Mendedah Framing Jahat Eko Kuntadhi terhadap Pernyataan Ning Imaz (Perspektif Agama dan Hukum)


TintaSiyasi.com -- Menghina, minta maaf, kasus selesai! Setelah melecehkan Ustazah Imaz Fatimatuz Zahra (Ning Imaz) dari Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pegiat media sosial Eko Kuntadhi (EK) minta maaf. Sebelumnya EK mengunggah potongan video Ning Imaz tentang tafsir surat Ali Imran ayat 14 disertai caption berupa ungkapan kasar: "Tolol tingkat kadal. Hidup kok cuma mimpi selangkangan."

Sontak EK menuai kemarahan umat Islam. Tak hanya melecehkan pribadi Ning Imaz, ia pun menghina mufassir Imam Ibnu Katsir yang tafsirannya dikutip Ning Imaz. Pun merendahkan ajaran Islam soal bidadari di surga dituduh urusan selangkangan.

Sebelum tersandung kasus ini, EK punya riwayat panjang menyerang sejumlah ulama. Seperti mendukung langkah Singapura mendeportasi Ustaz Abdul Somad. Pun memfitnah Ustaz Adi Hidayat bahwa uang yang dikumpulkannya untuk Palestina tidak semua diserahkan.

Sayangnya, sebagaimana deretan buzzeRp lain seperti Abu Janda, Denny Siregar, dan Ade Armando, mereka seolah untouchable man alias sosok kebal hukum. Penistaan agama yang mereka lakukan tak pernah berakhir di meja hijau atau terali besi. Soal EK minta maaf kepada Ning Imaz, itu sudah kewajibannya. Tapi proses hukum harus berlanjut. 

Jangan sampai umat Islam selalu kecewa karena penista agama bebas melenggang. Akankah hukum pisau dapur terus berlangsung? Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tajam ke pihak yang berdiri di seberang istana, tumpul bagi para kroni, satu barisan, dan sesama penghuni kolam.

Sikap Muslim terhadap Framing Jahat EK saat Ning Imaz Menyampaikan Tafsir Q.S. Ali Imran: 14

Dalam video yang dikomentari oleh EK, Ning Imaz menyampaikan penjelasan tafsir Q.S. Ali Imran: 14 berdasarkan literatur referensi yang mu’tabarah. 

“Jadi sebetulnya orientasi kenikmatan tertinggi bagi laki-laki adalah perempuan. Makanya hadiahnya di surga nanti adalah bidadari. Tapi kalau perempuan tidak. Perempuan di surga nanti, kenikmatan tertingginya bukan laki-laki. Makanya tidak ada bidadara, tidak ada. Perhiasan, perempuan itu menyukai perhiasan. Hal-hal yang indah, karena dia sendiri perhiasan dan dia juga menyukai perhiasan….”

Pandangan Ning Imaz ini sejalan dengan pandangan para mufassir. Imam Ibnu Katsir (701-774 H) dalam kitab tafsirnya "Tafsirul Qur’anil ‘Azhim" saat menjelaskan ayat 14 surat Ali Imran:   

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada hal-hal yang diinginkan, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang baik (surga)." 

Ia menjelaskan, dalam ayat ini Allah sedang memberi kabar tentang berbagai hal yang disukai oleh syahwat manusia di dunia, dalam konteks yang lebih khusus adalah kaum Adam, yaitu perempuan, dan anak keturunan. Lalu dalam ayat tersebut, Allah memulainya dengan menyebut perempuan terlebih dahulu, karena fitnah atau godaan perempuan bagi laki-laki menjadi godaan yang paling berat daripada godaan lainnya.

Ibnu Katsir pun mengutip beberapa hadis Nabi Muhammad SAW,

 مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِى النَّاسِ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ  

“Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan pada manusia setelah kewafatanku yang lebih membahayakan laki-laki daripada perempuan.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Merujuk penafsiran ini, benar bahwa orientasi kebahagiaan tertinggi bagi laki-laki adalah perempuan. Namun demikian, meskipun perempuan menjadi fitnah terbesar bagi laki-laki, jika maksud menikahi perempuan adalah untuk menjaga diri dan memperoleh keturunan, maka perempuan justru akan menjadi berkah bagi laki-laki dan Allah pun meridhainya. “Fa hadza mathlubun marghubun fihi mandubun ilaih (ini dianjurkan, disukai, dan disunahkan)," kata Ibnu Katsir (Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi, Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, [Darut Thaibah: 1420 H/1999 M], juz II, halaman 19).

Laki-laki yang mencintai perempuan dengan motif positif seperti inilah laki-laki yang bertakwa, yang Allah janjikan surga dan bidadari-bidadarinya, sebagaimana ayat selanjutnya,

  قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ 

“Katakanlah, 'Inginkah aku kabarkan kepada kalian apa yang lebih baik daripada yang demikian itu?' Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (ada pula) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS Ali Imran: 15)

Ayat di atas menyatakan, bagi laki-laki yang bertakwa terdapat janji pahala dari Allah berupa surga, azwajun muthahharah, dan ridha Allah Ta’ala. Diksi azwajun muthahharah yang dimaksud sebagaimana penafsiran Ibnu Katsir adalah istri-istri yang disucikan dari kotoran, penyakit, haid, nifas, dan kotoran lainnya, yang biasa dijumpai pada perempuan di dunia. (Ad-Dimasyqi, Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, juz II, halaman 22).   

Walhasil, merujuk penafsiran Ibnu Katsir, perempuan adalah fitnah terbesar bagi para lelaki. Pun demikian, bila lelaki menyukai perempuan berdasarkan motif positif, seperti untuk menjaga diri dari keharaman dan mendapat anak keturunan, maka kesukaannya justru akan menjadi berkah bagi hidupnya, di dunia hingga akhirat kelak.

Dengan demikian, apa yang dilakukan EK bukan hanya mengolok-olok Ning Imaz, tetapi juga menghina tafsir Al-Qur'an agama Islam) dan mufassir yang faqih fiddin. Jelas EK telah memenuhi kriteria penodaan agama. Proses hukum harus berlanjut, karena umat Islam tidak rela Al-Qur'an dan agama Islam dinistakan.

Perspektif Hukum terkait Framing Jahat EK terhadap Pernyataan Ning Imaz

Langkah EK menghapus postingannya memang sudah tepat. Sebagai tanda ia merasa keliru  mengunggah video dan mengomentarinya dengan kalimat sarkastis, bahkan mengandung unsur tindak pidana. Di sisi lain, mencabut akun Twitter-nya juga bisa sebagai efek jera bagi EK dan pengguna akun yang lain. 

Dalam perspektif hukum, komentar EK tentang: tolol tingkat kadal, selangkangan, dan hadiah tupperware kepada wanita di surga, merupakan framing jahat yang berisi: pertama, penghinaan terhadap pribadi (Pasal 310 KUHP, Pasal 27 (3) UU ITE), kedua, penistaan agama (Pasal 156a KUHP) dan kebencian berunsur SARA (Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a ayat (2) UU ITE). 

Pasal 27 ayat (3) UU ITE berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” 

Adapun ancaman hukum pencemaran nama baik di media sosial, bagi pelaku pelanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta."

Sementara ujaran kebencian sudah diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” 

Namun hukuman dari setiap ujaran kebencian akan dibedakan. Berdasarkan Jurnal Analogi Hukum "Sanksi Pidana terhadap Ujaran Kebencian (Hate Speech)," untuk pelaku yang melakukan tindak ujaran kebencian di internet akan dikenakan hukuman sesuai yang tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 45 ayat 2, “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Kita mesti belajar pada kasus Ahok, yang juga terbukti melakukan tindak pidana penistaan agama dan dihukum dua tahun penjara. Untuk kasus dugaan penistaan agama (Pasal 156a KUHP) dan ujaran kebencian (UU ITE) dapat dilaporkan oleh siapa pun. Bahkan polisi dapat memanggil yang bersangkutan tanpa harus menunggu laporan dari masyarakat,  mengingat ini termasuk bukan delik aduan. Sedangkan untuk  penghinaan atau pencemaran nama baik baik yaitu di UU ITE Pasal 27 atau Pasal 310 KUHP, dapat dilaporkan oleh korban sendiri karena tindak pidana ini termasuk delik aduan. 

Ahok 'hanya' mengatakan "Jangan mau dibodoh-bodohi surat Al Maidah" saja masuk penjara. Maka, EK mestinya ditangkap dan dibui karena ujarannya lebih kasar dan langsung menghina isi Al-Qur'an. Tangkap dan adili EK! Jangan biarkan ia lepas dari jerat hukum berdalih tak ada laporan dari masyarakat.

Strategi Pemerintah agar Penistaan Agama Tidak Terulang

Penistaan terhadap agama Islam dan ulamanya terus terjadi. Pelakunya berganti-ganti. Ada yang itu-itu saja, namun tak terjamah hukum sama sekali. 

Dalam alam demokrasi, atas nama kebebasan berekspresi dan hak asasi, penistaan agama Islam terkesan dibiarkan. Para penista bebas berkeliaran. Jika pun hukum ditegakkan, tak membawa pada keadilan. Terkesan tebang pilih. 'Wajar' jika mereka tak kapok mengolok-olok Islam karena tak ada tindakan tegas dari pihak berwenang. 

Oleh karena itu, pemerintah sebagai pelindung keyakinan dan agama rakyat, harus memastikan bahwa penistaan terhadap Islam, agama mayoritas penduduk negeri ini, tidak terulang lagi. 

Strategi yang bisa dilakukan pemerintah antara lain: 

1. Memahami bahwa penghinaan terhadap agama Islam merupakan perkara berat yang berkonsekuensi pada azab Allah SWT di akhirat kelak. Terlebih bila yang dihina adalah Rasulullah SAW. Mayoritas ulama bersepakat hukuman bagi pencela Nabi SAW ialah dibunuh.

2. Mengedukasi masyarakat melalui kerjasama pihak terkait tentang larangan menodai/menista agama, baik agama sendiri maupun orang lain, dampak buruknya, hingga hukuman bagi sang pelaku.

3. Membentuk peraturan baru yang mampu melindungi ajaran, simbol, dan tokoh agama Islam. Mengingat aturan hukum yang berlaku sekarang terindikasi sebagai pasal karet, tidak substantif, dan tidak berefek jera.

4. Bertindak sigap dengan memberikan hukuman tegas bagi pelaku. Ini akan memberikan efek jera. Tak cukup diselesaikan secara kekeluargaan dengan cara memaafkan. Meski dimaafkan, proses hukum harus terus berjalan. 

5. Menerapkan sistem hukum berkeadilan. Sebagaimana konsep hukum dalam Islam yang mensyariatkan agar hukum ditegakkan secara adil, yaitu:

a. Tidak boleh dipengaruhi oleh rasa suka atau tak suka, kawan atau lawan, dekat atau jauh.

Allah SWT berfirman, “Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada ketakwaan.” (QS. Al Maidah: 8)

b. Tidak boleh dipengaruhi oleh rasa kasihan sehingga menyebabkan tidak menjalankan hukum terhadap pelaku kriminal. 

Allah SWT berfirman, “Janganlah rasa kasihan kepada keduanya (pelaku zina) mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah.” (QS. An Nuur: 2)

c. Hukum berlaku untuk semua. 

Tidak boleh ada privelese dalam penerapan hukum sehingga seolah ada individu atau kelompok orang yang tak tersentuh hukum, sebagaimana yang nampak dari sosok penista agama yang kebal hukum seperti Eko Kuntadhi dan kawanannya.

Rasulullah SAW bersabda, “Tegakkanlah hukum Allah atas orang dekat atau pun yang jauh. Janganlah celaan orang yang suka mencela menghalangi kalian untuk menegakkan hukum Allah.” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim, dan Al Baihaqi)

Hadis ini memerintahkan agar menegakkan hukum tanpa tebang pilih. Frasa “orang dekat atau orang jauh” maknanya bisa dari sisi nasab dan kekerabatan, yang kuat dan yang lemah, atau pejabat dan rakyat biasa. Bisa juga dari sisi kedekatan dengan penguasa atau orang-orang dalam lingkaran kekuasaan, pendukung rezim, seperti para influencer dan buzzer istana. 

Sayangnya, sistem hukum berkeadilan saat ini sulit diraih ketika berasas sekularisme kapitalistik. Maka kembalikan pembentukan dan pengaturannya berdasar hukumnya Sang Pembuat Hukum yaitu Allah SWT. Tak ada hukum seadil hukumnya Allah SWT Sang Mahaadil. Mari bersama berjuang mewujudkannya.


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar