Melafalkan Pancasila dan Lagu Nasional usai Akad Nikah: Desakralisasi Syariat Islam


TintaSiyasi.com -- Nyeleneh. Kantor Urusan Agama (KUA) Kapanewon Panjatan, Kabupaten Kulonprogo, mewajibkan pengantin melafalkan Pancasila dan lagu nasional sesaat setelah akad nikah. Tujuannya untuk memupuk rasa nasionalisme dan cinta tanah air. Hal ini bagian dari program Pengantin Pancasila Peduli Lindungi (P3L) untuk melaksanakan program lima budaya kerja Kementerian Agama, sebagai implementasi Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 34/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan (krjogja.com, 10/11/2022).

Pro kontra jelas ada. Dalam cuitannya, tokoh Nahdlatul Ulama, Umar Hasibuan berkomentar lebay, karena orang mau nikah bukan upacara. Sementara Sosiolog UGM, AB Widyanta, mengkritik kebijakan tersebut sebagai bentuk banalitas, dangkal, tak sesuai realitas bahwa banyak hal yang kontradiksi dengan nilai-nilai Pancasila. Dan ketika nanti berulang terjadi akan melahirkan resistensi dari masyarakat (era.id, 14/11/2022).

Bila pelafalan teks Pancasila dan lagu nasional ini diwajibkan atau bahkan sebagai pemaksaan syarat tertentu untuk mendapatkan akte nikah, maka hal ini sebagai  penyimpangan yang cenderung mendesakralisasi prosesi pernikahan umat Islam yang telah ditentukan syarat dan rukunnya. Pun terkesan tanpa pelafalan tersebut prosesi nikah tidak sah dan oleh karenanya pasangan menikah akan dipersulit mendapatkan akte nikah. Hal ini juga merupakan upaya mempermainkan syariat Islam. Selain itu, aroma program antiradikalisme pun menguar di balik kebijakan ini. 


Relasi antara Agama dan Negara

Relasi antara negara dan agama di negara hukum transendental sesuai amanat Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945 yaitu: 

Pertama, terkait relasi negara dan agama dalam pembentukan hukum di Indonesia. 

Mengacu pendapat Thomas Aquinas, Indonesia sebagai negara hukum transendental semestinya menjiwai pembuatan hukum dengan nilai ketuhanan. Baik nilai hukum ketuhanan yang tertulis di kitab suci, maupun yang melekat pada alam. Sehingga, posisi kitab suci itu berada di atas konstitusi, yaitu menjadi sumber rujukan penyusunan konstitusi. 

Dengan kata lain, konstitusi tidak boleh bertentangan dengan kitab suci. Pun, mengkaji, memahami, menjalankan dan mendakwahkan perintah Tuhan dalam kitab suci adalah kebolehan, bahkan kewajiban bagi pemeluknya. 

Inilah titik krusial terkait relasi antara negara dan agama, khususnya terkait ajaran agama tertentu. Seperti keyakinan Islam  terhadap sistem pemerintahan yang dinilai sesuai sunnah Rasulullah (khilafah Islamiyah). Seharusnya kaum intelektual mau membuka pikiran dalam memahami fakta sistem pemerintahan ini dan tidak mengedepankan sentimen/intimidasi. 

Di sisi lain, konstitusi bukanlah harga mati. Perubahan internal dan eksternal bangsa memungkinkan terjadinya perubahan konstitusi. Wacana mengubahnya pun tidak terlarang. Ini adalah hak rakyat/kelompok rakyat untuk melakukan kritik membangun. Bukankah Indonesia tergolong the open society

Kedua, relasi negara dan agama dalam proses penegakan hukum dan HAM di Indonesia. 

Hal ini dapat diketahui dari UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 Ayat 1 bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Ditambah aspek transendental dalam irah-irahan putusan hakim yang berbunyi: Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini bermakna, hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya berdasarkan bunyi pasal UU, melainkan diberikan hak berinovasi dalam menyelesaikan perkara. 

Sehingga hukum tidak boleh dipakai sebagai tameng kekuasaan atau alat legitimasi kekuasaan, oleh Brian Z. Tamanaha disebut sebagai The Thinnest Rule of Law (ROL). Mantra ROL ini akan menikam jantung misi negara hukum itu sendiri. Sementara misi negara hukum kita bukan sebatas mengagungkan tameng kekuasaan bernama Black Letter Law, namun lebih pada penghormatan (to respect), pemenuhan (fulfill) dan perlindungan (protect) yang dirangkum dalam Human Right Dignity.

Ketiga, relasi negara dan agama dalam penerapan hukum agama di Indonesia. 

Hal ini bisa kita saksikan bahwa Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, namun tidak menggunakan hukum Islam sebagai landasan penyelenggaraan negara. Meski demikian, negara tetap memberikan ruang diterapkannya hukum Islam pada tataran tertentu, khususnya hukum keluarga. Hukum perkawinan, waris, wakaf dan penyelenggaraan haji mendapat tempat khusus dalam penyelenggaraan negara hingga dibentuk peradilan khusus yaitu Pengadilan Agama. 

Semoga bangsa Indonesia tidak fobia terdapat syariat Islam yang mulia. Kita seharusnya open mind bahwa syariat Islam bukan binatang buas yang mesti diburu dan dihancurkan. Melainkan ajaran yang menuntun ke arah kemaslahatan umat. 

Yang terpenting, penyampaiannya tidak ada pemaksaan, penggunaan kekerasan, makar. Terlebih negeri ini telah menahbiskan diri sebagai negara ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dalam konsep Indonesia Negara Hukum Transendental. 

Menyikapi dilema pilihan antara Pancasila dan Al-Qur'an, jika membaca tiga bentuk relasi antara negara dan agama di atas, maka mustahil  mempertentangkan atau menghadap-hadapkan antara agama dan negara. 

Ketika ditanyakan sebuah pilihan: pilih Pancasila atau Al-Qur'an, hal ini tidak perlu dijawab. Karena pertanyaan itu cacat secara logika dan dipenuhi intrik politik berbalut kesesatan berpikir. Namun, jika dipaksa memilih, maka sebagai Muslim taat harus pilih Al-Qur'an. 

Ketika kita pilih Al-Qur'an dan mengamalkannya, maka dengan sendirinya nilai-nilai Pancasila telah terlaksana, mulai dari sila pertama hingga sila kelima. Jika sebaliknya, kita pilih Pancasila, maka tidak ada jaminan dapat menjalankan dan menaati aturan Allah dalam Al Qur'an, bahkan sebaliknya kita bisa tersesat karena lebih mementingkan kemaslahatan umum dibandingkan syariat Allah dan Rasul-Nya. Padahal kitab suci itu di atas konstitusi, termasuk Pancasila.

Tak Ada Jaminan Pelafalan Pancasila Mampu Membentuk Nasionalisme Rakyat

Tujuan dari program Pengantin Pancasila Peduli Lindungi (P3L) yaitu melafalkan teks Pancasila dan lagu nasional untuk memupuk nasionalisme, sepertinya tak ada jaminan. Mengapa? Karena aktivitas ini tak lebih sebagai retorika tanpa fakta. 

Sebagai bentuk edukasi publik, masyarakat membutuhkan edukasi dengan wujud pengalaman nyata di sekitar mereka. Sayangnya, secara realitas, yang nampak justru hal-hal berbeda dari nilai-nilai Pancasila.

Misalnya untuk sila pertama ketuhanan Yang Maha Esa. Realitasnya, penodaan agama sering terjadi, simbol-simbol agama Islam dilecehkan. Ajaran Islam seperti khilafah dimonsterisasi. Namun pelakunya seolah menjadi untouchable man, nyaris tidak tersentuh hukum. Di sisi lain, ulama kritis yang bersebelahan kepentingan dengan penguasa berpeluang untuk ditangkap hingga dijebloskan dalam penjara. 

Adapun sila ketiga persatuan Indonesia. Faktanya, ancaman polarisasi masyarakat hampir terjadi tiap hari akibat masifnya narasi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme hadir di ruang publik. Setelahnya, terjadi  radikalisme versus moderat. Tercium aroma politik pecah-belah. Bahkan penguasa ikut andil di dalam proses ini. 

Sementara sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kenyataannya, penegakan hukum berkeadilan adalah PR besar bagi aparat penegak hukum di negeri ini. Sekaligus barang mewah bagi kebanyakan jelata. Hukum hanya milik kalangan berpunya dan berkuasa, atau yang berada di lingkaran istana. Bahkan seringkali hukum dieksploitasi demi kekuasaan. 

Demikian pula dengan sila kedua dan keempat. Terjadi kesenjangan antara nilai teks dengan pengamalannya. Dengan kata lain, Pancasila 404: Not Found! Dan justru penguasalah yang banyak berkontribusi dalam mewujudkan kesenjangan ini. 

Ini paradoks. Realitasnya seperti itu, tapi praktiknya disuruh menghafal, jadi tidak berkorelasi. Publik akan kritis melihat realitasnya ketimbang sekadar mengucapkan. 

Berdasarkan hal tersebut, sangat memungkinkan ketika aktivitas pelafalan teks Pancasila dan lagu nasional diulang-ulang, justru masyarakat resisten (menolak). Kebijakan ini akan menegasikan harapan pemerintah (warga mau mengamalkan nilai Pancasila). Pun hanya menghasilkan bebek-bebek penghafal yang kosong makna. Lantas, bagaimana mungkin kebijakan menghafal teks Pancasila akan menjamin pembentukan nasionalisme rakyat?

Idealitas Sikap Pemerintah Terkait Upaya Penguatan Nasionalisme dalam Pelafalan Pancasila

Merespons gagasan nasionalisme, umat Islam seolah terbagi dalam dua kutub. Kutub pertama, pro nasionalisme dan melestarikannya. Kutub kedua, kontra nasionalisme dan ingin menghapus sekat imajiner ini. 

Pihak pertama beralasan nasionalisme telah mendarah daging dalam diri umat Islam Indonesia. Pun meyakini cinta tanah air itu penting dan menjadi bagian dari iman. 

Pihak kedua, memahami hadis hubbul wathan minal iman itu maudhu' alias palsu. Dan menyatakan nasionalisme sebagai bagian dari strategi pecah-belah kesatuan umat Islam hingga meruntuhkan institusi pemersatu umat yaitu Khilafah Ustmaniyah pada tahun 1924.

Dalam buku Akar Nasionalisme di Dunia Islam, Shabir Ahmed dan Abid Karim mengungkapkan bahway nasionalisme muncul di negeri-negeri Islam ketika negara-negara Eropa mulai merencanakan untuk meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah dan menghancurkannya. Mereka mengobarkan nasionalisme Turki, mengganti bahasa Arab dengan bahasa Turki. Muncul nasionalisme Arab sebagai antitesisnya. Hingga setelah revolusi Arab, Khilafah Utsmaniyah hancur. Lalu dibelah menjadi wilayah-wilayah kecil agar mudah dikuasai. 

Selain itu, nasionalisme merupakan konsep yang sangat berbeda dengan Islam. Sebab ia menyeru kepada kesatuan berdasarkan ikatan kekeluargaan dan kesukuan, sementara Islam menyatukan manusia berdasarkan akidah yaitu keimanan pada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Maka terkait upaya menguatkan nasionalisme dalam pelafalan Pancasila dan lagu nasional usai akad nikah, pihak pemerintah (KUA) semestinya: 

1. Memahami bahwa kebijakan pelafalan teks Pancasila tidak menjamin pada penguatan nasionalisme.  Justru ini merupakan langkah kontraproduktif terhadap syariat Islam. Jangan sampai terkesan mengarah pada pemberhalaan Pancasila hingga desakralisasi syariat, khususnya  pernikahan. 

2. Negara harus menjamin semua warga negara untuk menganut dan menjalankan ajaran agama yang dianut tanpa  mengurangi atau menambahinya demi suatu kepentingan dari negara. Kebijakan pelafalan Pancasila demi nasionalisme ini merupakan bentuk pemaksaan yang cenderung melanggar hak warga dengan pemaksaan untuk berbuat sesuatu.

3. Membuat program kebijakan tidak berdasarkan tendensi tertentu atau hendak membidik suatu kalangan. Tak dipungkiri, dengan melihat jejak kebijakan selama ini, aktivitas pelafalan Pancasila ini beraroma  antiradikalisme, sebuah program yang lazim ditujukan pada kalangan umat Islam yang seringkali distempeli radikal.

4. Pihak KUA lebih utama mengganti kebijakan pelafalan Pancasila ini dengan aktivitas lain. Misalnya memberikan bekal membina rumah tangga saat khutbah nikah, dan aktivitas lain yang bernilai edukasi dan tidak nyeleneh. 

Demikian beberapa hal yang semestinya dilakukan oleh pemerintah. Di tengah pengakuan sebagai negara religius, hendaknya penguasa mampu bersikap bijak dan adil terhadap pelaksanaan aktivitas umat beragama, dalam hal ini umat Islam yang telah jelas memiliki tuntunan dari Allah SWT dan Rasul-Nya.



Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar