UIY: Penguburan dan Pengaburan Sejarah Hari Pahlawan Adalah Dua Bentuk Kejahatan


TintaSiyasi.com -- Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto membeberkan penguburan dan pengaburan sejarah adalah dua bentuk kejahatan sejarah. 

"Ada dua bentuk kejahatan sejarah yaitu penguburan sejarah dan pengaburan sejarah," ungkapnya dalam dialog yang berjudul Hari Pahlawan Menguak Penguburan dan Pengaburan Sejarah, Ahad (6/11/2022) di YouTube UIY Official.

Pertama, penguburan sejarah. "Penguburan sejarah adalah peristiwanya ada tapi tidak ditulis oleh sejarah. Contohnya, resolusi jihad. Semua orang mengetahui 10 November yang kemudian dikenal sebagai hari pahlawan di tetapkan untuk memperingati keberanian pemuda-pemuda surabaya melawan Belanda yang membonceng NICA, yang hendak menjajah kembali Indonesia yang berpuncak pada perobekan bendera merah putih biru di hotel Orange Country

Ia menuturkan, peristiwa tersebut ditulis di dalam sejarah tapi peristiwa penting sebelumnya yang menjadi dasar atau menjadi pemicu perlawanan itu justru tidak diungkap oleh sejarah, yaitu peristiwa resolusi jihad, inilah penguburan sejarah. 

Kedua, pengaburan sejarah. "Pengaburan sejarah adalah peristiwa nya ada, ditulis dalam sejarah tapi ditulis secara tidak sebenarnya. Contohnya, siapa sih sebenarnya inspirator kebangkitan Nasional melawan penjajah kemerdekaan? sejarah yang ada sering menyebut Budi Utomo. Tapi jika sejarah mencatat secara jujur tidak ada pengabaran sejarah, mestinya bukan Budi Utomo tetapi Syarikat Islam, yang memang pada masa itu betul-betul inspirator kebangkitan Nasional," jelasnya. 

Ia menjelaskan, pada tahun awal berdirinya saja Syarikat Islam sudah memiliki cabang 18 wilayah, untuk ukuran masa sekarang itu sudah sangat besar. Apalagi masa itu tokoh-tokohnya juga Nasional antara lain, Hos Cokroaminoto dari Jawa Timur, KH. Saman Hudi dari Jawa Tengah, AM Sangaji dari Maluku, Abdul Muis, Agus salim dari Sumatra Barat. Cabang di Indonesia dengan anggota tidak kurang dari 700 ribu. Tiga tahun kemudian tahun melonjak menjadi 2 juta. Untuk ukuran sekarang itu sudah besar. 

"HOS Cokroaminoto itu tokoh paling hebat di dalam sejarah Indonesia, tapi sejarah juga yg mengecilkan nya. Kebesaran tokoh ini diwakili dengan dipakai untuk nama jalan, misalnya di Yogyakarta ada Jl. Hos Cokroaminoto, yang dulu kecil sekarang jadi besar, dinamai itu karena di ujung jalan itu ada makam HOS Cokroaminoto. Sementara dalam persepsi kita tokoh besar itu yang dipakai untuk nama jalan di kota besar, misalnya Jl. Tamrin, Sudirman, Gatot Subroto di jakarta, jalannya lebar dan besar. Jadi disini ada pengaburan sejarah," ujarnya. 

Ia mengutip sebuah buku yang ditulis KH. Firdaus AN yang berjudul Syarikat Islam bukan Budi Utomo dituliskan semestinya Syarikat Islam bukan Budi Utomo. Budi Utomo itu organisasi yang tidak ada pikiran untuk kebangkitan perlawanan terhadap belanda. Sebagaimana di kutip dalam pasal 2 anggaran Budi Utomo, disana ditulis tujuan organisasi Budi Utomo itu adalah: 'Untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura.' Jadi jelas sekali Budi Utomo itu bersifat Jawa Madura Centris menurut K.H. Firdaus AN.

"Bahkan kata dia ada nada-nada kebencian terhadap agama, misalnya dalam pidato Budi Utomo Noto Suroto itu mengatakan: 'Agama Islam itu merupakan baru karang yang sangat berbahaya, sebab itu harus disingkirkan agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.'
Bagaimana bisa orang semacam ini dikatakan sebagai pelopor kebangkitan Nasional. Dua hal ini sebagai contoh penguburan dan pengaburan sejarah. Itulah maka banyak anak muda termasuk kita-kita yang belajar sejarah secara biasa itu pasti akan tidak pernah ketemu peristiwa tentang jihad dan resolusi jihad," tuturnya. 

Menurutnya, ketika pemerintah itu menetapkan 22 Oktober sebagai hari santri orang baru mulai terbuka tentang peristiwa 22 Oktober. Tapi sebetulnya memang ada buku juga yang ditulis oleh Gugun El Guyanie judulnya: 'Resolusi jihad paling syar'i.' Ini sebuah buku yang merupakan tesis master. Disini terungkap pula seperti judulnya kebenaran yang hampir setengah abad dikaburkan. Sejarah itu kemudian terbongkar. Jadi 22 Oktober yang telah ditetapkan sebagai hari santri meskipun sebenarnya agak kurang tepat. Kalau mau tepat itu 22 Oktober sebagai hari resolusi jihad atau hari jihad atau hari ulama atau hari kyai karena 22 Oktober itu bertemunya para kyai atau ulama di kantor Nahdatul Ulama. 

"Itulah maka penting bagi kita untuk mengungkap kebenaran sejarah melalui apa yang saya katakan, menulis kembali dan bercerita kembali agar kita tidak keliru membaca sejarah, sebab keliru membaca sejarah akan keliru juga dalam mengambil ibrahnya.

Perang Ideologi

Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengungkapkan peristiwa 10 November 1945 adalah perang yang kental dengan benturan pandangan politik ideologi.

“Perang yang terjadi pada peristiwa 10 November itu bukan perang karena perselisihan perbatasan, bukan karena rebutan sumber daya ekonomi, sumber daya energi atau perselisihan entitas, bukan! Tetapi, suatu perang yang sangat kental dengan perbenturan pandangan politik ideologi,” ungkap UIY.

Menurutnya, hal itu adalah perang antara pihak yang ingin menjajah dan pihak yang menolak untuk dijajah. Ia menegaskan, jadi sangat jelas maksud kedatangan Netherlands Indies Civil Administration atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) pada waktu itu, beberapa bulan setelah Indonesia merdeka pada Agustus 1945 sekitar September-Oktober adalah usaha Belanda masuk lagi untuk menguasai negeri yang sangat besar potensinya. Menurutnya, Belanda negara kecil sangat terbatas potensi sumber daya alamnya, mereka melihat Nusantara ini luar biasa.

"Belanda itu pertama kali sesungguhnya yang mengetahui di Irian ada emas, Belanda itu sudah masuk lebih dulu ke Irian, tidak hanya masuk Irian bahkan sudah masuk ke hampir seluruh wilayah Nusantara. Ada buku masterpiece berjudul Geologi van Java yang ditulis oleh Van Bemmelen, geolog dari Belanda. Dia menulis itu karena dia memang melakukan survei secara langsung atas kondisi geologi di tanah Jawa khususnya,” ujarnya.

Ia menjelaskan, geolog Belanda tersebut mengetahui di Irian ada potensi emas yang sangat besar sejak tahun 1935. Baru belakangan 1945 geolog Amerika mengetahuinya. “Itulah kenapa Belanda tidak mau melepaskan Irian. Irian baru masuk wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tahun 1967 dan yang membantu masuknya Irian ke wilayah NKRI adalah Amerika dengan kompensasi diberi kewenangan untuk mengelola tambang emas di Freeport itu. Jadi, intensinya bagi Belanda sangat jelas bahwa dia tidak ingin kehilangan wilayah Nusantara,” jelasnya.

Ia mengatakan, saat NICA datang, Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno yang biasa disapa Bung Karno langsung bertanya ke salah satu ulama, yakni KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU). “Untuk itulah Bung Karno datang ke KH Hasyim Asyhari, menanyakan bagaimana sikap kita? Dijawab KH Hasyim Asyhari, ‘kita lawan’. Nah di dalam agama Islam itu namanya jihad,” tuturnya menambahkan.

Ia mengatakan, respons rakyat Indonesia terhadap usaha Belanda untuk menjajah kembali Indonesia tidak lepas dari peristiwa politik itu dari dimensi agama. Bagi seorang Muslim semua itu terkait agama. Dan itu yang ditekankan oleh KH Hasyim Asyhari di dalam fatwa yang kemudian dikenal dengan fatwa jihad.

Menurut UIY, ada tiga fatwa jihad yang dikeluarkan tanggal 22 Oktober. Pertama, hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ‘ain bagi orang Islam yang bisa meskipun orang fakir. Kedua, hukumnya orang yang meninggal melawan NICA serta komplotan Belanda adalah mati syahid. Ketiga, hukumnya orang yang memecah persatuan kita itu wajib dibunuh.

“Karena itu, peristiwa 10 November akhirnya tidak bisa tidak berdimensi agama. Karena, memang di dalam ajaran Islam itu dinamakan jihad difai’ atau jihad defensif. Sebagaimana dikutip dalam surah Al-Baqarah ayat 190,” kata UIY, sembari membacakan ayat yang artinya:

‘Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.’

Ia menambahkan, jihad difai’ itu fardhu ‘ain bagi orang-orang yang tinggal di wilayah yang diserang musuh. Yang itu akan melebar ke penduduk yang lebih luas, jika fardhu ‘ain atau kewajiban mengusir penyerang itu belum bisa ditunaikan artinya penyerangnya belum bisa diusir.

"Jadi peristiwa 10 November itu jelas sekali berkaitan dengan respons umat Islam yang ditujukan melawan penyerang, dan itulah yang menjadi dasar munculnya fatwa jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober setelah para ulama dan kiai se-Jawa Madura berkumpul 21 Oktober di kantor Anshor Nahdatul Ulama yang berpangkal dari fatwa jihadnya KH Hasyim Asyhari itu. Faktanya sekarang peristiwa tersebut tidak dikaitkan dengan dimensi agama itulah yang sering kita katakan sebagai penguburan sejarah,” pungkasnya.[] Rina

Posting Komentar

0 Komentar