Tritura Aksi 411 dan Ambruknya Supremasi Hukum

TintaSiyasi.com -- "Turunkan harga BBM, turunkan harga-harga, tegakkan keadilan!" Inilah Tritura (tiga tuntutan rakyat) yang disuarakan oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam bersama Persaudaraan Alumni (PA) 212. Mereka tergabung dalam Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) dan berdemo pada Aksi Bela Rakyat Jilid 4 (Akbar 411) di dekat Istana Presiden, Jakarta pada Jumat (4/11) (cnnindonesia.com, 4/11/2022).

Tak hanya dalam tuntutan Aksi 411di atas, keadilan hukum sangat dirindukan oleh rakyat Indonesia. Terlebih di tengah carut-marut penegakannya. Dugaan terjadi ketidakadilan yang terkesan mengutamakan tindakan memukul daripada merangkul terhadap kelompok atau orang yang dinilai berseberangan dengan pemerintah, menjadi ironi tersendiri. Sebuah elegi hukum dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan ini. 

Dalam pemerintahan yang cenderung otoriter, hukum negara (kepastian hukum) justru diutamakan dengan mengabaikan keadilan. Hukum dipakai sebagai sarana melegitimasi tindakan pemerintah meski keliru. Padahal idealnya hukum harus menciptakan keadilan. Dengan kata lain, hukum itu berkeadilan atau hukum yang adil. Sebagaimana perkataan Thomas Aquinas, “Lex injusta non est lex.” Artinya hukum yang tidak adil bukanlah hukum. 

Inilah yang sedang terjadi. Saat hukum tak lagi ditaati, bahkan ia dikendalikan oleh sekelompok orang (penguasa) demi ambisi kursi mereka, tumbuhlah oligarki kekuasaan di negara hukum. Hingga matilah demokrasi dan terjerumus dalam negara kekuasaan. Akhirnya, hukum hanyalah permainan bagi sekelompok orang. Supremasi hukum ambruk. Yang tersisa adalah supremasi kekuasaan politik.

Relasi Negara Hukum dan Demokrasi hingga Muncul Hegemoni Oligarki

Secara konsep, negara Indonesia hakikatnya menganut prinsip “Rule of Law, and not Rule of Man." Ini sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum atau nomos. Dalam negara hukum yang demikian, harus ada jaminan hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum pada hakikatnya berasal dari kedaulatan rakyat. 

Pada hakikatnya, negara dengan sistem pemerintahan demokratis sudah seharusnya adalah sebuah negara hukum. Sebab, tanpa hukum (yang baik, adil, dan pasti), pemerintahan demokratis sulit mencapai apa yang menjadi intisari dan cita-cita demokrasi. Tanpa hukum, demokrasi – sebagaimana sering dikatakan orang sekarang ini – dapat berubah menjadi “democrazy” sebagaimana tampak di dalam aksi-aksi demonstrasi yang anarkis, karena “kedaulatan rakyat” (demokrasi) cenderung rentan terhadap “godaan” berubah rupa menjadi “kediktatoran rakyat” dan “kediktatoran mayoritas”. 

Sebaliknya tanpa demokrasi, hukum dapat merosot menjadi alat pemaksa dan penindas rakyat, serta alat pembenaran diri dan payung pelindung para pemangku kekuasaan negara. Di dalam sistem pemerintahan negara demokratis, hukum tampil sebagai norma objektif yang mengatur seluruh tatanan hidup bernegara dan mengikat seluruh warga negara tanpa kecuali. 

Letak demokrasi dalam negara hukum adalah sebuah sistem pemerintahan yang bertumpu pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi untuk membuat keputusan-keputusan politik, bukan pada seseorang (diktator) atau sekelompok orang (oligarki, entah para aristokrat atau para teknokrat, dan lain-lain) yang berpendidikan, berkedudukan, dan berpengaruh dalam masyarakat. 

Agar negara dapat dikatakan sebagai negara hukum dan demokrasi, maka dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahannya terdapat prinsip sebagai berikut: 

1. Supremasi hukum (supremacy of law).
2.Persamaan dalam hukum (equality before the law). 
3. Asas legalitas (due process of law).
4. Pembatasan kekuasaan. 
5. Organ-organ penunjang yang independen. 
6. Peradilan bebas dan tidak memihak. 
7. Peradilan Tata Usaha Negara. 
8. Mahkamah Konstitusi. 
9. Perlindungan hak asasi manusia.
10. Bersifat demokratis (democratishe rechtsstaat).
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat).
12. Transparansi dan kontrol sosial.

Namun realitasnya, di beberapa negara yang mengakui diri sebagai negara demokrasi, kerap muncul sebuah fenomena paradoks di mana lembaga-lembaga demokrasi tidak saja terjebak dalam praktik oligarki tapi menjadi akar bagi penciptaan oligarki itu sendiri. Tidak terkecuali di Indonesia. 

Oligarki merupakan sistem politik di mana pihak yang memerintah terdiri atas sekelompok orang (elit). Mereka menggunakan segala cara agar rakyat dapat dikendalikan dan dikuasai. Aristoteles mengatakan oligarki adalah sebuah sistem pemerintahan oleh sedikit orang kaya yang biasa disebut kaum aristokrat, bertujuan demi kepentingan pribadi mereka dan tanpa keadilan. 

Mengapa oligarki politik bisa ada dalam demokrasi? Demokrasi memang memberikan jalan lapang pada apa yang disebut dengan kedaulatan rakyat. Membuka jalan lebar bagi aspirasi rakyat. Saat rakyat berdaulat, ia bisa menentukan apa yang terbaik baginya. Secara teori begitu yang diinginkan dan diangankan oleh pendukung demokrasi. Tetapi secara fakta tidak demikian. 

Ketika demokrasi membuka pintu seluas-luasnya kepada rakyat untuk menentukan jalannya negara, mudah ditebak bahwa kelompok yang sangat kaya (baca: pengusaha industri media dan industri strategis lainnya) tak akan tinggal diam. Mereka akan berusaha meraih kekuasaan untuk menjaga dan mengembangkan kepentingannya. Akhirnya demokrasi berubah total dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan konglomerat.

Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) boleh saja mengatakan demokrasi adalah “From the people, by the people and for the people.” Tapi sebelas tahun setelah Lincoln meninggal, Presiden Rutherford B. Hayes pada tahun 1876 mengatakan kondisi di Amerika Serikat saat itu adalah “From company, by company and for company.” 

Dengan kata lain, demokrasi secara alami akan bertransformasi menjadi wajah oligarki. Yaitu sistem politik dari konglomerat, oleh konglomerat dan untuk konglomerat. “Of the 1%, by the 1%, for the 1%. (Dari satu persen, oleh satu persen, untuk satu persen orang).” (Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi)

Selain itu, transformasi ini tak bisa lepas dari watak demokrasi itu sendiri. Meski teorinya yang berdaulat adalah rakyat, tetapi faktanya rakyat hanya dijadikan vote getter (pengumpul suara) dalam ajang pemilu. Setelahnya, peran rakyat hilang karena dia diwakili oleh wakilnya yang datang dari partai politik (parpol). Sementara yang berwenang/berkuasa dalam parpol adalah pemilik dan pengurusnya.

Berikut peran parpol yang mendorong munculnya oligarki: 

Pertama, keberadaan figur utama atau elit partai menjadi penentu  banyak hal. 'Orang-orang kuat' ini muncul sebagai reprensentasi ideologis atau historis. Dalam konteks Indonesia saat ini, karena pada umumnya partai tidak bersifat ideologis, maka figuritas karena faktor kesejarahan terbentuknya partai atau sebuah 'momen historis' sehingga seorang figur mencuat ke permukaan dan mendapat dukungan luas serta penghormatan.

Kedua, ketergantungan finansial partai pada sumber-sumber keuangan dimiliki atau jaringan yang dimiliki para figur itu. Colin Crouch (2004) menggunakan istilah "firma politik" untuk menggambarkan ketergantungan finansial dan merembet pada struktur pembentukan partai. Partai-partai tersebut pada akhirnya cenderung bersifat "ultra-sentralistis" dan berperan terutama sebagai pelayan bagi kepentingan elit. 

Ketiga, pelembagaan partai yang belum sempurna. Pelembagaan partai adalah sebuah kondisi ketika sistem yang dibangun partai dan segenap aturan main dihargai serta dijalankan secara konsisten selain terbangunnya pola sikap dan budaya dalam partai (Randall dan Svansand 2002). Namun saat ini pelembagaan masih berjalan stagnan bahkan mengalami regresi. Aturan kerap ditafsirkan lalu disesuaikan demi kepentingan elit dan jaringan oligarkinya. 

Keempat, AD/ART partai menjadi landasan penguatan peran elit. Studi mengenai kandidasi partai menunjukkan dalam banyak hal termasuk kandidasi, figur pimpinan partai menjadi demikian berkuasa bahkan absolut, karena aturan main internal memberi celah untuk itu. Akhirnya mendorong kepatuhan buta yang mengorbankan sikap kritis dan objektif. 

Kelima, faktor eksternal yang turut mempengaruhi aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang secara umum memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam dirinya. 

Setidaknya hingga kini keharusan kaderisasi, pengelolaan keuangan partai yang mampu menetralisasi peran oligarki belum diatur secara tegas dan komprehensif. Selain itu, syarat ambang batas presiden maupun pencalonan kepala daerah yang memberikan peluang elit partai untuk saling bermanuver membangun koalisi juga berkontribusi sebagai pengokohan kekuasaan elit maupun ketergantungan kader pada manuver elit. 

Faktor eksternal lain yang memberikan kenyamanan para oligark adalah sikap kurang kritis masyarakat atau pada kondisi internal partai. Akibatnya, partai tidak merasa terusik apalagi terpicu memperbaiki diri. 

Bila melihat realitas yang menggejala dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia, tampak oligarki sebagaimana tafsiran Winters merupakan penyakit akut. Nyaris semua partai di Indonesia dikuasai oleh segelintir elit yang memiliki--dalam istilah Pierre Bourdie--modal kapital dan sosial yang kuat. 

Akibatnya, ketika parpol seakan menganut sistem oligarki maka terjadilah pembungkaman suara rakyat hingga timbul rasa apatis di sebagian besar kalangan masyarakat terhadap politik itu sendiri. Pada akhirnya, oligarki kekuasaan dapat menyebabkan collaps-nya negara hukum dan dengan sendirinya prinsip-prinsip demokrasi akan mati. Ketika oligarki kekuasaan muncul, mesin demokrasi pun sebenarnya telah mengalami senjakala. Pertanyaan tentang “How Democracies Die” dengan demikian sudah  terjawab.

Dampak Hegemoni Oligarki terhadap Supremasi Hukum

Supremasi hukum merupakan upaya menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi. Dengan menempatkan hukum sesuai tempatnya, hukum dapat melindungi seluruh warga masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak mana pun, termasuk oleh penyelenggara negara.

Sayangnya, kehadiran oligarki dengan kekuatan modal kapital tidak terbatas, tak hanya mendominasi simpul-simpul kekuasaan, bahkan menguasai hukum itu sendiri. Dampak dari hegemoni oligarki terhadap supremasi hukum ialah:

Pertama, prinsip suka-suka kami (SSK) dalam penegakan hukum. Hukum saat ini terkesan tak berstandar jelas. Penegakan hukum bisa dibilang suka-suka aparat penegak hukum (APH). Polisi menangkap jika mau, membiarkan laporan jika suka. Pun menangguhkan bila mereka berkehendak, mengabaikan permohonan penangguhan jika mereka tak berkehendak. Tak ada ukuran objektif, polisi terkesan suka-suka memperlakukan tersangka bahkan meski baru terduga. Terlebih bila dalam penanganan hukum terdapat intervensi sang oligark. 

Kedua, diskriminatif atau inequality before the law. Hukum yang adil adalah memperlakukan sama untuk kasus yang sama (sejenis). Memperlakukan berbeda untuk kasus yang beda. Jadi mesti ada equality before the law. Jika tidak, terjadi penegakan hukum nan ambyar, misalnya melakukan kriminalisasi ulama dan aktivis (Gus Nur, Munarman, H4ER5)  versus pembiaran para buzzer pendukung rezim (Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armando dan lain-lain). 

Ketiga, terjadi penyunatan hukuman, khususnya terkait kasus korupsi/suap. Seperti pada kasus Jaksa Pinangki yang semula dihukum 10 tahun, dipangkas 6 tahun, lalu jadi 4 tahun penjara. Demikian pula dalam kasus Djoko Tjandra dan kasus-kasus lainnya, padahal kita sudah mempunyai sense of crisis terhadap tindak pidana korupsi. Tentu hal ini menjadi ironi. 

Keempat, proses penegakan hukum yang kejam (brutal). Penanganan dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan enam anggota laskar eF-Pe-I yang dibunuh di luar hukum (extrajudicial killing) oleh aparat. Menunjukkan betapa kejam telah menghabisi seseorang yang tidak berdaya dengan tembakan jarak dekat. Padahal membunuh satu nyawa manusia tanpa hak itu, seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya (QS. Al Maidah: 32). Diduga ada otoritas kuasa yang melingkupi kasus ini.

Saat penguasa (oligark) melakukan bifurkasi hukum, mereka mengubah/membelokkan secara paksa prinsip negara hukum (rechtstaat) menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Di sinilah penegakan hukum hanya sebagai legitimasi kekuasaan, demi mempertahankan status quo. Ketika hukum dipakai sebagai sarana legitimasi kekuasaan, maka ia menjadi tunggangan politik. 

Yang lebih parah lagi, akibat bifurkasi hukum, kita mengalami masa yang disebut industri hukum. Yaitu saat hukum dimanfaatkan oleh siapa saja, baik oleh rezim (oligark) untuk mengokohkan kekuasaannya atau digunakan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Hukum tidak lagi berorientasi pada kebenaran dan keadilan (the truth and justice), tapi berupa keuntungan dan kepentingan (vested interest). Kondisi ini akan mengantarkan pada ambruknya supremasi hukum.

Jalan Keluar Mengurangi Hegemoni Oligarki hingga Supremasi Hukum Terwujud

Hegemoni oligarki tak hanya tak dikehendaki dalam alam demokrasi. Sistem pemerintahan ini pun tidak sesuai dengan sistem Islam yang begitu peduli dan memperhatikan urusan rakyat (kaum Muslimin). Namun bukan berarti, sistem Islam sepakat dengan demokrasi. 

Titik kritis perbedaan keduanya terletak pada siapakah pemilik kedaulatan alias pemegang hak pembuatan aturan (UU). Demokrasi mengakui kedaulatan di tangan rakyat. Adapun Islam sepenuhnya menyerahkan kedaulatan di tangan syara’. 

Meski fenomena semacam oligarki memungkinkan terjadi dalam sistem Islam, tetapi praktiknya tetap dibatasi oleh hukum syariat dan ketersediaan sanksi tegas jika terjadi pengabaian terhadap hak umat maupun kezaliman lainnya. 

Dalam sistem Islamlah, hukum dan keadilan dijunjung tinggi, jauh dari intervensi penguasa, dan harus ditegakkan kepada siapa saja. Urgensi supremasi hukum telah diingatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman: 

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah: 50)

Dengan demikian, negara mesti menerapkan sistem hukum yang berkeadilan. Sebagaimana konsep hukum Islam, ajaran hidup yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini. Berikut strategi menegakkan supremasi hukum sekaligus mengurangi hegemoni oligarki.  

Pertama, tidak boleh dipengaruhi oleh rasa suka atau tak suka, kawan atau lawan, dekat atau jauh.

Allah SWT berfirman, “Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada ketakwaan.” (QS. Al-Maidah: 8)

Kedua, tidak boleh dipengaruhi oleh rasa kasihan sehingga berakibat tidak menjalankan hukum terhadap pelaku kriminal. 

Allah SWT berfirman, “Janganlah rasa kasihan kepada keduanya (pelaku zina) mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah.” (QS. An Nuur: 2)

Ketiga, hukum berlaku untuk semua. Tidak boleh ada privelese dalam penerapan hukum sehingga seolah ada individu atau kelompok orang yang tak tersentuh hukum (untouchable man). 

Rasulullah SAW bersabda, “Tegakkanlah hukum Allah atas orang dekat atau pun yang jauh. Janganlah celaan orang yang suka mencela menghalangi kalian untuk menegakkan hukum Allah.” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim, dan Al Baihaqi)

Hadis ini memerintahkan agar menegakkan hukum tanpa diskriminasi (tebang pilih). Frasa 'orang dekat atau orang jauh' maknanya bisa dari sisi nasab dan kekerabatan, yang kuat dan yang lemah, atau yang bangsawan/pejabat dan rakyat biasa. Bisa juga kedekatan dari sisi dekat dengan kekuasaan dan penguasa, atau orang-orang dalam lingkaran kekuasaan, pendukung rezim, pun kaum oligark. 

Selain itu, hadis ini juga mengingatkan jangan sampai komentar-komentar orang mempengaruhi penegakan hukum. Artinya, yang harus diperhatikan adalah penegakan hukum dan keadilan itu sendiri, yakni yang bersumber dari Allah SWT sebagai sebuah kewajiban. 

Rasul SAW pun memperingatkan bahwa penegakan hukum secara diskriminatif akan menyebabkan kehancuran masyarakat.

“Sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka itu, jika orang mulia di antara mereka mencuri mereka biarkan, dan jika orang lemah mencuri mereka menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, andai Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” (HR. Bukhari-Muslim, Abu Dawud, An Nasai, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Hadis di atas menegaskan asas persamaan di muka hukum. Tidak seorang pun punya hak istimewa dan kebal hukum. Rasul SAW memperingatkan bahwa penyimpangan terhadap pelaksanaan asas ini menjadi penyebab kemunduran, kerusakan, bahkan kebinasaan masyarakat. 

Demikianlah penerapan hukum yang mengurangi hegemoni oligarki hingga terwujud supremasi hukum. Namun sistem hukum berkeadilan seperti ini akan sulit teraih, bila masih berlandaskan pada ideologi sekularisme kapitalistik seperti sekarang. Maka kembalikan pembentukan dan pengaturannya berdasar hukumnya Sang Pembuat Hukum yaitu Allah SWT. Tak ada hukum seadil hukumnya Allah SWT Sang Maha Adil.

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
(Pakar Hukum dan Masyrakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar