ini pernyataan terlalu sarkasme. Pun terkesan menghina Tuhan, makna ibadah haji, dan umat Islam yang menunaikan haji. 

Kami menyayangkan pernyataan Assegaf Kribo soal ini. Umat Islam bisa melaporkan ke polisi dengan tuduhan penodaan agama, khususnya terkait; Tuhan parkir, ibadah haji, dan pemeluk (umat Islam), berdasarkan Pasal 156a KUHP. 

Tindakan Assegaf Kribo dan para penghina agama lainnya tak layak dibiarkan terjadi terus-menerus. Efek jera mesti dihadirkan. Jangan sampai muncul manusia-manusia kebal hukum sebangsa Abu Janda, Densi, Eko Kuntadhi, dan seterusnya.

Dampak Pernyataan Assegaf Kribo terhadap Keagungan Haji dan Marwah Umat Islam dalam Menjalankan Kewajibannya

Haji merupakan ibadah yang sangat istimewa. Orang yang melakukan haji mestilah man istatha’a ilaihi sabila (orang-orang yang mampu). Adapun mampu yang dimaksud meliputi segala sendi kehidupan seperti kesehatan (jasmani dan rohani), ekonomi, dan keamanan. Karena syarat yang sangat berat ini maka penempatan haji di urutan terakhir dalam rukun Islam sangatlah tepat. Untuk mencapainya terlebih dahulu umat Islam harus melewati beberapa rukun sebelumnya.

Keutamaan haji banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.  Di antaranya adalah haji merupakan amalan yang paling afdhol, jika ibadah haji tidak bercampur dengan dosa (syirik dan maksiat), maka balasannya adalah surga. Haji termasuk jihad fii sabilillah (jihad di jalan Allah), akan menghapuskan kesalahan dan dosa-dosa, serta orang yang berhaji adalah tamu Allah. 

Maka, pernyataan Assegaf Kribo yang menyebut untuk apa pergi jauh-jauh buang duit ke Arab, dan seterusnya, ini merupakan bentuk penghinaan yang berdampak: 

Pertama, melecehkan kemuliaan ibadah haji. Haji hanya dianggap semacam ritual tanpa makna, seperti kunjungan ke tempat-tempat biasa, melihat benda-benda mati tak bernilai apapun jua. 

Kedua, meremehkan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah. Pernyataan Assegaf Kribo seakan menentang ajaran Allah, menganggapnya sebagai hal tidak penting atau perkara remeh-temeh. Dan ada aktivitas lain yang lebih berharga daripada haji. 

Ketiga, menghina keberadaan Allah SWT. Menyebut Tuhan (Allah) dengan diksi "parkir," seakan menyamakan Allah dengan makhluk, bahkan menyerupai benda. Kata yang tentunya tidak elok diucapkan, terlebih oleh seorang Muslim.

Keempat, menghina umat Islam yang berhaji atau yang meyakini haji sebagai ibadah mulia. Ucapannya mengesankan umat Islam itu manusia bodoh, "mau-maunya" pergi jauh menghabiskan uang, "sekadar" berebut Hajar Aswad.

Demikian dampak dari pernyataan Assegaf Kribo terhadap keagungan haji dan marwah umat Islam dalam menjalankan kewajibannya. Meski begitu, seburuk apapun pandangan dan pernyataan para penghina Islam, sejatinya tidak akan mengurangi kemuliaan ibadah haji dan keagungan Allah SWT. 

Bahkan andai seluruh makhluk ingkar dan tak sudi menyembah-Nya, hal itu tak akan mengurangi kebesaran dan keperkasaan Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Maka, merugilah orang-orang seperti Assegaf Kribo dan para pendusta agama lainnya.

Strategi Menunaikan Kewajiban Haji agar Umat Islam Tetap Berpihak pada Kemanusiaan Khususnya Mengatasi Problematika Umat

Haji merupakan ibadah suci sebagai pondasi kelima dalam Islam. Namun, ada fenomena yang sering terlupa yaitu terkait esensi ibadah haji terutama yang berhubungan dengan dimensi sosial haji. 

Kini, sebagian orang berhaji hanya untuk ajang wisata ke Mekkah, mendapat gelar haji di depan namanya, hingga sebuah ajang gengsi-gengsian. Mereka beralasan merasa terpanggil, rindu, dan seterusnya, hanya untuk pergi haji berkali-kali. Dan tidak peka terhadap kondisi sekitar seperti tetangga yang lapar hingga memperpanjang antrian bagi calon jama’ah haji lainnya.

Para ulama mazhab bersepakat, hukum asal haji berulang kali adalah mandub (sunnah). Kewajiban haji hanya sekali seumur hidup. Inilah yang diistilahkan dengan haji wajib.

Hadis dari Ibnu Abbas r.a. ketika Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat al-Aqra' bin Abis tentang haji berulang kali, Beliau SAW bersabda, "(haji) hanya satu kali saja. Siapa yang menambah, maka itu sunah (tatawwu')." (HR. Abu Daud)

Bila merujuk pada sirah perjalanan haji nabi, kita mendapatkan bahwa Nabi berhaji sekali saja. Menurut K.H. Imam Ghazali Said M.A. dalam disertasi bertajuk Manasik Haji Rasulullah SAW, sirah nabawiyah hendaknya dijadikan landasan hukum. Menurutnya, masalah haji sebenarnya sangat mudah karena nabi berhaji sekali saja. Menjadi aneh bila kita seolah ingin melebihi Nabi, berhaji berkali-kali padahal kepentingan umum mestilah diutamakan ketimbang masalah privasi diri.

Kepedulian sosial selayaknya dijadikan tolok ukur bagi pemerintah untuk mengambil sikap bagi mereka yang berhaji berkali-kali. Bayangkan, bila setiap kabupaten ada tiga orang yang hajinya mencapai dua kali, maka dalam satu provinsi yang memiliki 23 kabupaten ini ada 69 orang, maka dalam setahun akan terkumpul dana berkisar USD 226.665 atau Rp 1.971.985.500. Dengan jumlah sebesar ini berapa fakir yang tertolong? Berapa miskin yang terselamati? Berapa yatim yang kembali bersekolah?

Maka, perlu strategi menunaikan kewajiban haji namun di sisi lain umat Islam tetap berpihak pada kemanusiaan khususnya mengatasi problematika umat, yaitu:

Pertama, pemerintah berwenang untuk mengatur pelaksanaan ibadah haji bagi calon haji agar memperoleh kesempatan. Pun berhak membatasi keberangkatan haji bagi mereka yang sudah melaksanakan haji wajib dengan aturan khusus.

Kedua, memberikan prioritas kepada orang yang ingin melaksanakan haji wajib ketimbang mereka yang berangkat haji berulang (sunah). Berdasarkan kaidah fikih, "Ma la yatimmu al-wajibu illa bihi, fahuwal wajib" (Sesuatu yang jika tanpanya hal wajib tidak bisa ditunaikan, maka sesuatu itu juga menjadi wajib). Misalnya, shalat adalah wajib dan shalat tidak bisa ditunaikan tanpa adanya wudhu. Maka wudhu bagi orang yang akan shalat pun menjadi wajib.

Ketiga, mengingat panjangnya antrean berangkat haji, mereka yang hendak melaksanakan haji sunah hendaknya dipisahkan antreannya dari mereka yang hendak berangkat haji wajib. Orang yang hendak haji wajib diprioritaskan untuk berangkat haji ketimbang orang yang berangkat haji sunat. Alasannya, haji wajib juga mewajibkan hal-hal yang menjadi mediator terlaksananya kewajiban hajinya.

Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Barri juga menegaskan, "Melakukan yang wajib harus didahulukan daripada melakukan amalan tathawwu' (sunah)." Jika bertemu antara yang wajib dan sunah, maka yang wajib akan menjadi prioritas untuk didahulukan. Demikian juga soal keberangkatan haji.

Keempat, pembatasan terhadap orang yang berangkat haji. Kecuali bagi mereka yang memang punya hajat tertentu, seperti petugas, pembimbing, dan pendamping calon haji yang dibutuhkan.

Kelima, sebaiknya Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) orang yang haji berulang lebih afdhal (utama) untuk disedekahkan. Hal ini lebih bermanfaat untuk mewujudkan izzul Islam wal muslimin (ibadah yang berdimensi sosial) seperti peduli anak yatim, dhuafa, dan tetangga yang kekurangan. Bisa juga untuk pembangunan masjid, lembaga pendidikan, panti asuhan, beasiswa pendidikan, dan sejenisnya.

Keenam, umat Islam mengubah mindset untuk menahan diri dalam melakukan ibadah secara berlebihan (berhaji berkali-kali). Dan menyalurkan dananya melalui sarana ibadah lain yang berdimensi kemanusiaan hingga berdampak pada penanggulangan problem ekonomi umat.

Demikian beberapa hal yang bisa dilakukan agar kewajiban haji bagi umat Islam tertunaikan. Pun tetap memperhatikan aspek kemanusiaan khususnya untuk mengatasi problematika umat Islam.

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar