Mencari Makna Kebahagiaan Hakiki



TintaSiyasi.com -- Dunia memang penuh tipu daya, keindahannya semu. Apabila dikejar tidak akan memberi kepuasan, apabila ditinggalkan tidak akan membawa keberhasilan. Manusia dituntut untuk memperlakukan dunia sebagaimana wajarnya, menggenggamnya dengan tangannya saja dan tidak menggenggamnya dengan hatinya. Karena hati manusia harus dipenuhi dengan kehidupannya setelah di dunia.

Banyak orang yang terjebak mengejar kebahagiaan semu. Mati-matian mengejar dunia yang tidak bisa dibawa mati. Melalaikan kehidupan akhirat yang siap menuntut balas atas segala perbuatannya di dunia. Inilah kehidupan, kita hidup sebentar untuk mempersiapkan kehidupan yang abadi. Siapa-siapa yang bisa memaknai kehidupan dengan benar, dia akan selamat. Tetapi, jika tidak, dia akan sengsara sepanjang hayat. Memaknai kehidupan yang benar adalah memaknai siapa kita? Untuk apa hidup di muka bumi? Besok setelah mati akan ke mana? Inilah simpul besar yang harus diurai manusia agar mampu mengejar dan memaknai kebahagiaan hakiki.

Pentingnya Memahami Makna Kebahagiaan dengan Benar

Manusia ada di muka bumi ini tidak hadir secara tiba-tiba, tetapi karena ada yang menciptakan. Begitu pula kehidupan dan alam semesta tidak tercipta dengan sendirinya, melainkan semuanya ada karena adanya Al-Khaliq Allah Subhanahu wata'ala. "Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." TQS. At-Tin ayat 4. Apabila mencermati lebih dalam lagi, manusia diciptakan tentunya tidak tanpa tujuan, ada tujuan agung dalam penciptaan manusia, yakni untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wata'ala. "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." TQS. Az-Zariat ayat 56. 

Manusia diciptakan Allah Subhanahu wata'ala untuk beribadah kepada-Nya dan besok setelah mati akan dimintai pertanggungjawaban. "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." TQS. Al-Isra' ayat 36. Setelah kehidupan ini, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatannya di dunia.

Di kala manusia mampu menjawab dengan benar, siapa dia, untuk apa hidup di dunia, dan besok mati akan ke mana, insyaAllah mereka akan menemukan makna kehidupan dan kebahagiaan hakiki. Karena sejatinya di situlah awal mula dibangun fondasi keimanan kepada Allah Subhanahu wata'ala. Ketika mereka memiliki akidah yang benar dan mengkristal, maka akidah itu yang akan mendorongnya untuk takwa dan menjaganya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya.

Tidak mungkin, seorang yang kuat seperti Umar bin Khattab r.a. menjatuhkan pedangnya ketika datang hidayah keimanan padanya. Begitu pula seorang Bilal bin Rabah mau dijemur di Padang pasir dan ditimpa batu, karena dorongan keimanannya. Selain itu, kisah keluarga Yasir r.a. tetap bertahan dalam akidahnya walau disiksa dan dibunuh secara kejam. Mereka bisa melewati siksaan itu dan menjemput surga yang dijanjikan Allah Subhanahu wata'ala karena dorongan keimanannya. 

Oleh sebab itu, sangatlah penting memahami makna kebahagiaan dengan benar karena, pertama, tidak terjebak dalam tipu muslihat kebahagiaan dunia. Kedua, bisa menyambut kebahagiaan hakiki di akhirat kelak, yaitu di surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang beriman. Ketiga, mampu sabar dalam menghadapi ujian kehidupan dan ikhlas menerima segala keputusan yang telah Allah Subhanahu wata'ala tetapkan. Keempat, tidak mudah terperdaya oleh hawa nafsu dan godaan setan yang terkutuk. Kelima, mampu mengaitkan segala perbuatan dan perilakunya terhadap aturan-aturan yang Allah perintahkan. 

Begitulah nikmat manusia ketika berada di jalan keimanan, perjuangan hidupnya yang melelahkan tidak akan terasa lelah karena ada sebaik-baiknya tempat istirahat esok di akhirat, yakni surga. Begitu juga mereka tidak akan menyia-nyiakan hidupnya untuk menjadi budak dunia yang berakhir di seburuk-buruk tempat tinggal, yakni neraka. Akhirat yang gaib tampak nyata di depan matanya, karena ia selalu mempersiapkan kehidupannya setelah mati. Di situlah manusia mengerti makna kebahagiaan hakiki.

Dampak Manusia Tidak Memahami Makna Kebahagiaan dengan Benar

Ketika manusia belum menemukan makna kebahagiaan hakiki, maka kebahagiaan yang dikejar seputar dunia dan dunia. Hidup hanya menuruti dirinya sendiri, semua disetel oleh hawa nafsunya dan kebebasan adalah segala-galanya. Yang mereka inginkan, kebebasan mereka dilindungi. Tetapi, kebebasan mereka saling bertubrukan. Akhirnya menimbulkan pertikaian dan permusuhan untuk mempertahankan kebebasan dan ego masing-masing.

Dampak manusia tidak menemukan keimanannya dan memahami kebahagiaan hakiki, yakni, pertama, menggerutu, marah, dan tidak terima akan takdir yang menimpanya. Sudah lama dikaji soal qada dan qadar, tetapi belajar dan praktiknya sepanjang hidup. Terkadang lepas dari mengingat Allah Swt. tidak sadar kita telah lalai mengimani qada dan qadar. Sebagai contoh, masih suka menggerutu akan takdir yang menimpa, marah terhadap kenyataan yang tidak sesuai kenyataan, terlalu banyak berandai-andai dan menyalahkan keadaan ataupun orang lain. 

Kedua, kufur nikmat . Berapa banyak manusia yang hidupnya menderita bahkan sampai bunuh diri ketika tidak bisa meyakini keputusan atau qada dari Allah Subhanahu wata'ala? Mereka seolah-olah sedang merajut penderitaannya baik di dunia dan di akhirat. Bahkan, mereka tidak berhenti untuk kufur nikmat atas segala yang Allah berikan pada mereka. Sederhana saja, sejatinya mereka yang tidak bahagia adalah mereka yang tidak sabar dan tidak pandai bersyukur. Sehingga, mereka buta akan segala hikmah yang Allah turunkan pada-Nya. Mata hatinya tertutup karena mengufuri nikmat Allah Subhanahu wata'ala dan kemarahannya atas keputusan yang ia dapatkan. 

Ketiga, tertipu mengejar kebahagiaan semu dunia. Mengejar dunia ini melelahkan, karena makin dikejar makin tidak ada habisnya. Tetapi jika hidup di dunia dijalani dalam rangka ibadah, maka manusia mampu menempatkan dunia dalam kadarnya. Tidak diperbudak kenikmatan dunia yang semu, melainkan fokus menjalani kehidupan di dunia untuk mempersiapkan bekal di akhirat.

Dari Al-Mustaurid bin Syaddad –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَاللهِّ مَا الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟

“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (HR Muslim no 2868).

Begitulah sejatinya perumpamaan dunia, sebesar apa pun materi yang didapati di dunia tidak lebih dari setetes air, padahal Allah Subhanahu wata'ala masih memiliki kebahagiaan yang seluas langit dan bumi yang disiapkan untuk mereka yang beriman dan taat pada-Nya.

Strategi Islam dalam Memahami Makna Kebahagiaan

Disadari atau tidak, sebenarnya kebahagiaan itu bukan soal sesuatu yang harus kita tunggu. Tetapi, kebahagiaan adalah sesuatu yang mampu diciptakan, yakni dengan memaknai segala kondisi, keadaan, kenyataan dan menautkannya dengan keimanan kepada Allah Subhanahu wata'ala. Sebagai contoh, yaitu, pertama, mengaitkan segala perbuatan kita dengan ketaatan dan keimanan kepada Allah Subhanahu wata'ala. Kedua, menganggap segala bentuk hasil yang kita terima, baik-buruknya datang dari Allah Subhanahu wata'ala. Ketiga, meyakini Allah Subhanahu wata'ala adalah sebaik-baik pembuat aturan. Sehingga, apa-apa yang datang dari Allah Subhanahu wata'ala diyakini sebagai yang terbaik dan harus diterima sabar dan ikhlas. 

Sebagai seorang Muslim penting bersabar dalam ketaatan dan menerima qada Allah Subhanahu wata'ala. Tidak hanya berhenti pada sabar, tetapi mengubahnya dengan mensyukuri apa pun yang telah Allah berikan dan putuskan. Begitulah mengubah sabar dengan syukur, sehingga dengan bersyukur Allah Subhanahu wata'ala melipatgandakan nikmat dan kebahagiaan kita. Begitulah membelah hikmah, mengubah sabar menjadi syukur dan menemukan hikmah di balik kehidupan. Seolah-olah mudah sekali ditulis atau diucapkan, tetapi dalam praktiknya ujiannya sepanjang hayat dan hanya orang-orang yang teguh dalam memegang keyakinan dan memiliki hati yang jernih yang mampu membaca hikmah dan mendapatkan karunia dari Allah Subhanahu wata'ala. Semoga Allah Subhanahu wata'ala menguatkan keimanan kita dan menjadikan kita senantiasa bertakwa sampai akhir hayat. Aamiin ya rabbal 'alamin.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Nikmat manusia ketika berada di jalan keimanan, perjuangan hidupnya yang melelahkan tidak akan terasa lelah karena ada sebaik-baiknya tempat istirahat esok di akhirat, yakni surga. Begitu juga mereka tidak akan menyia-nyiakan hidupnya untuk menjadi budak dunia yang berakhir di seburuk-buruk tempat tinggal, yakni neraka. Akhirat yang gaib tampak nyata di depan matanya, karena ia selalu mempersiapkan kehidupannya setelah mati. Di situlah manusia mengerti makna kebahagiaan hakiki.

Bagaikan mencelupkan jari ke lautan, begitulah sejatinya perumpamaan dunia, sebesar apa pun materi yang didapati di dunia tidak lebih dari setetes air, padahal Allah Subhanahu wata'ala masih memiliki kebahagiaan yang seluas langit dan bumi yang disiapkan untuk mereka yang beriman dan taat pada-Nya.

Sebagai seorang Muslim penting bersabar dalam ketaatan dan menerima qada Allah Subhanahu wata'ala. Tidak hanya berhenti pada sabar, tetapi mengubahnya dengan mensyukuri apa pun yang telah Allah berikan dan putuskan. Semoga Allah Subhanahu wata'ala menguatkan keimanan kita dan menjadikan kita senantiasa bertakwa sampai akhir hayat. Aamiin ya rabbal 'alamin.[]

Oleh: Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute dan Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo

Materi Kuliah Online Uniol 4.0 Diponorogo
Rabu, 18 Januari 2023 di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
#Lamrad
#LiveOpperresedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar