Konversi Gas LPG ke Kompor Listrik: Untuk Siapa, Rakyat atau Konglomerat?




TintaSiyasi.com -- Sudah tahu tarif dasar listrik (TDL) merangkak naik, pemerintah malah mewacanakan konversi tabung gas LPG ke kompor listrik. Ya, lumrah jika hal tersebut menjadi pro dan kontra. Apalagi watak pemerintah ini tanpa empati dan tidak memikirkan nasib rakyat ke depan. Sebagaimana yang baru dilakukan ketika menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pertalite hampir naik 30 persen, dari Rp7650,- ke Rp10.000,-. 

Tanpa ampun pemerintah juga auto menaikkan sambil menyuarakan narasi-narasi pembenarannya. Sampai tulisan ini dibuat, aksi tolak kenaikan Harga BBM bersubsidi masih dilakukan, tetapi pemerintah belum menggubris. Jika harga BBM tidak kunjung diturunkan, maka hal itu akan makin menegaskan negara ini hadir adalah untuk kepentingan konglomerat atau kapitalis asing, bukan untuk rakyat. 

Begitu juga soal konversi kompor yang baru-baru ini diwacanakan. Masih ingat beberapa tahun yang lalu (2007), ketika minyak tanah tiba-tiba hilang dari peredaran. Pada saat itu pemerintah mengonversi minyak tanah ke tabung gas melon. Patut diduga ketika konversi dari kompor gas ke listrik, pemerintah akan menyetop peredaran tabung gas, sehingga rakyat mau tidak mau harus memakai kompor listrik jika ingin memasak dan makan. Padahal, kondisi hidup ini makin lama makin sulit. Lalu, bagaimana jika konversi ke listrik ini terus berlanjut?

Mengulik di Balik Wacana Konversi Tabung Gas LPG ke Kompor Listrik

Ilmu sains dan teknologi membuat manusia tidak bisa mengelak untuk mengikuti perkembangan teknologi hari ini. Namun, perkembangan teknologi zaman sekarang tidak terlepas dari berapa uang yang dimiliki untuk menikmati kecanggihan teknologi sekarang. Ya begitulah ketika kapitalisme menjadi lokomotif dunia hari ini, majunya teknologi berbanding lurus dengan tingginya harga barang tersebut. 

Berbicara soal kompor listrik yang sedang diwacanakan hari ini, memang memiliki keunggulan dan kekurangan. Diklaim kompor listrik lebih aman daripada kompor gas dan memiliki panas yang lebih lama. Hanya saja, kompor listrik atau induksi memiliki kelemahan, selain lebih mahal, juga membutuhkan waktu memasak yang lebih lama. Begitulah teknologi yang memiliki plus dan minusnya. 

Namun, ada beberapa alasan pemerintah getol mewacanakan konversi tabung gas LPG ke kompor listrik karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama, menurut Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, dikutip dari CNBCIndonesia.com subsidi LPG 3 kg yang tidak tepat sasaran telah membebani keuangan negara lebih dari Rp 300 triliun sejak tahun 2017. Adapun, subsidi tersebut sangat berpotensi terus membengkak dari tahun ke tahun karena penambahan jumlah pengguna dan volume penggunaan LPG yang tidak dapat dikendalikan sesuai dengan target sasaran subsidi. Kedua, ada isu konversi ke kompor listrik atau induksi adalah untuk mengatasi over suplai penjualan listrik PLN.

Sebenarnya dinilai dari dua alasan pemerintah tersebut ada beberapa catatan kritis sebagai berikut. Pertama, lagi-lagi pemerintah menganggap subsidi adalah beban negara. Ini adalah keliru, karena hanya negara bermahzab kapitalisme yang menganggap subsidi beban. Sebenarnya negara mendapatkan subsidi itu dari mana? Bukankah segala pembiayaan di negara ini ditanggung oleh uang rakyat melalui pajak dan pengelolaan sumber daya alam? Namun, pemerintah senantiasa beralibi subsidi adalah beban negara. Dan menjadikan penghapusan subsidi sebagai kamuflase menaikkan TDL, harga BBM, dan lain-lain.

Memang saat uji coba kompor listrik atau induksi ini, pemerintah mengatakan tidak akan menambah tagihan listrik, karena memang masih uji coba. Lha terus jika uji coba selesai, rakyatlah yang harus menanggung tagihan kompor listrik tersebut. Apalagi jika nanti peredaran tabung gas LPG bersubsidi dibatasi, karena dianggap tidak tepat sasaran. Alangkah menderitanya rakyat ini, sudah BBM naik tidak segera diturunkan, ditambah dengan konversi kompor listrik atau induksi. 

Kedua, berbicara soal kelebihan over suplai listrik PLN ini sebenarnya karena pemerintah tidak berdikari dalam mengelola listrik di negeri ini. Ada Pembangkit Listrik Swasta (PLS) yang bermain. Sehingga PLN tidak langsung mengelola listrik, tetapi membeli listrik dari PLS dan dijual kepada rakyatnya. Wajar jika jatuhnya ke rakyat lebih mahal tarifnya.

Salamuddin Daeng menyatakan, “Selama ini tidak banyak publik yang tau bahwa listrik yang dihasilkan PLN sudah over supply atau kelebihan kapasitas. Pihak PLN sendiri pernah mengatakan bahwa listrik yang mereka hasilkan hanya terjual 50 persen saja. Bahkan, ada kabar yang lain mengatakan bahwa di masa Covid-19, listrik yang dihasilkan PLN hanya terjual 30 persen. Selebihnya terbuang percuma,” ungkapnya pada TintaSiyasi.com (3/6/2022). Padahal, PLN harus membeli seluruh listrik yang dihasilkan oleh IPP dengan sistem pembelian take or pay (TOP). Dengan sistem itu, maka berapa pun listrik yang dihasilkan swasta wajib dibeli oleh PLN, imbuh Daeng. 

Inilah yang sejatinya membuat PLN merugi. Oleh karena itu, jika konversi ini dipaksakan sama saja pemerintah menjadikan rakyatnya tumbal atas kelebihan over suplai PLN akibat kerja sama dengan PLS. Lagi-lagi, rakyat dikorbankan demi kepentingan kapitalis asing. Sehingga ini makin mengokohkan posisi penguasa hari ini bukan lagi sebagai pelayan rakyat, melainkan sebagai pelayan kapitalis asing atau oligarki konglomerat.

Dampak Konversi Gas LPG ke Kompor Listrik

Konversi gas LPG ke kompor listrik atau induksi tentu akan memiliki dampak serius. Membahas soal dampak atas wacana di atas, pertama, dampak politik, sejatinya pemerintah belum siap, tetapi jika kebijakan konversi tabung gas ke kompor listrik atau induksi diteruskan menegaskan pemerintah dalam belenggu hegemoni kapitalisme global. Dugaan PLN mengalami over suplai ini yang menyebabkan pemerintah mencari cara agar dikonsumsi oleh rakyat. Oleh karena itu, aktivitas rumah tangga yang biasa memakai sumber energi gas dialihkan menjadi listrik. Selain itu, ada pula wacana pengalihan mobil berbahan bakar bensin atau solar ke listrik pula. 

Seharusnya konversi energi ini memperhitungkan bagaimana kehidupan rakyatnya. Apabila konversi energi ini karena ada desakan urgen silakan diupayakan dan disosialisasikan, tetapi jika hanya kelebihan suplai listrik akibat kerja sama dengan Pembangkit Listrik Swasta (PLS) ini sama saja dengan mengorbankan rakyat demi kepentingan kapitalis asing.

Kedua, dampak ekonomi penambahan tarif biaya dari gas ke tagihan listrik akan mengatrol harga-harga pangan lainnya. Bagi para penjual makanan tentu akan menaikkan harga jualnya, karena kompor listrik pengeluaran lebih mahal. Tentu beban hidup rakyat ini tidak bisa ditambal oleh bantuan langsung tunai (BLT) sebagaimana solusi yang digelontorkan pemerintah untuk meredam penolakan kenaikan BBM bersubsidi.

Ketiga, lingkungan rusak dan banyak polusi. Listrik agar tetap hidup membutuhkan batu bara untuk menghidupkannya, selain batu bara bisa menggunakan BBM juga. Sebenarnya sama saja, tetap membutuhkan energi lain untuk diubah jadi listrik dan proses pengubahan energi ini berpotensi menyebabkan polusi dan merusak lingkungan. Karena, banyak kapitalis asing yang menambang berdasarkan kerakusan tanpa melihat kondisi alam yang telah ditambang. Ketika ada bencana alam, yang terdampak adalah rakyat secara umum. 

Oleh sebab itu, akan menggunakan energi apa saja, polusi tidak dapat dihindarkan, karena konsep pengelolaan sumber daya alam dalam pandangan kapitalisme adalah mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan kerugian sekecil-kecilnya. Sehingga berdampak pada rusaknya lingkungan karena rusaknya alam akibat penambangan yang tidak bertanggung jawab. 

Keempat, dampak sosial adalah maraknya kriminalitas. Kriminalitas dipicu karena hidup makin sulit, kebutuhan pokok harganya menjulang, lapangan kerja sempit, dan sebagainya. Inilah yang memicu tindakan kejahatan, manusia hidup tidak memikirkan halal dan haram, tetapi yang penting hidup, walau dengan menipu atau mencuri. Inilah bahaya yang nyata. Bahkan, ada yang cari uang dari prostitusi karena pragmatis dan sekuler. 

Membahas dampak dari konversi energi secara bahasan sains dan teknologi sebenarnya tidak ada masalah. Perkembangan teknologi itu adalah sebuah keniscayaan, tetapi tujuannya adalah untuk kebaikan kehidupan bukan untuk bisnis. Nah, ini yang seharusnya dimengerti dan dipahami. Tetapi, konsep kecanggihan teknologi dan sains untuk kemaslahatan umat hanya bisa terwujud jika diterapkan sistem Islam secara paripurna. Selama sistem masih sekuler kapitalisme, maka kecanggihan teknologi hanya dijadikan karpet merah bisnis segelintir kapitalis.


Strategi Islam dalam Mengurus Energi

Pengelolaan sumber daya alam ataupun sumber energi adalah bagian dari tanggung jawab negara. Negara mengelolanya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Sekalipun negara menarik tarif, tujuannya adalah membantu cost biaya produksi. Dalam pandangan Islam barang tambang adalah bagian dari sektor publik. Oleh sebab itu, wajib dikelola negara untuk dikembalikan ke rakyat untuk kesejahteraan mereka. Tidak boleh diserahkan pada swasta atau milik perorangan, terlebih tidak boleh diserahkan pengelolaannya pada swasta asing. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis dikatakan: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Pengelolaan sumber daya alam dilakukan oleh negara karena termasuk bagian dari urusan publik. Urusan publik dikelola negara agar tidak terjadi pertikaian dan pengurusannya berdasarkan bagaimana hukum Islam memandang. Islam akan mampu hadir di segala problematika kehidupan, karena Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif memiliki hukum yang rinci untuk mengatur kehidupan. 

Pengelolaan energi yang berkesinambungan dengan sistem Islam kaffah akan menjadikan negara berdikari dan mampu menjamin hajat hidup umat, baik dari sektor pendidikan, kesehatan, maupun keamanan. Pengelolaan sumber daya alam sesuai Islam tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus disokong dengan penerapan sistem Islam secara totalitas di bawah naungan khilafah Islam. Hanya sistem pemerintahan Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Tidak ada sistem kehidupan yang lebih baik selain Islam, karena hanya Islam yang mampu menegakkan keadilan.


Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Alasan pemerintah mengonversi gas LPG ke kompor listrik atau induksi karena menganggap subsidi tidak tepat sasaran dan beban adalah alasan yang mengokohkan posisi sistem hari berada dalam hegemoni kapitalisme global. Jika kerugian yang dialami PLN dijawab dengan konversi energi dari gas ke listrik justru akan menambah beban rakyat.

Membahas dampak dari konversi energi secara bahasan sains dan teknologi sebenarnya tidak ada masalah. Perkembangan teknologi itu adalah sebuah keniscayaan, tetapi tujuannya adalah untuk kebaikan kehidupan bukan untuk bisnis. Nah, ini yang seharusnya dimengerti dan dipahami. Tetapi, konsep kecanggihan teknologi dan sains untuk kemaslahatan umat hanya bisa terwujud jika diterapkan sistem Islam secara paripurna. Selama sistem masih sekuler kapitalisme, maka kecanggihan teknologi hanya dijadikan karpet merah bisnis segelintir kapitalis.

Pengelolaan energi yang berkesinambungan dengan sistem Islam kaffah akan menjadikan negara berdikari dan mampu menjamin hajat hidup umat, baik dari sektor pendidikan, kesehatan, maupun keamanan. Pengelolaan sumber daya alam sesuai Islam tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus disokong dengan penerapan sistem Islam secara totalitas di bawah naungan khilafah Islam. Hanya sistem pemerintahan Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Tidak ada sistem kehidupan yang lebih baik selain Islam, karena hanya Islam yang mampu menegakkan keadilan.[]


Oleh: Ika Mawarningtyas
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo dan Direktur Mutiara Umat Institute
MATERI KULIAH UNIOL 4.0 DIPONOROGO
Rabu, 21 September 2022
Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
#Lamrad
#LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar