Hukum Melecehkan Kewajiban Khilafah Menurut Para Fuqaha


TintaSiyasi.com -- Ahli Fiqih Islam K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi memaparkan bagaimana hukum melecehkan kewajiban khilafah menurut para fuqaha.

"Para fuqaha telah sepakat barang siapa menghina hukum-hukum syariah Islam, dalam kedudukannya sebagai hukum syariah, seperti melecehkan wajibnya shalat, zakat, haji, puasa Ramadhan, atau melecehkan sanksi-sanksi pidana Islam, misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, wajibnya hukum dera (cambuk) bagi pezina, dan sebagainya, maka orang itu dihukumi telah kafir (murtad)," tuturnya dalam Kajian Fiqih: Hukum Melecehkan Kewajiban Khilafah, di YouTube Ngaji Subuh, Kamis (27/10/2022).

Yaitu sudah keluar dari agama Islam dan wajib dihukum mati jika tidak bertaubat kepada Allah SWT. (Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah, 3/251).

Menurut Kiai Shiddiq, dalilnya Al-Qur'an Surat At-Taubah ayat 65-66. "Katakanlah, 'Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? 'Tak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman."

Namun menurut Kiai Shiddiq, para fuqaha memberi catatan, perkataan yang dapat memurtadkan pengucapnya itu ada dua macam: Pertama, perkataan yang maknanya pasti/tegas (jaazim) atau sharih (terang-terangan), yaitu perkataan yang hanya mempunyai satu pengertian dan tidak dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (maa laa yahtamilu al ta'wiil).

"Siapa saja yang mengeluarkan perkataan jenis pertama ini, misalnya mengatakan Nabi Isa AS adalah anak Allah, atau agama Islam adalah karangan Nabi Muhammad SAW sendiri, dan yang semisalnya, dia dihukumi telah kafir," tegasnya.

Kedua, perkataan yang maknanya tidak pasti atau ucapan kinayah (sindiran), yakni perkataan yang memungkinkan lebih dari satu maksud, atau perkataan yang dapat ditakwilkan/diartikan dengan maksud lain (maa yahtamilu al ta'wiil).

"Siapa saja yang mengucapkan perkataan jenis kedua ini, tidak dapat dikafirkan," terangnya.

Kiai Shiddiq mengutip, dari Syekh Abdurrahman Al-Maliki berkata, "Meskipun suatu ucapan mengandung peluang kekufuran 99 persen dan peluang keimanan hanya 1 persen, namun dikuatkan yang 1 persen daripada yang 99 persen, karena yang 1 persen itu adalah peluang keimanan. Sebab dengan adanya 1 persen peluang keimanan, perkataan kufur dapat ditakwilkan."

Karena seseorang tidak dapat dikafirkan dengan perkataannya, kecuali dengan perkataan kufur yang pasti." (Lihat Abdurrahman Al-Maliki, Nizhamul 'Uqubat, hlm. 85,").

Kiai Shiddiq menambahkan, bahwa ketidaktahuan terhadap hukum syariah Islam (al jahlu bi al ahkam al syar'iyyah) dapat menjadi unsur pemaaf ('udzur syar'i). "Jika seorang muslim dan orang-orang yang semisal orang itu (keluarga, teman, kolega, dsb), memang tidak mengetahui suatu hukum syariah Islam dikarenakan satu dan lain hal. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 175), bebernya.

Bedasarkan penjelasan di atas Kiai Shiddiq menyimpulkan, bahwa Muslim yang melecehkan kewajiban Khilafah dihukumi sesuai dengan fakta pengucapnya dan maksud perkataannya sebagai berikut:

Pertama, Muslim yang melecehkan wajibnya Khilafah, sedang dia tahu Khilafah hukumnya wajib menurut syariah Islam, dan perkataannya pasti/tegas dan tidak dapat diartikan kepada maksud lain, maka tidak diragukan lagi orang itu dihukumi kafir.

Kedua, Muslim yang melecehkan wajibnya Khilafah, sedangkan dia tahu Khilafah hukumnya wajib menurut Syariah Islam, namun perkataannya dapat diartikan kepada maksud lain, maka orang itu tidak dihukumi kafir.

Ketiga, Muslim yang melecehkan wajibnya Khilafah, sedangkan dia tidak tahu bahwa Khilafah hukumnya wajib menurut Syariah Islam, maka orang itu tidak dihukumi telah kafir, baik perkataannya pasti maupun dapat ditakwilkan.

"Tetapi meskipun Muslim yang melecehkan kewajiban Khilafah tidak dikafirkan, jika masuk katagori kedua dan ketiga di atas, dia tetap berdosa besar. Karena paling tidak dia telah menghina sesama muslim yang memperjuangkan Khilafah," paparnya.

Padahal lanjut Kiai Shiddiq, menghina sesama Muslim itu diharamkan dalam Islam. Sebagaimana dalam Al-Qur'an Surat Al-Hujuraat ayat 11: 

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

"Karenanya melecehkan wajibnya Khilafah termasuk juga perbuatan yang disebut istikhfaaf bi al ahkam al syar'iyyah (penghinaan terhadap hukum-hukum syariah Islam). (Lihat Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah, 3/251), pungkasnya.[] Faizah

Posting Komentar

0 Komentar