Inilah Latar Belakang 10 November Diperingati sebagai Hari Pahlawan

TintaSiyasi.com -- Terkait penetapan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan, Filolog dan Sejarawan Salman Iskandar mengungkap alasan-alasan yang melatarbelakangi. 

“Berkenaan dengan penetapan tanggal 10 November sebagai hari pahlawan tentu ada alasan-alasan yang melatarbelakanginya. Maka jika kita berkaca kepada fakta sejarah ini menunjukkan bahwa bangsa Muslim terbesar di dunia ini yakni Indonesia tidak ridha atau tidak mau bangsa ini yang sudah keluar dari penjajahan dengan adanya momen Proklamasi 17 Agustus itu jatuh kembali ke tangan kolonialis dan imperalis. Dalam hal ini adalah Belanda yang sekian ratus tahun menduduki dan menjajah negeri ini," ungkapnya di Youtube Khilafah News, dalam acara yang bertajuk Hari Pahlawan: Peran Umat Islam Dibalik Perlawanan Rakyat Surabaya, Sabtu (5/11/2022).

Apalagi katanya, setelah beberapa saat proklamasi dikumandangkan sudah tersiar kabar bahwasanya para pemenang perang dunia yakni pihak sekutu, akan masuk ke negeri Indonesia.

"Kita ketahui bahwa para pemenang perang adalah pihak sekutu. Pihak sekutu baik Inggris, Perancis juga Amerika, yang telah memukul habis musuh-musuhnya di perang Eropa dan perang Pasifik, juga ternyata diboncengi oleh pihak Belanda. karena sejak abad ke-16-an, Belanda sudah diposisikan sebagai sekutu oleh Inggris," tuturnya.

"Sedangkan yang menang perang di wilayah Asia Selatan, juga ditugaskan oleh para pemenang perang yakni Inggris untuk mengurusi atau diberikan mandat berkenaan dengan status quo wilayah-wilayah pendudukan bala tentara Nippon. Nah mungkin pertanyaannya bagi kita adalah kenapa bukan Amerika yang memukul dalam Perang Pasifik dan perang Asia Timur Raya? Ternyata itu kongkalikong antar pihak sekutu," ungkapnya.

Kembali ia mengungkapkan, kalau membaca peta politik global saat itu pihak sekutu sudah membagi-bagi kue kekuasaan. Amerika ditugaskan oleh pihak sekutu untuk mengamankan teritorial sekutu yang kemudian mereka dapatkan dari hasil Perang Dunia ke-2 di Eropa. Sedangkan di Eropa dari arah Timur masuk beruang merah Rusia yang membawa misi komunisme. Dan di antara negara-negara sekutu yang paling kuat untuk menghadang laju komunisme adalah Amerika dengan liberalisme kapitalismenya. "Makanya kemudian mereka berebut kekuasaan yang ada di Berlin Barat dan Berlin Timur," tambahnya.

Sedangkan wilayah yang ada di Asia Timur, ia katakan negara sekutu yang paling kuat di wilayah itu adalah Inggris. Semenjak abad ke-19 Inggris sudah menguasai anak benua Hindia, yakni di wilayah India, Pakistan, Bangladesh, Nepal, dan sekelilingnya, termasuk Maladewa dan Sri Lanka. Kemudian juga di wilayah Semenanjung Pamalayu, Saba, serawak, Inggris sudah bercokol semenjak abad ke-19. Oleh karenanya sekutu gampang begitu saja masuk ke negeri Indonesia.

Inggris sudah lazim diketahui juga bersekutu dengan Belanda dan diberitakanlah kepada para pimpinan Republik ini pada waktu itu, Inggris akan masuk ke negeri kita dan dibonceng oleh pasukan NICA (civil administration atau administrasi sipil Hindia Belanda). Pasukan NICA sendiri adalah orang-orang Belanda yang notabenenya bukanlah orang-orang sipil tapi pasukan yang ikut serta pasukan BIA (British Indian Army), pasukan sekutu dari Inggris.

"Tidak sampai satu bulan setelah proklamasi dikumandangkan di Jakarta, sekira tanggal 15 September pasukan BIA (British Indian Army) sudah masuk ke teluk Jakarta dan juga kota-kota pelabuhan yang ada di pulau Jawa. Di situ ternyata mereka membonceng pasukan NICA. Nah ini kan bermasalah ada something di situ, ada keperluan apa sekutu masuk, tiba-tiba Belanda ikut membonceng," herannya.

Ia katakan, dua hari setelah mendaratnya pasukan sekutu, di Jakarta terjadi kegelisahan khususnya pada Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung syahrir, yang mendapatkan amanah untuk memimpin bangsa ini, kemudian berkonsultasi dengan Panglima Besar Sudirman terkait apa yang harus mereka lakukan dalam melawan sekutu. 

"Masa iya melawan Inggris pemenang perang melawan Amerika. Kalau melawan Belanda is okay bisa jadi berani. Tapi menghadapi pasukan pemenang perang pasukan yang berhasil mengalahkan Nippon, Nazi dan juga Italia dalam perang dunia ke-2 rasanya kok mustahil bangsa ini yang dikatakan senjatanya bilah bambu, parang atau segala macam untuk menghadapi pasukan yang membawa bom atom, secara kalkulasi logika matematika enggak mungkin," pikirnya.

Lanjut sejarawan ini menceritakan, akhirnya Bung Karno kemudian disarankan oleh Panglima Sudirman agar bertanya kepada pimpinan agama yang ada di kota Surabaya yakni Kyai Haji hadratul Syech Hasyim Asy'ari.

"Kemudian dikirimlah utusan ke kota Surabaya untuk bertanya bagaimana penyikapan yang harus dilakukan oleh bangsa ini menghadapi pasukan pendatang para pemenang perang," ujarnya.

"Pada tanggal 17 September dua hari setelah mendaratnya pasukan sekutu yang masuk ke kota-kota pelabuhan di pulau Jawa, dapatlah jawaban dari Kyai Haji Hasyim Asy'ari bahwasanya jihad itu adalah perkara yang menjadi kewajiban bagi kaum Muslim yang memiliki kemampuan untuk berangkat berperang. Pada tanggal itu, ulama Islam telah memberikan jawaban terkait wajibnya kaum Muslim mempertahankan negeri dan kemungkinan pendudukan orang-orang asing bahkan orang-orang kafir imperalis," terangnya.

Ia menyatakan, konflik pertama, eskalasi ketegangan pertama, dan baku tembak pertama terjadi pada tanggal 15 hingga 19 Oktober di kota Semarang, selama lima hari lima malam. Dan Semarang sudah mulai dekat dengan area Jawa Timur, maka di Teluk Ampel Denta Surabaya, eskalase juga mulai mengemuka. Karena Surabaya juga telah mendapatkan informasi bahwa teluk ataupun kota pelabuhannya juga akan dimasuki oleh pasukan Inggris dan pasukan pemenang Perang sekutu yang dibonceng NICA.


Resolusi Jihad

"Ketika eskalasi sudah muncul, ketegangan baku tembak sudah mengemuka. Maka berikutnya kalau diperhatikan lebih lanjut mintalah fatwa berkenaan dengan apakah jihad sudah bisa ditegakkan ataukah tidak. Kemudian dijawab oleh Kyai Haji Hasyim Asy'ari dengan resolusi jihad. Karena para pimpinan Republik yang ada di Jakarta gamang menentukan sikap mau perang atau tidak. Karena memang lawan yang harus dihadapinya adalah pasukan pemenang perang yang punya bom atom," paparnya. 

Sejarawan ini kemudian menyatakan, umat Islam bersikap harus perang, karena kenyataannya perang lima hari lima malam, pada tanggal 15 hingga tanggal 19 Oktober sudah terjadi. Oleh itu direspon dengan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober.

"Resolusi jihad kemudian disampaikan yakni satu di antara klausul dari jihad besar waktu itu menyatakan bahwa radius 94 km dari pusat kota Surabaya fardhu ain hukumnya bagi Mukmin untuk jihad fisabilillah,  untuk mempertahankan kota jangan sampai kota jatuh ke tangan sekutu. Jangan sampai jatuh ke tangan Belanda. Ketika resolusi jihad disampaikan, semenjak itu pula arek-arek Suroboyo bersiaga untuk mempertahankan kota, siap bertarung dengan jiwa raga," tuturnya.

Ia katakan, tidak hanya meliputi masyarakat kota Surabaya, di luar radius 94 km dari pusat kota Surabaya mereka mendapatkan kehormatan, kemuliaan dan kewajiban untuk ikut support. Upaya untuk melecut semangat masyarakat Surabaya itu melalui radio-radio resmi dan radio-radio gelap. Satu di antaranya kemudian yang dikumandangkan oleh Bung Tomo. 

"Bung Tomo menyuarakan untuk mempertahankan kota bahkan selalu diawali dengan takbir dan diakhiri dengan takdir pula untuk menyemangati semangat juang. Karena resolusi jihad itu sudah diterbitkan dan dirilis juga sudah disebarluaskan. Makanya kegentingan memaksa penduduk kota untuk bersiaga mempertahankan kota sedemikian rupa. Selama perang berlangsung, pasukan sekutu tidak bisa memasuki Kota Surabaya dengan leluasa karena laskar-laskar ataupun arek-arek Suroboyo sedemikian gigih mempertahankan kota sekalipun nyawa, jiwa menjadi taruhannya," jelasnya.

Menurutnya, perang heroik yang terjadi di Surabaya menunjukkan bukti nyata kepada kita bahwa bangsa Muslim Indonesia adalah mereka yang mengalahkan pasukan pemenang Perang Dunia ke-2. Buktinya pasukan Inggris dipaksa untuk meninggalkan pelabuhan Surabaya dengan tertunduk malu. 

"Bayangkan selama kurang lebih tiga pekan berperang, pasukan sekutu tidak bisa memasuki kota Surabaya, tidak bisa menduduki kota Surabaya, tidak bisa leluasa mengoperasi kota Surabaya karena perjuangan arek-arek Suroboyo dan sekelilingnya ketika diberikan fatwa wajibnya fardhu ain mempertahankan kota itu. Sehingga itulah latar belakang kenapa kemudian 10 November diperingati sebagai hari Pahlawan," tutupnya. [] Lanhy Hafa

Posting Komentar

0 Komentar