Multaqa Ulama Al-Qur’an Nusantara 2022: Mungkinkah Harapan Umat Menerapkan Al-Qur'an dalam Kehidupan Nyata dapat Terwujud?


TintaSiyasi.com -- Dalam pers rilis (kemenag.go.id, 13/11/2022), Kementerian Agama akan menyelenggarakan Multaqa Ulama Al-Qur’an Nusantara. Ajang pertemuan para ulama Al-Qur'an ini akan berlangsung di Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, 15-17 November 2022. Sejumlah tokoh dijadwalkan hadir dalam kegiatan bertajuk “Pesan Wasathiyah Ulama Al-Qur’an Nusantara” itu. 

Dirjen Pendidikan Islam M Ali Ramdhani menegaskan, peran ulama Al-Qur’an sangat penting dalam mendorong terciptanya harmonisasi umat manusia di dunia. Al-Qur’an memiliki nilai-nilai luhur yang dijadikan sebagai penuntun hidup oleh pemeluknya. Ia juga menegaskan bahwa multaqa ini bertujuan untuk memfasilitasi berbagai gagasan berkaitan dengan Al-Qur’an.

Tujuan acara multaqa ulama yang ingin menjadikan Al-Qur'an sebagai penuntut hidup tentu sejalan dengan harapan umat Muslim. Tentunya umat berharap pelaksanaan acara multaqa tersebut dapat memberi harapan bagi umat untuk menerapkan Al-Qur'an dalam kehidupan nyata dapat terwujud. Al-Qur'an sebagai sumber hukum yang diterapkan, yang akan mewujudkann Islam sebagai rahmatan lil'alamin.


Tipisnya Harapan Umat Melalui Multaqa Ulama Al-Qur'an Nusantara dapat Mewujudkan Penerapan Al-Qur'an dalam Kehidupan Nyata

Menurut Wikipedia, ulama (bahasa Arab: العلماء) adalah pemuka agama atau panutan agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari-hari yang diperlukan, baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.

Pengertian ulama secara harfiyah adalah “orang-orang yang memiliki ilmu”. Dari pengertian secara harfiyah dapat disimpulkan bahwa ulama adalah:
Pertama, orang Muslim yang menguasai ilmu agama Islam. 
Kedua, Muslim yang memahami syariat Islam secara menyeluruh, sebagaimana terangkum dalam Al-Quran dan ''As-Sunnah''. 
Ketiga, menjadi teladan umat Islam dalam memahami serta mengamalkannya.

Ulama adalah tumpuan dan tempat harapan bagi umat. Diharapkan melalui tangan-tangan mereka, umat dapat terikat dengan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Al-Qur'an dapat menjadi pedoman hidup dan sumber hukum dalam sebuah kehidupan bernegara.

Telah jelas bahwa Allah SWT berfirman:

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ  ۛ فِيهِ  ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

Tafsir al-Jalalain mengartikan ayat ini, "(Kitab ini) yakni yang dibaca oleh Muhammad SAW (tidak ada keraguan) atau kebimbangan (padanya) bahwa ia benar-benar dari Allah SWT. Kalimat negatif menjadi predikat dari subyek 'Kitab ini', sedangkan kata-kata isyarat 'ini' dipakai sebagai penghormatan. (menjadi petunjuk) sebagai predikat kedua, artinya menjadi penuntun (bagi orang-orang yang bertakwa) maksudnya orang-orang yang mengusahakan diri mereka supaya menjadi takwa dengan jalan mengikuti perintah dan menjauhi larangan demi menjaga diri dari api neraka." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 2).

Sedangkan, makna takwa menurut Ibnu Katsir adalah menjaga diri dari hal-hal yang dibenci, karena kata taqwa berasal dari kata al-wiqaayah (penjagaan).

Dikatakan bahwa Umar bin al-Khaththab pernah bertanya kepada Ubay bin Ka'ab mengenai takwa. Lalu Ubay bertanya kepadanya: "Apakah engkau pernah melewati jalan berduri?" Umar menjawab: "Ya." Ubay bertanya lagi: "Lalu apa yang engkau lakukan?" Umar menjawab: "Aku akan berusaha keras dan bersungguh-sungguh untuk menghindarinya." Lalu Ubay mengatakan: "Itulah takwa." [Tafsiir al-Baghawi (I/59), Jaami'ul 'Uluum wal Hikam (I/160)].

Takwa yang berarti mengikuti apa yang diperintahkan Allah SWT dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh Allah SWT dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber hukum serta As-Sunnah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Al-‘ulama’ Warasatat al-Anbiya (ulama pewaris para Nabi), karenanya ulama memiliki pengaruh besar di masyarakat Muslim. Hal ini diketahui berdasarkan sebuah hadis panjang yang diriwayatkan dari jalur Abu Darda, sebagai berikut:

Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Orang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi sampai ikan di air. Keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Para ulama itu pewaris para Nabi dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham. Yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Siapa yang mengambil ilmu itu, maka telah mendapatkan bagian yang paling banyak."

Jelas dipahami, ketika menginginkan nilai-nilai Al-Qur'an dapat tegak dalam kehidupan nyata, berarti harus menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup, sumber dari segala sumber hukum, harus tunduk sepenuhnya dengan setiap aturan yang Allah SWT turunkan, baik yang tertuang dalam Kalamullah mau pun As-Sunnah. Memahami Al-Qur'an sebagai pedoman hidup, berarti meyakini bahwa Islam bukan sekadar agama ritual, yang hanya berbicara tentang ibadah mahdhah saja. Lebih dari itu, Islam juga mengatur segala macam aturan dalam setiap aspek kehidupan, dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Al-Qur'an tidak hanya berbicara tentang shalat, puasa atau haji saja. Tapi, Al-Qur'an juga memerintahkan untuk menjauhi riba, melarang zina, menjalankan qisas dan hukum-hukum lainnya. Mengenai ini dapat diyakini oleh seluruh umat Muslim, bahwa para ulama sudah pasti mengetahui ini.

Namun sayangnya, saat ini negara hidup dalam sistem demokrasi sekuler, atas nama demokrasi banyak syariat Islam yang berusaha dikebiri. Negara dan juga tatanan global menggaungkan moderasi beragama, ingin menjadikan Islam lebih moderat. Lebih sayangnya lagi melalui moderasi beragama, banyak ulama turut andil di dalamnya berusaha turut merekontekstualisasi ajaran Islam, sebagaimana yang baru-baru ini diserukan oleh Kementerian Agama dalam program AICIS. Belum lagi, negara tiada henti menyerukan radikalisasi dan terorisme yang selalu menyasar umat Islam. Kriminalisasi dan mensterisasi juga kerap dilakukan oleh institusi negara terhadap simbol-simbol dan ajaran Islam, jihad dan khilafah.

Bagaimana bisa nilai-nilai dalam Al-Qur'an dapat terterap sempurna dalam kehidupan nyata ketika pelaksanaannya hanya diambil sebagian dan sebagian yang lain ditinggal bahkan dianggap radikal. Terlebih melalui moderasi beragama, nilai-nilai Barat berhasil mewarnai bahkan melunturkan akidah umat Islam. Dr. Angel Rabasa, Analis Kebijakan Senior di RAND Corporation mengartikan moderat adalah orang yang mau menerima pluralisme, feminisme, kesetaraan gender, demokrasi, kemudian humanisme, dan lain sebagainya. Apalagi, seruan global moderasi beragama ini telah disambut nyata oleh penguasa kita, Presiden Jokowi telah mencanangkan tahun 2022 sebagai tahun moderasi.

Dalam kuliah online Uniol 4.0 Diponorogo yang dibawakan oleh Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum dan Analis Politik Media Puspita Satyawati, S.Sos. mengingatkan bahwa umat Islam seharusnya menyadari propaganda ini (moderasi beragama) agar tak terkecoh menerima bahkan ikut memperjuangkannya. Terlebih, ide ini berbahaya bagi kelangsungan hidup umat Islam. Bahaya tersebut adalah: 

Pertama, mengebiri Islam. Jalan tengah (moderat) merupakan gagasan yang mengabaikan ajaran Islam yang bersifat qath’iy, baik dari sisi redaksi (dalalah) maupun sumbernya (tsubut), seperti superioritas Islam atas agama dan ideologi lain (QS. Ali Imron: 85), kewajiban berhukum dengan hukum syara’ (QS. Al Maidah: 48), dst. Moderasi beragama yang mengambil sebagian ajaran Islam dan menolak sebagiannya, dapat mengantarkan umat kepada kekafiran.

Kedua, menimbulkan keraguan umat terhadap Islam. Pendukung moderasi Islam menyuarakan untuk meninjau ulang hukum-hukum qath’iy, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Agar didekonstruksi dan disesuaikan dengan pemikiran moderat. Hal ini menjadikan umat ragu akan ajaran agamanya sendiri. Terlebih yang mendakwahkan adalah tokoh dan panutan. Akibatnya, umat menjauh dari Islam, memusuhi ulama serta pendakwah yang hanif.

Ketiga, menyusupkan paham pluralisme yang memandang semua agama benar. Melalui gagasan ini pula, pluralisme agama yang menyatakan semua agama adalah sama dan benar ikut tersebar. Konsekuensinya, orang yang keluar dari Islam tidak dianggap tercela, pernikahan antaragama tak bisa disalahkan.

Keempat, memecah-belah Islam dan pemeluknya. Islam dan umat Islam dikotak-kotakkan dan dipertentangkan antara Islam moderat dengan Islam radikal, dst. Padahal Islam adalah satu, yaitu Islam yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW, kitab sucinya juga satu yakni Al-Qu’ran.

Kelima, meminggirkan dakwah penerapan syariat Islam. Karena mereka menolak formalisasi syariat dalam sebuah institusi negara, maka dakwah yang menyerukan penerapan syariat Islam dianggap ekstrem dan radikal. Selanjutnya, akan ditolak dan dimusuhi sehingga langkah melanjutkan kembali kehidupan Islam menjadi lebih berat. 

Melihat gencarnya program moderasi beragama yang digaungkan oleh negara dan tatanan global, berikut kriminalisasi, deradikalisasi, monsterisasi, dan terorisme yang terus disasarkan kepada umat Islam, ajaran Islam, dan simbol-simbol Islam. Ini semua menjadikan tipisnya harapan umat melalui Multaqa Ulama Al-Qur'an Nusantara dapat mewujudkan penerapan Al-Qur'an dalam kehidupan nyata.


Stategi Mewujudkan Penerapan Al-Qur'an dalam Kehidupan Nyata Secara Kaffah

Peran ulama dalam Multaqa ini akan dapat memberikan dampak yang positif ketika negara sejalan mewujudkan harapan umat dalam upaya menerapkan Al-Qur'an di tengah-tengah kehidupan nyata. Ulama akan dapat berperan membangun masyarakat yang makin bertakwa dan membawa rahmat bagi sesama. Namun kenyataannya, negara tak lebih menjadi tangan panjang kepentingan global, turut andil dalam mengebiri peran agama dalam kehidupan, terutama dalam mengatur tatanan bernegara.

Dikutip dari mediaumat.news (16/11/2020), Pengamat Sosial Politik Iwan Januar menilai semua kebijakan yang dijalankan pemerintahan di Indonesia justru tidak selaras dengan Al-Qur'an. Bahkan menurutnya, yang kita lihat justru sering muncul penentangan terhadap hukum-hukum yang dibawa Al-Qur'an. Seruan penerapan syariat Islam justru dipandang sebagai tindakan radikalisme. Ada proses deislamisasi terhadap ajaran Islam dengan muncul arus Islam Nusantara. Menurutnya, kebijakan di Indonesia sejak lama adalah sekularisme yakni memisahkan agama dari kehidupan. Ia menilai Islam dan kaum Muslim cuma sebagai komoditas politik dan ekonomi.

Kemustahilan menerapkan nilai-nilai Al-Qur'an dalam kehidupan nyata ketika hanya sebagian saja dan meninggalkan sebagian yang lain. Al-Qur'an tak mungkin terterap secara sempurna (kaffah). Sebagaimana tak mungkin kesempurnaan syariat Islam terterap dalam sebuah sistem buatan manusia, demokrasi sekuler yang kapitalistik. Membuat umat Islam tunduk pada aturan Allah ini menjadi sangat sulit dan susah. Karena sekali lagi, umat Islam tidak sedang hidup dalam habitatnya. Alhasil, kondisi sulit seperti ini, menjadikan umat Islam makin jauh dari ajarannya. Siapa yang teguh menggenggam bara api agamanya menjadi semakin terasing dalam kehidupan yang penuh dengan kerusakan yang sistemis ini.

Penerapan nilai-nilai Al-Qur'an dalam kehidupan nyata hanya dapat terterap sempurna dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah. Begitu juga peran ulama dapat terwujud sempurna dalam sistem Islam ini. Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, secara kaffah, semua sendi-sendi kehidupan akan terjaga. Berikut delapan kemaslahatan ketika syariah dan khilafah diterapkan secara kaffah:

Pertama. Terjaga agama (hifdh ad-diin). Negara akan menjamin hak beragama tiap rakyatnya dan khususnya menjaga keutuhan aqidah umat Islam dengan menerapkan hukuman yang tegas pada muslim yang murtad atau menistakan Islam.

Kedua. Terjaga Jiwa (hifdh an-nafs). Negara menjamin keamanan jiwa setiap warganya. Dan jika terjadi pelanggaran, hukumannya bisa berupa diyat (tebusan darah), qishash (dibunuh). Melindungi nyawa rakyat menjadi prioritas utama daripada melindungi stabilitas ekonomi, hilangnya nyawa seorang muslim lebih lebih besar perkaranya dari pada hilangnya dunia. Nabi SAW bersabda, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak” (HR Nasai & Turmudzi).

Ketiga. Terjaga akal [hifdh al-'aql). Negara menjaga akal setiap warganya dengan mengharamkan memproduksi, mengkonsumsi, mendistribusikan segala yang merusak akal manusia seperti khamer, narkoba dan sejenisnya. Negara harus punya kemampuan dan kendali terhadap arus informasi yang beredar di masyarakat, dengan melakukan “mobilisasi secara pemikiran dan maknawi” di tengah umat. Meningkatkan tsaqofah umat secara pemikiran dan kejiwaan dengan Islam, akidah, dan hukum-hukumnya, agar terwujud masyarakat Islam yang kokoh, mulia dan bersih karena ketakwaannya serta memiliki daya tahan terhadap setiap ujian hidup.

Keempat. Terjaga harta (hifdh al-maal). Negara menjaga harta setiap warga negara dan menghukum siapapun yang melanggar hak orang lain dengan hukum potong tangan atau takzir.

Kelima. Terjaga keturunan (hifdh an-nasl). Negara menjaga keturunan tiap warganya dengan mengharamkan zina, LGBT dan memerintahkan pernikahan. Jika dilanggar, maka sanksinya bisa dicambuk atau dibunuh.

Keenam. Terjaga kehormatan (hifdh al-karaamah). Negara menjaga kehormatan tiap warganya agar tidak sembarangan dalam menuduh seseorang berbuat kejahatan, kecuali dengan bukti. Jika dilanggar prinsip ini, maka sanksinya bisa berupa had atau takzir.

Ketujuh. Terjaga keamanan (hifdh al-amn). Negara menjamin keamanan individu, masyarakat dan negara dari segala bentuk teror, intimidaai dan begal. Dan pelakunya akan dikenai sanksi yang keras.

Kedelapan. Terjaga negara (hifdh ad-daulah). Negara menjaga kedaulatan dan stabilitas keamanan dalam negeri dengan mengharamkan pemberontakan dan memisahkan upaya untuk memisahkan diri dari wilayah. Pelakunya pun akan dikenai sanksi yang keras.

Inilah strategi jitu Islam dalam menjaga Al-Qur'an terterap dalam seluruh kehidupan secara nyata. Negara kembali kepada aturan Allah SWT, menjadikan kebijakan-kebijakan mereka sesuai dengan syariat Islam. Meninggalkan konsep bernegara buatan manusia yang rusak, yang tidak akan menghantarkan apa pun kecuali kezaliman dan kerusakan. Termasuk ulama dapat berperan maksimal menjadi pengontrol kebijakan negara, mewujudkan harapan umat dalam menerapkan Al-Qur'an dalam kehidupan nyata. []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo 

Posting Komentar

0 Komentar