Kebaya Merah yang Bikin Gerah: Pornografi bak Fenomena Gunung Es di Negeri Relegius

TintaSiyasi.com -- Pemeran video syur "Kebaya Merah" yang bikin gerah, akhirnya tertangkap. Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Timur, Kombes Farman mengungkapkan, dua pemeran video itu telah membuat 92 video porno dan seratus foto telanjang aneka tema. Video diduga dipasarkan untuk lokal dan luar negeri (antaranews.com, 8/11/2022). 

"Kebaya Merah" kami kira hanyalah fenomena gunung es atas keberadaan video dan konten asusila lainnya yang bertebaran di ruang digital. Meski sejumlah regulasi diberlakukan, nyatanya belum mampu menghentikan laju penyebaran tindak amoral ini. 
  
Terlebih sejak pandemi Covid-19 ada peningkatan lalu lintas orang hidup di ruang digital. Salah satunya mencari hiburan bersifat pribadi, khususnya tayangan pornografi. Pun didukung dengan kehadiran platform (aplikasi) yang menawarkan inovasi dan kemudahan dalam mencari keuntungan, serta dinilai lebih aman dibandingkan cara konvensional. 

Maraknya konten pornografi pun tak lepas dari hasrat menjadi crazy rich. Mereka silau terhadap kaum glowing yang selalu mendemonstrasikan kemewahan. Akibatnya, tak sedikit manusia yang terobsesi menjadi kaya. Bagi yang tak mampu menggunakan jalan halal, akhirnya terjerumus ke dunia pornografi dan kebejatan lainnya.

Harta, tahta, wanita. Sepertinya akan selalu menggoda bagi insan yang lalai akan tujuan dan tugas hidupnya. Apalagi di tengah rengkuhan sistem sekularisme kapitalistik liberalistik yang memfasilitasi agar hidup jauh dari agama, serba bebas, dan hanya mencari kesenangan materi ala duniawi. Personal freedom menjadi hal yang dielu-elukan berdalih bagian dari hak asasi manusia. 

Pornografi Marak dalam Tinjauan Hukum, Moral, dan Agama

"Kebaya Merah" bukanlah video asusila pertama yang menggegerkan. Sebelumnya, terungkap kasus kreator konten pornografi bernama Gusti Ayu Dewanti atau lebih dikenal dengan Dea OnlyFans. Diduga dari konten pornografinya, ia memperoleh puluhan juta rupiah perbulannya. Lalu bagaimana dengan konten amoral lain di ruang digital yang belum terungkap aparat? Bisa jadi jumlahnya lebih banyak lagi. 

Maraknya konten pornografi di dunia maya karena beberapa hal, antara lain: 

1. Penikmat konten pornografi disinyalir selalu ada. Secara fitrah, manusia memiliki naluri seksual. Agar tidak menimbulkan kegelisahan, manusia berupaya memenuhinya. Di tengah keberlangsungan sistem buruk hari ini, manusia berkualitas buruk pun banyak jumlahnya. Inilah "pangsa pasar" distribusi konten pornografi. 

2. Ingin mendulang keuntungan material secara mudah. Gaya hidup mewah nan hedonis yang banyak tersaji khususnya dari kalangan selebrita, mendorong banyak orang untuk meraihnya. Di sisi lain, mereka enggan bersusah-payah. Memproduksi konten pornografi menjadi pilihan.  

3. Dukungan berbagai aplikasi yang menawarkan inovasi dan kemudahan, serta dianggap lebih aman ketimbang cara konvensional. Dari peluang untuk menyamarkan diri hingga lebih mudah menghindari  gerakan aparat.      

Bila ditelisik, berbagai faktor penyebab di atas bermuara dari penerapan sistem sekularisme yang berkelindan dengan liberalisme dan kapitalisme. Mengajarkan abai terhadap aturan Tuhan (Allah SWT), jadilah hidup dengan aturan manusia sendiri, dan kebahagiaan berporos pada kepemilikan sarana duniawi.  

Terkaitnya, pemerintah bukan berarti diam sama sekali. Berbagai regulasi ditelurkan. Indonesia telah memiliki piranti undang-undang (UU) dan kelembagaannya utk mengantisipasi pornografi. Ada KUHP Tindak Pidana Kesusilaan, UU Perfilman, Pers, Perlindungan Anak, Penyiaran, PP Lembaga Sensor Film, UU Larangan Pornografi, dan UU ITE. 

Selain fungsi pencegahan, UU di atas juga berfungsi kuratif, represif, menindak pelaku pornografi dengan penjara dan atau denda. Namun mengapa konten pornografi masih marak hingga kini? Ini berarti masyarakat tidak takut, jera, dan tidak sadar bahaya pornografi atau yang melatarbelakanginya, soal perzinaan. Dan terlihat tidak ada tindakan tegas pemerintah. Bahkan terkesan abu-abu. 

Padahal ditinjau dari sisi hukum, sebagaimana kasus kedua pemeran video Kebaya Merah, itu dapat dijerat dengan pasal berlapis dari UU Pornografi dan UU ITE. Mereka yang berhubungan intim, bisa dipidana karena memang memproduksi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1), dan dengan sengaja menjadi objek/model yang mengandung unsur pornografi sebagaimana diatur Pasal 8 UU Pornografi. 

Ancaman pidana minimal 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan atau pidana denda paling sedikit 250 juta dan paling banyak 6 milyar rupiah. Pasal 6 bahkan melarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi dengan ancaman paling lama 4 tahun penjara, denda 2 milyar rupiah. 

Sementara kedua pemeran video porno tersebut dapat dijerat UU ITE nomor 19 Tahun 2016 Pasal 27 ayat 1, yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan." Berdasarkan UU ITE Pasal 45, wanita berkebaya merah terancam hukuman 6 tahun penjara atau denda sebesar Rp1 miliar. 

Memang UU membatasi soal pornografi untuk privasi (kepentingan sendiri). Jika untuk privasi dan tidak berkehendak menyebarkannya maka tidak melanggar hukum. 

Cara-cara pembuatan, penyimpanan, dan peredarannya yang bersifat privasi (tertutup) tentu dipakai sebagai dalih demi menyiasati peraturan hukum positif. Namun, di sisi lain, upaya siasat itu tidak serta-merta menggugurkan kesalahan dalam perspektif moral dan agama. Maka pendekatannya tidak hanya dengan norma hukum, juga harus dengan norma moral dan agama.

Realitasnya, pornografi dapat menyebabkan dekadensi moral yang mengakibatkan menipisnya kesusilaan dan norma-norma di masyarakat serta meningkatkan tindak kriminal. Pornografi juga bisa mendorong seseorang melakukan perilaku seksual menyimpang.

Adapun dalam tinjauan agama Islam, istilah pornografi itu sendiri tidak dikenal dalam fikih Islam. Fikih hanya memuat larangan bagi Muslim dan Muslimah untuk membuka auratnya di hadapan orang yang bukan mahramnya. Dalam pandangan fikih, tidak selayaknya bagi seseorang untuk mempertontonkan auratnya di depan publik. Tindakan inilah yang bisa dipandang sebagai pornografi atau pornoaksi. 

Allah SWT berfirman dalam QS. An Nuur: 31, bahwa perempuan dilarang untuk menampakkan auratnya kecuali sesuatu yang biasa nampak darinya (wala yubdina zinatahunna illa ma dhahara minha). 

Jadi secara subtansial, Islam melarang pornografi. Tujuan pokok pelarangannya adalah hifdz al-nasl, tepatnya menjaga diri dari perbuatan zina. Zina adalah sesuatu yang mutlak dilarang oleh Islam. Untuk mencegahnya, Islam melarang segala sarana yang berpeluang bagi timbul dan merajalelanya  zina. Meminjam terminologi ushul fikih, pelarangan terhadap pornografi ini sesungguhnya merupakan sadd al-dzari’ah (penutupan pintu) bagi terjadinya perzinaan.

Dengan demikian, ditinjau dari aspek hukum, moral, dan agama, pornografi adalah bentuk kemaksiatan. Selama sistem hidup belum bergeser dari sekularisme, nampaknya pornografi akan tetap ada bahkan merajalela.

Dampak Penyebaran Pornografi bagi Masyarakat

Penyebaran konten pornografi tentu berbahaya, baik bagi pelaku, pengakses, dan masyarakat pada umumnya. Terlebih yang mengakses adalah kalangan anak dan remaja. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengungkapkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) KPPPA, bahwa 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan di Indonesia menyaksikan kegiatan seksual (pornografi) melalui media daring (suarasurabaya.net, 30/11/2021).

Berikut ini dampak dari maraknya pornografi yaitu: 

1. Menjauhkan dari aktivitas ibadah dan penunaian kewajiban lain. Kecanduan video porno membuat seseorang  menghabiskan waktu berjam-jam untuk menontonnya. Akibatnya,  mempengaruhi produktivitasnya dalam beribadah, bekerja, dan aktivitas lainnya hingga  
terbengkalai.

2. Bagi pasangan suami istri, bisa menurunkan kepuasan seksual dan merusak keintiman hubungan. Suatu riset menunjukkan bahwa pecandu video porno memerlukan stimulasi  lebih besar untuk mencapai kepuasan seksual. Pun memunculkan ekspektasi tinggi dan tidak realistis ketika berhubungan seksual dengan pasangan. Pada akhirnya dapat menurunkan keharmonisan.

3. Mendorong PMO. PMO merupakan singkatan dari: porn, mastrubate, dan orgasm. Yaitu kegiatan memuaskan diri sendiri (self service) yang dipengaruhi oleh konten dewasa sehingga menimbulkan orgasme atau mencapai klimaks gairah seksual. PMO bisa memicu kecanduan, mengakibatkan kerusakan otak dan cenderung berperilaku impulsif dan kompulsif, emosi tak stabil, serta tidak bisa membuat keputusan bijak.    
4. Mengganggu kehidupan sosial.
Hubungan sosial menjadi tidak sehat karena berkurangnya interaksi nyata dengan orang lain.

5. Mendorong pergaulan bebas bahkan perzinaan. 
Kebiasaan menonton video porno mungkin dapat membuat seseorang kurang menghargai hubungan monogami. Hal ini membuat sulit berkomitmen dan kerap melakukan hubungan seksual di luar nikah.

6. Meningkatkan risiko terkena penyakit menular seksual. Akibat dari gaul bebas adalah risiko terkena penyakit menular seksual seperti HIV, hepatitis B, gonore, dan sipilis.

7. Mengganggu kesehatan mental. Beberapa riset menyebut kecanduan video porno bisa berisiko mengalami gangguan mental seperti depresi. Selain itu, tayangan yang tidak realistis misalnya yang berbau fetisisme atau sadomasoksime, memicu seseorang untuk mencobanya. Hal ini berisiko pada perilaku seks menyimpang.

8. Memicu munculnya bisnis esek-esek (film, hotel, majalah, siaran televisi, dan seterusnya). Maraknya pornografi diiringi dengan pembuatan media atau sarana yang mengambil keuntungan dari bisnis bejat ini. 

Demikian beberapa dampak negatif penyebaran konten pornografi bagi kehidupan masyarakat. Melihat bahayanya yang sungguh nyata, pornografi harus dibasmi.

Strategi Memerangi Pornografi agar Terwujud Masyarakat Mulia

Kerusakan akibat pornografi semestinya membuat masyarakat menyadari dan tergerak untuk memerangi. Pun menjadikannya sebagai common enemy. Dengan demikian, butuh sinergi beberapa pihak seperti orang tua, tokoh agama, guru, masyarakat, dan pemerintah, untuk mencegah dan menanggulangi pornografi agar cita-cita mewujudkan masyarakat mulia tak lagi di angan.

Berikut ini strategi memerangi maraknya konten pornografi: 

1. Mengokohkan fungsi keluarga sebagai sekolah pertama dan orang tua sebagai guru utama bagi ananda. Orang tua bertugas meletakkan pondasi kepribadian anak. Bekal terbaik untuk anak ialah iman dan takwa kepada Allah SWT. Selain itu, penanaman pemahaman tentang syariat Allah SWT dan kewajiban menaatinya. Anak yang telah terjiwai iman akan terjaga dari perbuatan maksiat termasuk pornografi. 

Selain itu, orang tua berfungsi mengontrol aktivitas anak dan siapa saja teman bergaulnya. Jika diketahui anaknya menyimpang, orang tua segera melakukan tindakan untuk meluruskannya kembali. 

2. Mengoptimalkan peran tokoh agama sebagai pengendali moral. Sebagai publik figur dan orang yang memahami ajaran agama, tokoh agama wajib menyampaikan pesan-pesan agama kepada masyarakat. Sehingga mendorong mereka merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai benteng penjaga.  

3. Menguatkan peran masyarakat sebagai kontrol sosial. Masyarakat berperan sebagai kontrol sosial bila terjadi pelanggaran di masyarakat, misalnya seseorang yang melanggar norma kesusilaan akan dinasihati, bahkan dikucilkan dan dijauhi sebagai sanksi atas perbuatannya. 

4. Lembaga pendidikan (sekolah dan universitas) memberikan edukasi pada anak didik tentang  maraknya pornografi. Agar mereka memahami  bahayanya, mewaspadai, serta terdorong untuk tidak mengakses, turut memproduksi, dan menyebarkannya.

5. Media memberikan pencerahan pada masyarakat melalui pemberian informasi terkait maraknya pornografi dan bahayanya. Selain itu, diharapkan mampu memfilter konten-konten amoral agar tidak lolos tayang dalam medianya.

6. Meningkatkan peran pemerintah (aparat penegak hukum). Sebagai pelindung dan pengatur kepentingan rakyat, pemerintah wajib tmelindungi moral anak bangsa dari konten-konten merusak.   

Terkait masalah ini, tugas pemerintah yaitu: 
a. Memberikan edukasi tentang bahaya pornografi melalui lembaga pemerintah terkait.   
b. Mengontrol media dan memblokirnya bila terbukti menayangkan konten pornografi.
c. Memberi sanksi tegas terhadap pelaku, pembuat, dan penyebar pornografi tanpa pandang bulu. Sehingga hukum bisa ditegakkan dan ketertiban masyarakat tercipta.

Demikian strategi sinergis untuk mencegah dan menanggulangi maraknya konten pornografi di negeri ini. Mampukah sistem hidup hari ini mewujudkan idealitas fungsi masing-masing elemen di atas?

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar