Beginilah Bahaya Serius dalam Nilai Tukar terhadap Pinjaman Luar Negeri

TintaSiyasi.com -- Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Salamuddin Daeng membeberkan bahaya serius dalam nilai tukar terhadap pinjaman luar negeri. 

"Saat arus pinjaman luar negeri sudah negatif maka siap siaplah nilai tukar akan memburuk," ungkapnya kepada TintaSiyasi.com,_ Senin (19/9/2022)

Ia menanyakan, Apakah ada yang diuntungkan. Maka jawabannya selalu ada. "Lihatlah cadangan devisa melemah pada saat harga komoditas tinggi. Berarti ada yang menyimpan uang hasil ekspornya dalam mata uang asing dalam jumlah besar," jawabnya

Ia meyakinkan, mereka akan menunggu kejatuhan rupiah untuk mengambil alih semuanya di dalam negeri, termasuk membeli kepala pemerintahan. Semua bahaya yang akan dihadapi oleh pemerintahan sekarang dan ke depan.

"Semuanya berawal dari penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara yang memang didesain untuk menguntungkan segelintir orang dan menjadikan negara sebagai bancakan oligarki nasional kolaborator bandit internasional," yakinnya.

Kemudian ia memaparkan alurnya bahwa masih tinginya Pinjaman Luar Negeri (PLN) merupakan instrumen utang yang lebih dulu dimanfaatkan Pemerintah untuk membiayai defisit APBN. Sejalan dengan usaha pemerintah untuk semakin meningkatkan peran investor domestik melalui penerbitan SBN dan mengurangi ketergantungan terhadap sumber pembiayaan luar negeri. 

"Masalahnya adalah pinjaman luar negeri terus mengalami penurunan secara relatif terhadap total utang. Namun demikian, peran penting pinjaman luar negeri tidak dapat dipungkiri dalam mendukung pendanaan proyek terutama proyek infrastruktur. Realisasi penarikan pinjaman tunai dalam periode 2018-2021 rata-rata mencapai target sebagaimana yang direncanakan dalam APBN," paparnya.

Menurutnya, realisasi tertinggi pinjaman tunai terjadi pada tahun 2020 saat Pemerintah menarik pinjaman tunai senilai 6,9  miliar dolar, yang antara lain bersumber dari World Bank sebesar ekuivalen 1,2 miliar dolar dan Asian Development Bank (ADB) sebesar ekuivalen 1,6 miliar dolar. 

"Penarikan pinjaman tunai pada tahun 2020 juga melebihi target karena adanya tambahan penarikan pinjaman program sampai dengan Rp102.25, triliun atau 473,4 persen dari APBN sebagai bagian strategi pemerintah dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional," katanya.

Ia melanjutkan, secara bruto, realisasi penarikan Pinjaman Luar Negeri periode tahun 2018-2022 rata-rata mencapai 186,7 persen dari target penarikan dalam APBN. 

"Di samping melakukan penarikan pinjaman luar negeri, Pemerintah juga melakukan kewajiban pembayaran cicilan pokok PLN sesuai dengan jadwal jatuh tempo," imbuhnya.

Ia mengungkapkan, bahayanya adalah perkembangan realisasi pembayaran cicilan pokok PLN terutama dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan jadwal pembayaran pinjaman jatuh tempo.

"Penarikan pinjaman tunai dalam mata uang asing tahun 2023 direncanakan sebesar 2,0 miliar dolar atau ekuivalen Rp29.5, triliun. Sementara itu, untuk tahun 2024-2027 penarikan pinjaman tunai dalam mata uang asing direncanakan sebesar 2,0 miliar dolar atau ekuivalen dengan Rp28.9 triliun. 

"Target penarikan pinjaman program tersebut dapat disesuaikan dengan mempertimbangkan kondisi pasar SBN, kapasitas mitra pembangunan multilateral dan bilateral, serta kesiapan pemenuhan policy matrix. Angka ini mengecil, karena kapasitas Indonesia tidak layak lagi dapat pinjaman," ungkapnya.

Ia menjelaskan, akibat aliran uang Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang masih Negatif. PLN (neto) dalam RAPBN tahun anggaran 2023 direncanakan sebesar negatif Rp17.37 triliun, yang terdiri atas penarikan PLN (bruto) sebesar Rp62.05 triliun. Sementara pembayaran cicilan pokok PLN sebesar negatif Rp79.42 triliun. 

"Ingat ini sudah negatif, akan ada bahaya besar dalam nilai tukar, memang ini desainnya, gak bakal bisa ditahan," tuturnya.

Ia menyimpulkan, dengan demikian, penarikan PLN (neto) RAPBN tahun anggaran 2023 lebih rendah jika dibandingkan dengan target outlook APBN tahun 2022 sebesar Rp44.401,1 miliar terutama disebabkan oleh lebih rendahnya rencana penarikan pinjaman tunai.

"Perhatikan, sebenarnya ini logika dibuat-buat, yang terjadi ada, tidak mungkin lagi menarik pinjaman luar negeri karena geopolitik, dan situasi politik nasional yang tidak lagi baik bagi investor," terangnya.

Ia menjelaskan, dari sisi mata uang, cicilan pokok PLN jatuh tempo tahun 2023 akan dibayarkan terutama dalam mata uang dolar Amerika Serikat, yen Jepang, dan Euro. Sedangkan dari sisi kreditur terbesar, cicilan pokok PLN jatuh tempo tahun 2023 akan dibayarkan kepada kreditur bilateral seperti Jepang, Jerman, dan Korea Selatan, serta kreditur multilateral seperti ADB dan World Bank.

"Intinya adalah negatif cash flow akan membahayakan nilai tukar. Pemerintah tidak pernah fokus pada perbaikan nilai tukar," sesalnya.

Ia mengingatkan bahwa sepanjang era reformasi yang terjadi adalah pelemahan ekonomi Indonesia melalui perlahan nilai tukar secara rapi dan sistematis. Pergantian pemerintahan. SBY ke Jokowi Indonesia kehilangan separuh dari daya nilai tukar mata uangnya. Sekarang transisi pemerintahan tampak akan kehilangan separuh lagi.

"Jadi, kurs ini bisa jadi diproyeksikan berada pada Rp. 25 ribu sampai 30 ribu per USD. Jadi apa kira kira men?" pungkasnya.[] Nabila Zidane

Posting Komentar

0 Komentar