Angka Dispensasi Nikah Akibat Kehamilan Tidak Dikehendaki Melonjak: Inikah Potret Sistem Kehidupan yang RusakRusak?

TintaSiyasi.com -- Ironis. Tragis. Miris. Sekian kata seolah tak cukup untuk menggambarkan keprihatinan atas nasib generasi muda. Mereka berkubang dalam problematika; gaul bebas, tawuran, miras, narkoba, dan sebagainya. Terbaru, angka pengajuan dispensasi nikah di banyak kota melonjak tinggi. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, selama 2022 terdapat 556 warga mengajukan dispensasi nikah. Angka ini naik 78,4% dari tahun lalu (harianjogja.com, 10/1/2023). 

Adapun di Jawa Timur, dari rekapitulasi data di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tahun 2022, terdapat lebih dari 10.000 dispensasi nikah di 37 kabupaten/kota (kinsatker.badilag.net). Di Indramayu, Jawa Barat, dijumpai sebanyak 572 pengajuan dispensasi nikah (kompas.com, 17/1/2023).

Tren kenaikan tersebut dilatari perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019. Di UU Tahun 1974, bagi perempuan maksimal 16 tahun, laki-laki 19 tahun, namun di UU Tahun 2019 berubah, laki-laki dan perempuan berumur 19 tahun. 

Meski demikian, yang penting digarisbawahi adalah mayoritas alasan pengajuan dispensasi nikah tersebut karena kehamilan tidak dikehendaki (KTD). Hal ini menjadi indikator pergaulan bebas remaja telah menggila. Fenomena bejat ini mestinya menjadi alarm kencang bagi berbagai pihak terkait. Saatnya mengevaluasi, mengapa kasus serupa terus terjadi bahkan meninggi. Bila masalah ini tak segera diantisipasi, ancaman lost generation di negeri ini sangat mungkin terjadi.

Pengajuan Dispensasi Nikah Melonjak di Tengah Sistem Hidup Rusak

Kasus perzinaan atau hubungan seksual di luar ikatan pernikahan merupakan problem klasik di negeri ini. Tambah mengerikan karena pelakunya merambah ke pelajar SMP dan SMA, bahkan usia SD. 

Gaul bebas berujung KTD yang terus terjadi bahkan jumlahnya kian tinggi menjadi bukti bahwa ini bukanlah kasuistik, namun problem sistemis. Tak hanya terjadi satu dua kasus, dalam setahun 2022 saja terdapat puluhan ribu kasus sejenis. Tak hanya terjadi di satu dua kota, tapi di banyak daerah. 

Bila kita telisik di balik  tingginya angka KTD  karena pergaulan bebas, akan kita dapati faktor penyebabnya antara lain:

Pertama, individu tidak bermoral. Secara mendasar, pelaku gaul bebas dan kemaksiatan lainnya memiliki iman takwa berlevel minimalis. Jauh dari Allah SWT menyebabkan hilangnya rasa takut terhadap azab Allah dan pudarnya rasa malu untuk bermaksiat. 

Selain itu, pemahaman terhadap ajaran Islam lemah. Agama dipahami sebatas ritual (keyakinan) bukan sebagai jalan hidup, sehingga tidak berpengaruh dalam perilaku keseharian. Selanjutnya, hawa nafsu menjadi standar dalam memenuhi kebutuhan atau keinginan.

Kedua, fungsi keluarga sebagai sekolah pertama tidak optimal. Orang tua yang seharusnya menjadi guru utama bagi putra-putrinya, lalai menanamkan akidah sebagai pondasi pembentuk kepribadian anak. Anak tidak paham tujuan hidup sehingga sekadar mencari having fun. 

Pun orang tua kurang memahamkan syariat termasuk dalam aspek hubungan lawan jenis hingga mereka enjoy bermaksiat. Karena sibuk  dan alasan lainnya, orang tua kurang membersamai dan mengontrol perkembangan/aktivitas anak, hingga tidak ada bonding (ikatan emosi). Orang tua yang minus keteladanan akhirnya membuat sang anak kehilangan figur kebaikan.

Ketiga, masyarakat hilang kontrol sosialnya. Anggota masyarakat terhinggapi budaya EGP (Emang Gue Pikirin), cenderung individualis hingga enggan beramar makruf nahi mungkar. Bahkan sebagian orang kini menganggap remaja pacaran hingga hamil adalah hal biasa, lumrah. Bagaimana gaul bebas tidak merajalela? 

Keempat, negara yang menerapkan sistem sekularisme liberalistik. Diakui atau tidak, sistem hidup inilah yang tengah diadopsi bangsa ini. Mengajarkan pemisahan agama dari kehidupan, asas perbuatan adalah meraih manfaat (kenikmatan), bukan halal haram. Berprinsip bebas bertindak asal tidak menganggu lainnya dan menganggap kebebasan berperilaku sebagai bagian dari HAM. 

Diperparah dengan tak adanya sanksi yang berefek jera bagi pelaku zina. Asal suka sama suka, tak ada hukuman menimpa. Bila hamil karena pacaran, solusinya dinikahkan. Mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan agama, dikabulkan, selesai urusan. Maka, dengan pola aturan seperti ini, bagaimana mungkin KTD akan hilang? 

Apalagi sekularisme juga menjadi landasan kurikulum di sekolah. Terutama di sekolah negeri, agama hanya diajarkan sekitar dua jam sepekan sekali. Pembelajaran ilmu umum dan agama tak terintegrasi. 

Meski ada penyuluhan tentang kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah, namun sering disoroti terlalu vulgar. Alih-alih menghindarkan pelajar dari berbuat free sex, malah terkesan memancing untuk mempraktikkannya. Ditambah pelajar yang rajin kajian Islam atau aktif di Rohis justru distigma fanatik dsn radikal. Lantas masih mendamba produk anak didik cerdas,  beriman, dan bertakwa? 

Demikianlah faktor penyebab KTD terus terjadi bahkan meninggi. Selama sistem hidup sekularisme liberalistik yang melandasi pembelajaran dan pembentukan kepribadian remaja, baik oleh keluarga, sekolah, masyarakat, maupun negara, maka pergaulan bebas dan sederet kejahatan remaja lainnya tak akan berhenti. Kembalinya generasi muda pada fungsi idealnya sebagai pemimpin perubahan dan penerus estafet perjuangan pun bak jauh panggang dari api.

Dampak Tingginya Pengajuan Dispensasi Nikah Akibat KTD

UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan keringanan bagi pihak yang belum mencapai umur (19 tahun) untuk melaksanakan pernikahan, dapat meminta dispensasi nikah kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk. 

Biasanya pengadilan tidak bisa menolak permohonan dispensasi menikah dini, terlebih yang sudah hamil sebelum menikah. Pihak pemohon serta kedua orang tua memohon dan beralasan menikah dini untuk menutupi aib keluarga. Faktor utama penyebab dispensasi masih diberikan adalah pertimbangan terhadap kepentingan si anak dari kedua mempelai itu.

Meski demikian, pemberian dispensasi nikah juga memiliki  dampak negatif antara lain:  

1. Rumah tangga berpotensi kisruh bahkan berujung perceraian. Menikah tanpa kesiapan matang dari sisi ilmu, jiwa, dan ekonomi, akan membuat mereka kesulitan menghadapi masalah demi masalah rumah tangga.  Ketidakmampuan mengontrol emosi dalam menyikapinya tak jarang membuat masalah kian besar, hingga membuat pasangan mengakhiri pernikahan di meja pengadilan.   

2. Lahir keturunan berkualitas rendah. Pelaku KTD dinikahkan karena terpaksa dan mendadak. Ketika anak di luar nikah itu lahir, bisakah mereka mengasuh dan mendidiknya dengan benar? 

Bila pasangan tak segera adaptasi, belajar, dan berupaya keras menjalankan peran sebagai orang tua baru, maka ini sama saja mencetak generasi lemah. Dan sangat memungkinkan, sang anak akan mengulangi perbuatan bejat orang tuanya. Begitu seterusnya. Ibarat lingkaran setan yang tak terputus. 

3. Rumah tangga jauh dari barokah dan rahmat Allah SWT. Bagaimana akan menjadi pernikahan barokah dan mendapat rahmat Allah bila memulai prosesnya dengan cara yang menyimpang dari syariat Islam? Bila tidak melakukan tobatan nasuha dan memperbaiki diri, maka tujuan rumah tangga sakinah mawaddah wa rahmah akan sulit terwujud. 

4. Dispensasi nikah seolah melegalisasi kemaksiatan. Disadari atau tidak, pengabulan terhadap pengajuan dispensasi nikah seolah menjadi legalisasi atas kehamilan tak dikehendaki (gaul bebas). Pelaku seks di luar nikah seolah tak layak dipersalahkan. Bila terjadi  kehamilan, masih bisa lanjut ke jenjang pernikahan dengan mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan. 

5. Tidak menimbulkan efek jera hingga KTD terus terjadi. Pelaku gaul bebas mengalami KTD lalu memohon dispensasi nikah dan dikabulkan, lanjut ke proses pernikahan. Tanpa sanksi tegas terhadap pelaku zina, membuat remaja lain tak jera melakukan hal sama. "Paling kalau hamil, dinikahkan. Toh orang tua juga masih ikut menanggung beban hidup," begitu kira-kira pemikirannya. 

Demikian dampak dari pengajuan dispensasi nikah. Ia lebih berfungsi sebagai penutup aib dan penjamin diakuinya anak hasil zina itu secara hukum. Bukan sebagai pencegah agar KTD tidak terjadi atau memberikan sanksi bagi pelakunya.

Strategi Pengaturan Interaksi Lawan Jenis agar Terhindar dari Gaul Bebas Berujung KTD

Sistem sekularisme telah terbukti mengantarkan generasi muda pada kerusakan interaksi sosial. Bahkan memfasilitasi kerusakan tersebut berlindung di balik ketiak HAM. 

Sekalipun pemerintah telah membuat berbagai kebijakan (program) untuk mengatasi persoalan gaul bebas dan nikah dini dengan menaikkan usia perkawinan 19 tahun, membuat program GenRe (Generasi Berencana), penyuluhan kesehatan reproduksi, dan pemberian dispensasi nikah, namun realitasnya angka gaul bebas dan KTD justru kian tinggi. Hal ini menunjukkan, saat berbagai solusi praktis diterapkan namun akar masalah yaitu sekularisme liberalistik tetap ada, maka ditengarai problem pergaulan bebas akan terus terjadi. 

Adapun Islam sebagai agama sempurna dan menyeluruh telah memberikan pengaturan pergaulan laki-laki dan perempuan untuk menjaga kehormatan keduanya dan memelihara keturunan. Baik dalam aspek pencegahan (preventif) dalam bentuk aturan (rambu-rambu) maupun aspek penanganan (kuratif) berupa sanksi hukum.

Setidaknya ada sembilan rambu keselamatan pergaulan dengan lawan jenis untuk mencegah agar zina tidak terjadi, yaitu: 
 
Pertama, larangan mendekati zina. "Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk." (QS. Al Isra: 32). Tak hanya zina itu sendiri yang diharamkan, namun semua aktivitas yang mendekati atau bisa mengantarkan pada zina juga diharamkan. 

Kedua, wajib menjaga pandangan (ghadul bashar) baik bagi laki-laki maupun perempuan. Di dalamnya ada larangan untuk melihat aurat satu sama lain dan memandang selain aurat dengan syahwat (QS. An Nuur: 30-31). 

Ketiga, menutup aurat bagi laki-laki maupun perempuan. Perempuan diperintahkan memakai khimar dan jilbab ketika keluar rumah sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An Nuur: 31 dan Al Ahzab: 59.

Keempat, larangan bertabarruj/bersolek bagi perempuan (QS. Al Ahzab: 59). 

Kelima, larangan berkhalwat (berdua-duaan). Rasulullah SAW bersabda: “Ingatlah, bahwa tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim)

Keenam, larangan safar tanpa mahram. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya. Dan lelaki tidak boleh masuk ke rumahnya kecuali ada mahramnya.” Maka seorang sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, aku berniat untuk berangkat (jihad) perang ini dan itu, sedangkan istriku ingin berhaji”. Nabi bersabda: “Temanilah istrimu berhaji.” (HR. Bukhari no. 1862, Muslim no. 1341)

Ketujuh, wajib izin bagi wanita kepada suaminya atau walinya ketika keluar rumah. 

Kedelapan, hubungan kerjasama antarlawan jenis bersifat umum, seperti dalam pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Islam melarang aktivitas khusus seperti saling mengunjungi tanpa keperluan syar'i, membicarakan masalah pribadi, maupun aktivitas-aktivitas yang menjurus pada seksualitas. Interaksi  kerjasama tersebut dijaga untuk mewujudkan kewajiban masing-masing.

Kesembilan, kewajiban pemisahan antara pria dan wanita dalam kehidupan. Islam menetapkan kehidupan khusus bagi perempuan di rumahnya bersama mahramnya. Islam  memisahkan jamaah laki-laki dan perempuan dalam shaf shalat hingga penyelenggaraan walimatul 'ursy. Pun mendorong wanita untuk tidak berdesakan di tempat umum dan segera kembali ke rumah bila telah selesai menunaikan aktivitasnya.

Sementara jika zina telah dilakukan, maka pelakunya akan dikenai sanksi (hukuman). Bagi yang belum menikah (ghairu muhsan) dicambuk seratus kali dan yang sudah menikah (muhsan) dirajam hingga mati. Sanksi dalam Islam berfungsi sebagai jawabir (penebus siksa akhirat) dan jawazir (pencegah terjadinya tindak kriminal agar tidak terulang).

Demikianlah Islam mengatur tentang pergaulan lawan jenis. Dalam pelaksanaannya tentu tidak hanya butuh ketakwaan individu. Kontrol masyarakat dan aturan negara jelas dibutuhkan. Terlebih hanya negara yang bisa menghukum tiap pelanggaran. Negara juga akan mengatur media agar tidak menampilkan konten-konten yang merusak. 

Dan hanya institusi pemerintahan Islam yang mampu dan mau menerapkan syariat Islam secara paripurna, termasuk soal pergaulan lelaki perempuan. Dengannya, kehormatan dan keturunan manusia akan terpelihara. Mari berjuang mewujudkan sistem hidup nan mulia.


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar