Ketika Atribut Agama Menjadi Alat Manipulasi Pelaku Kejahatan


TintaSiyasi.com -- Bak jendela, tutup buka hijab seolah jadi hal biasa. Adalah terpidana kasus korupsi dan mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang berhijab saat persidangan, namun tak lagi memakainya kala mendapat bebas bersyarat. Tak hanya Pinangki. Sejumlah nama yang terseret proses hukum, saat berhadapan dengan meja hijau mereka mengenakan pakaian dan atribut agama Islam seperti baju koko, kopiah, kerudung, dan gaun menutup aurat. Padahal sebelumnya mereka tampil tanpa itu. Pun selepas bebas, tak lagi menggunakannya. 

Merespons gaya berbusana Pinangki, Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad mengusulkan agar pihak penegak hukum membuat baju khusus di persidangan tanpa harus memakai simbol agama tertentu. Ia khawatir penggunaan atribut agama dalam persidangan justru menjadi stigma pada agama tertentu (cnnindonesia.com, 7/9/2022). 

Absurd! Satu kata ini yang paling tepat untuk menilai perilaku para tersangka pelaku tindak pidana yang berusaha cover up perbuatan bejatnya dengan atribut keshalihan agama dan sosial. Sebab, itu perilaku bohong, berpura-pura shalih/shalihah, lantas menghiba untuk dikasihani. Padahal itu semu lantaran atribut tersebut tidak biasa dipakai dalam kehidupan sehari-harinya.

Atribut Agama Sebagai Alat Manipulasi Kejahatan

Pada dasarnya, merupakan hak bagi para tersangka atau terdakwa untuk mengenakan pakaian tambahan selain pakaian resmi tahanan (biasanya berupa baju atau rompi tahanan). Hanya disayangkan, tindakan mengubah penampilan menjadi religius yang banyak dilakukan terdakwa sebenarnya hanya untuk mendapatkan citra baik hingga memanipulasi kesan dan menggiring opini publik agar tidak mendapat hujatan, bahkan mencoba mencari banyak dukungan dari publik. Atau justru bagian dari upaya playing victim?

Padahal atribut yang dikenakan terdakwa pada dasarnya tidak mempengaruhi proses persidangan, terlebih tata cara berpakaian terdakwa saat menghadiri persidangan tidak diatur secara spesifik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tentunya hakim tidak boleh terkecoh dengan penampilan semu dan tidak signifikannya gaya berpakaian itu dipakai sebagai alasan demi meringankan hukuman yang akan dijatuhkan dengan alasan telah berperilaku sopan.

Sebenarnya Jaksa Agung ST Burhanuddin pernah mengeluarkan pernyataan larangan agar terdakwa tidak memakai atribut keagamaan tertentu jika memang kesehariannya tidak memakainya. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan pemikiran masyarakat yang menganggap atribut keagamaan hanya digunakan oleh pelaku kejahatan pada saat-saat tertentu saja. Sebagaimana penampilan Jaksa Pinangki. Dalam kehidupan keseharian tidak memakai hijab, jadi mestinya terkesan aneh ketika menjalani sidang di Pengadilan Negeri tetiba berhijab syar'i.

Jika ditelisik, fenomena absurd ini tidaklah terlalu mengherankan. Dalam didikan sistem sekularisme kapitalistik liberalistik yang abai agama dan menganut prinsip kebebasan, manusia tak lagi berhitung nilai spiritual dan moral. Mereka berperilaku atas asas manfaat. Ketika bermanfaat akan dilakukan, pun sebaliknya. 

Kala mengenakan atribut agama Islam memberikan manfaat bagi pembentukan citra baiknya, maka dipakailah. Namun jika penggunaannya justru menguatkan stigma radikal sebagaimana gembar-gembor rezim saat ini atau kebijakan pelarangan cadar dan jenggot oleh Menteri Agama Fachrul Razi beberapa waktu lalu, maka akan dihindari.

Dengan demikian, fenomena penggunaan atribut agama Islam oleh tersangka atau terdakwa dalam persidangan selama ini tak lebih sebagai upaya memanipulasi kesan publik agar nampak shalih/shalihah. Alangkah baiknya jika pemakaian hijab tak hanya saat di ruang sidang atau dalam tahanan. Namun selepas bebas dari bui tetap berhijab sebagai salah satu tanda bertobat dari kejahatan yang pernah dilakukan, menjadi pribadi lebih baik, dan bukti ketaatan pada perintah Allah SWT untuk menutup aurat.

Dampak Penggunaan Atribut Agama oleh Pelaku Kejahatan terhadap Citra Agama Islam

Atribut keagamaan itu termasuk dalam nomenklatur agama, jadi tidak terpisahkan. Melecehkan atribut agama sama halnya berbuat penistaan agama. Buka tutup hijab yang merupakan salah satu atribut agama Islam (lebih tepatnya syariat Islam dalam berpakaian), sejatinya dapat dinilai menistakannya karena terkesan membuat mainan atribut tersebut. 

Tindakan main-main terdapat atribut agama ini akan memberikan dampak buruk bagi citra agama Islam, yaitu: 

Pertama, menggulirkan opini negatif bahwa Muslim sebagai penjahat. 

Terdakwa atau tersangka yang hadir dalam persidangan dengan penampilan islami akan memberikan kesan bahwa dia Muslim, bahkan Muslim shalih. Pun memberikan opini negatif bahwa banyak Muslim sebagai pelaku kejahatan. 

Kedua, mengesankan Islam sebagai ajaran yang melegalkan kejahatan. 

Banyaknya penjahat berpakaian atau berpenampilan islami seolah mengesankan bahwa Islam melegalisasi terhadap kejahatan yang dilakukan pemeluknya. 

Ketiga, masyarakat menganggap atribut keagamaan hanya digunakan oleh pelaku kejahatan pada waktu tertentu saja.

Ada kesan atribut keagamaan hanya layak dipakai saat di persidangan, sedangkan di luar sidang boleh atau bebas mengenakan busana/atribut apa pun.
  
Demikian beberapa dampak negatif dari tidak konsistennya pelaku kejahatan beratribut islami saat dalam persidangan atau tahanan dan di luar keduanya. Mestinya jika pemerintahan berdasar syariat Islam yang bersangkutan dapat dikenai sanksi. Tapi karena negara ini berasas sekularisme,  perbuatan tersebut tidak bisa dijerat dengan pasal 156 atau 156a KUHP terkait penistaan agama.

Strategi Pengaturan Penggunaan Pakaian Pelaku Kejahatan ketika Menjalani Pemeriksaan oleh APH yang Tidak Menimbulkan Stigma Negatif terhadap Agama Islam

Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin beberapa waktu lalu yang  melarang terdakwa menggunakan atribut keagamaan yang sebelumnya tak pernah dipakai di persidangan, mengundang pro-kontra. Suara dukungan datang antara lain dari Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni. 

Sementara pihak yang menolak larangan ini adalah anggota Komisi III DPR RI, Desmond Junaidi Mahesa (politikus Partai Gerindra), Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam, serta Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PBNU, Imron Rosyadi. 

Adapun menurut kami, ada beberapa strategi pengaturan penggunaan pakaian pelaku kejahatan ketika menjalani pemeriksaan oleh aparat penegak hukum (APH) yang tidak menimbulkan stigma negatif terhadap agama Islam yaitu: 

Pertama, APH memastikan keberadaan semua aturan di ruang sidang yang mendukung pada berjalannya sistem peradilan secara independen.

Termasuk memastikan apakah penggunaan atribut agama terbukti mempengaruhi hakim maupun jaksa dalam mengambil keputusan. Problem utama yang harus dibuktikan adalah mekanisme peradilan itu terpengaruh atau tidak dengan adanya simbol agama.

Kedua, APH memiliki parameter jelas soal tingkat gangguan yang diakibatkan atribut keagamaan. 

Bila larangan penggunaan atribut keagamaan dimaksudkan agar tidak menganggu persidangan, tentu alasan tersebut tidak memiliki dasar yang jelas. Jangan gegara seorang Muslimah berhijab yang menjadi terdakwa, lalu dikatakan mengganggu jalannya sidang. 

Ketiga, APH memahami bahwa cara berpakaian merupakan hak individual berdasarkan keyakinan agamanya masing-masing.

Bila terdakwa atau tersangka hadir dalam persidangan mengenakan pakaian islami seperti hijab dan dia seorang Muslimah maka APH tidak bisa melarangnya. Sebab hal itu menjadi haknya untuk berpakaian sesuai tuntunan agamanya. Adapun jika ia bermaksud berhijab demi pencitraan atau manipulasi, maka itu menjadi urusannya dengan Allah SWT. 

Keempat, APH mempertimbangkan aspek psikologis terdakwa/tersangka. 

Selama menjalani proses hukum, bisa saja terdakwa merasakan penyesalan mendalam lantas ia mengekspresikan pertobatannya dengan menggunakan atribut agama.

Kelima, APH melakukan edukasi terkait penggunaan atribut agama (Islam) kepada terdakwa/tersangka.

Sebagai upaya edukasi sekaligus bernilai amar makruf nahi mungkar, alangkah baiknya jika APH mengingatkan kepada pelaku kejahatan bahwa penggunaan atribut agama, misalnya hijab, tak hanya dikenakan saat persidangan. Sebagai bagian dari syariat Islam, hendaknya pengamalannya dilakukan secara terus-menerus, baik di persidangan, tahanan, dan nanti ketika telah bebas. 

Demikian beberapa strategi yang bisa dilaksanakan. Diharapkan upaya ini memberikan kebaikan bagi semua pihak, yaitu untuk APH, terdakwa/tersangka, maupun masyarakat yang mengikuti proses hukum tersebut. Selain itu, akan meminimalisir terjadinya stigma negatif terhadap agama Islam dan kaum Muslim.


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar