Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes Benedictus van Heutsz, Bapak Nasionalisme Indonesia Sesungguhnya



TintaSiyasi.com -- Filolog dan Peneliti Sejarah Salman Iskandar menyatakan bahwa Bapak Nasionalisme Indonesia yang sesunguhnya adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang bernama Johannes Benedictus van Heutsz, bukan para Founding Father.

“Kalau berbicara berkenaan dengan siapa sesungguhnya Bapak Nasionalisme Indonesia, maka sesungguhnya Gubernur Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz inilah yang memulai awal pembentukan nasionalisme kalangan bumiputera, nasionalisme Indonesia. Jadi, bukanlah para Founding Father,” ungkapnya di YouTube Ngaji Shubuh TV, dalam rubrik Kajian Sejarah dan Peradaban, dengan tema Pax Netherlandica Vs Pan Islamisme: Melacak Perang Ideologi di Indonesia, Jumat (14/10/2022).

Ia mengungkapkan, gagasan van Heutsz berkenaan dengan Pax Neerlandica merupakan bagian tak terpisahkan untuk membentuk karakteristik  bangsa Indonesia secara Nasionalistik. Dia lah yang mempersatukan Persada Nusantara dalam satu kepemimpinan, dalam satu kesatuan
identitas dan entitas politik.

“Pasca-berakhirnya Perang Aceh menurut pihak Kolonial Belanda, Gubernur Jenderalnya yaitu van Heutsz mencanangkan satu upaya bagi pemerintah kolonial di negeri kita ini, bahwasanya  negara induk mereka yaitu kerajaan Belanda yang ada di Amsterdam, ingin menguasai seluruh Nusantara sebagai wilayah koloninya, seiring dengan politik ekonomi liberal yang ada di bumi Eropa,” ulasnya.

Orientasi Politik Ekspansionis

Mengenai gagasan van Heutsz tentang Pax Neerlandica, Ustaz Salman menjelaskan bahwa Belanda menginginkan wilayah koloninya yakni Nusantara yang kaya raya tidak dikuasai oleh negara imperialis Eropa lainnya. Mengingat, setelah dibukanya Terusan Suez bagi pelayaran internasional, penjelajahan dan arus ekonomi global yang menghubungkan dunia Eropa dan Asia menjadi semakin mudah.

“Kerajaan Belanda yang dulu pada awalnya hanya ingin memonopoli perniagaan yang
ada di Hindia Timur, memonopoli perniagaan yang ada di Nusantara, di Indonesia.  Maka semenjak era itulah kemudian orientasi politiknya menjadikan  kerajaan Belanda dan juga
pemerintah kolonial Hindia Belanda yang ada di Nusantara ini memiliki orientasi
politik ekspansionis,” jelasnya.

Mengubah Sistem Administrasi

Filolog tersebut lebih jauh mamaparkan bahwa Pax Neerlandica yang dicanangkan tersebut juga mengacu kepada upaya untuk mengubah sistem administrasi tradisional menjadi sistem administrasi modern menurut keyakinan mereka. Yakni, dengan mengganti sistem kepemimpinan pribumi atau bumiputera menjadi sistem  kepemimpinan melalui birokrasi kolonial Hindia Belanda di Batavia.

“Dalam konteks ini,  para pemimpin tradisional yang ada di wilayah seperti para
sultan, akan diposisikan sebagai pejabat bagi kepentingan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Jabatan tertinggi yang hanya diperuntukkan bagi para pemimpin tradisional tadi yaitu para sultan, sampai level bupati. Tidak boleh lebih dari level bupati. Jadi gubernur-gubernur wilayah yang kemudian diposisikan sebagai residen, mengepalai  beberapa bupati  ataupun para pemimpin  tradisional yang ada di kalangan bumiputera,” terangnya.

Salman Iskandar menegaskan,  sistemnya adalah sistem birokrasi kolonial. Gubernur jenderal di Batavia yaitu van Heutzs membawahi beberapa orang residen di seluruh wilayah Nusantara, yang mereka itu adalah orang-orang kolonial Hindia Belanda. Mereka adalah orang-orang Eropa. Mereka adalah orang-orang Belanda yang ditempatkan di masing-masing keresidenan. Di bawah itu kemudian  para bupati wilayah, yang mereka adalah kalangan bumiputera yang merupakan para pemimpin tradisional, yaitu para penguasa wilayah yang sebelumnya mereka menjabat sebagai para pemimpin tradisional di wilayahnya masing-masing, yaitu para sultan di antaranya. 

Pendidikan Karakter

Peneliti sejarah yang juga dijuluki Predator Buku tersebut lebih jauh mengulas isi Pax Neerlandica atau juga disebut Pax Netherlandica yang dicanangkan Gubernur Jenderal van Heutzs. Bahwasanya, pemerintah Kolonial Hindia Belanda akan menjadikan para bumiputera pribumi untuk dididik  dengan karakter Belanda. Bahkan, mereka menanamkan penamaan Belanda pada kalangan bumiputera.

“Kalangan bumiputera tadi itu dididik  memiliki karakteristik seperti Belanda sebagai penguasa dan pemimpin mereka. Mulai cara berpakaian, cara berbicara, berpikir, bahkan pun kemudian menanamkan penamaan Belanda pada kalangan bumiputera. Dan ketika nama-nama Belanda itu masuk ke dalam nama dari kalangan bumiputera, umumnya adalah nama-nama Baptis. Nama-nama yang kemudian telah disematkan  oleh Gereja Protestan kepada kalangan Bumiputera,” paparnya. 

Ustaz Salman menerangkan, gagasan dari Gubernur Jenderal Van Heutzs yang berkuasa semenjak tahun 1904 hingga tahun 1909 tersebut diwacanakan sedemikian rupa bahkan sampai  ke negeri Belanda. Sementara, di negeri Belanda sendiri sedang bergolak pemikiran ide-ide kebebasan. Ide-ide yang kemudian digaungkan semenjak era Revolusi Perancis, dan menggema sampai ke negeri Belanda. Di antaranya kemudian bermunculan  partai politik yang berhaluan liberal dan juga kiri, sosialis komunis. 
“Diantaranya kemudian mereka mendesak berkenaan dengan kebijakan pemerintah kolonial yang kemudian tersiar kabar bahwa pemerintah kolonial yang ada di Hindia Timur ataupun di Nusantara berlaku kejam, berlaku zalim, semenjak era Gubernur Jenderal Van Bosch misalkan di antaranya,” ungkapnya.

Politik Etis

Selanjutnya Sang Predator Buku mengulas bahwa gagasan van Heutzs untuk mendidik para pribumi dengan karakteristik Belanda disambut oleh pihak kerajaan Belanda, yang semenjak tanggal 17 September 1901  Ratu Wilhelmina mewacanakan ide terkait Etische Politic (Politik Etis) atau Politik Balas Budi. Yakni, politik untuk memberikan utang keberuntungan dari pihak kerajaan Belanda kepada kalangan bumiputera di wilayah koloninya yang ada di pemerintah kolonial Hindia Belanda di Nusantara. 

“Makanya ketika pada tahun 1904 Gubernur Jenderal Gubernur Militer Hindia Belanda Jenderal Van Heutzs berhasil menaklukkan Semenanjung Suwarna Bumi dengan dikuasainya Nanggroe Aceh Darussalam, bahkan kemudian menggelandang  Sultan  Muhammad Daud Syah hingga kemudian dikerangkeng di jeruji besi di Batavia, maka kemudian sambutan dari Queen Wilhelmina  itu sedemikian rupa bahagianya,” ujarnya.

Filolog tersebut lebih jauh menjelaskan, setelah masa  kepemimpinan Jenderal van Heutzs  berakhir pada 1909, maka gagasan  mendidik kalangan bumiputera  agar memiliki karakteristik seperti Belanda, ditindaklanjuti oleh pengganti Jenderal van Heutzs, yaitu Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederich Idenburg. Dia meneruskan kebijakan yang ditetapkan dalam upaya Pax Neerlandica Jenderal  Johaness, yang sekaligus juga dicanangkan oleh pihak kerajaan Belanda di Amsterdam, yaitu Ratu Wilhelmina, dengan mencanangkan apa yang kemudian dikenal sebagai Politik Etis atau Politik Balas Budi. 

“Gubernur Jenderal Idenburg yang menggantikan van Heutzs, menugaskan khususnya berkenaan dengan Politik Etis tadi  dalam bidang edukasi,  transmigrasi, dan irigasi. Terkait  kebijakan politik edukasi untuk mendidik kalangan bumiputera agar memiliki karakteristik seperti Belanda, Gubernur Jenderal  Idenburg menugaskan Josephus Hendricus Abendanon dan Snouck Hurgronye  untuk merumuskan dasar kebijakan pola pendidikan dalam politik edukasi Etische Politic  kolonial dalam upaya mendidik kalangan bumiputera agar memiliki karakteristik seperti Belanda,” jelasnya.

Ustaz Salman menambahkan, Josephus Hendricus Abendanon merupakan pejabat Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam Kementerian Pendidikan  Kerajinan dan Agama  (Pendidikan Kebudayaan). Dia dibantu oleh penasehat dari pemerintah kolonial yaitu Snoujk Hurgronje   yang berurusan dengan kalangan bumiputera, khususnya juga berkenaan dengan upaya mereduksi peran Islam dan kaum Muslim dalam pemahaman umat di masyarakat Nusantara. Terkait gagasan yang akan dicanangkan untuk mendidik kalangan bumiputera dalam Politik Edukasi Etische politic Wilhelmina tersebut, Snoujk Hurgronje memberikan arahan dan nasihat-nasihat penting kepada Kementerian Pendidikan Kerajinan dan Agama, yaitu n untuk mendekatkan pola pendidikan plotisme atau plotisma. Yaitu, berupaya untuk menjarakkan atau menganggangkan bentuk pengajaran atau politik pendidikan, politik edukasinya, dari pemahaman keagamaan kalangan bumiputera.

“Membentuk kalangan bumiputera dalam pola didik ala kolonial tadi, menjadikan mereka memiliki karakteristik seperti orang Belanda pada umumnya, yang kemudian  membentuk mereka menjadi orang-orang sekuler, yaitu netral terhadap agama atau bahkan kemudian anti terhadap Syariat agama. Agama yang dimaksud itulah agama mayoritas yang dianut oleh kalangan bumiputra, yaitu ajaran Islam, “ tambahnya. 

Pelaksanaan Politik Edukasi Politik Etis

Selanjutnya Salman Iskandar memaparkan program edukasi yang diterapkan pada pribumi di Nusantara dalam rangka Politik Etis. Pertama, Pola pendidikan bagi kalangan bumiputera tersebut adalah pola pendidikan modernis berbasiskan netral agama.

“Pola pendidikan modernis berbasiskan netral agama, bahkan anti terhadap syariat agama. Tenaga pengajar, tenaga pendidik dalam Politik Etis  dalam bidang edukasinya tadi, umumnya di antara mereka adalah kalangan liberal Belanda, atau kalangan sosialis komunis dari pihak Belanda. Atau bahkan mereka itu merupakan anggota Tarekat Mason Bebas yang kemudian dikenal sebagai orang-orang Masuniah atau Freemasonry, yang  mereka kita sudah sangat mafhum bagaimana bentuk kedengkian mereka terhadap dogma, doktrin keagamaan, khususnya ajaran Islam,” ulasnya.

Kedua, Kalangan terdidik akan diarahkan untuk menjadi pewaris kolonial dalam pemikiran hukum dan kuasa pemerintahan.
“Kebijakan edukasi diperuntukkan bagi kaum bangsawan dan putra-putra pejabat, putra-putra pangreh praja. Kalangan cacah, kalangan awam, kalangan jelata sama sekali tidak diizinkan untuk ikut  berkenaan dengan kebijakan edukasi dalam politik etis ini. Karena, pihak kolonial akan memposisikan  kaum bangsawan dan juga putra-putra pangreh praja itu sebagai para pejabat publik, para pejabat bagi kepentingan kolonial, sebagai tenaga terdidik dengan upah yang minim, dengan upah yang rendah. Kalau seandainya Pemerintah Kolonial Belanda mendatangkan orang-orang Belanda dari pihak kerajaan di wilayah Eropa di Amsterdam untuk datang ke Hindia Timur, untuk datang ke Nusantara, tentu butuh dana yang besar untuk mendatangkan mereka, sekaligus juga mengupah ataupun menggaji mereka dengan dana yang besar. Namun, kalau mereka mendapatkan kalangan terdidik dari kalangan bumiputra, dari kalangan putra-putra bangsawan dan juga pangreh praja, yang mereka pun kemudian bapak-bapak mereka bekerja bagi kepentingan kolonial dan dibayar oleh kolonial, maka kalangan terdidik tadi akan mudah diarahkan hanya mendapatkan upah yang rendah atau gaji yang kecil,” urainya.

Hasil Edukasi Politik Etis

Ustaz Salman juga menerangkan hasil dari program edukasi Politik Etis, yaitu pendidikan karakter pada kalangan bumiputra. Melalui pendidikan modern tersebut lahirlah golongan elit baru atau para priyayi di Hindia Belanda. Mereka kemudian menjadi corong kolonial dengan profesi sebagai dokter, guru, jurnalis dan juga diperuntukkan sebagai aparat pemerintahan. 

“Itu hasil edukasi kolonial. Mereka inilah kemudian diketahui bahwa para elit baru golongan priyayi ini memiliki pemikiran modernis, sekaligus juga kritis terhadap kolonial. Mereka  kemudian mengubah corak perjuangan kedaerahan menjadi perjuangan kebangsaan. Inilah titik awal apa yang kemudian kita kenal sebagai National Movement atau gerakan-gerakan nasional atau gerakan-gerakan kebangsaan,” ungkapnya.

Filolog tersebut juga menyebutkan beberapa nama tokoh nasional Indonesia yang merupakan hasil pendidikan modern ala Kolonial Belanda. Antara lain, Ki Hajar Dewantoro, Doktor Cipto Mangunkusumo, Erness Dowwes Dekker atau Danu Dirja Setiabudi.
 “Makanya kemudian karakteristik yang terbangun di hasil pendidikan kolonial, yang juga kemudian para tenaga pendidik, para pengajarnya itu adalah kalangan Freemasonry
Belanda, maka tidaklah heran kalau pemikiran dan corak  alur berpikir dari hasil didikan kolonial itu membawa  misi dan juga membawa kepentingan tidak hanya kepentingan kolonial Belanda, tapi juga kepentingan kalangan Tarekat Mason Bebas atau Freemasonry,” pungkasnya.[]Binti Muzayyanah.

Posting Komentar

0 Komentar