TintaSiyasi.com -- Menanggapi nasib proyek kereta cepat Jakarta-Bandung setelah keputusan pemerintah Cina meminta Indonesia menanggung kelebihan beban biaya pembangunannya, Direktur Indonesia Justice Monitor mengatakan maju kena mundur kena.
"Pembangunan
kereta cepat Jakarta-Bandung seperti judul film Warkop Maju Kena Mundur Kena,
serba sulit. Sebab, bila dilanjutkan akan membebani APBN. Apabila mundur pun
tidak mungkin karena konstruksi fisik sudah terlanjur dikerjakan,"
bebernya dalam video pendek berjudul Proyek Kereta Cepat Membebani Rakyat,
yang diunggah di YouTube Aspirasi News, Rabu (03/08/2022).
Menurutnya,
biaya kereta cepat membengkak itu beban tersendiri, beban berikutnya datang
dari Wakil Menteri BUMN yang mengusulkan utang 75 persen dari Cina.
"Wakil Menteri
BUMN Kartika Wirjoatmodjo kini tengah mendiskusikan besaran pembengkakan biaya
proyek kereta cepat Jakarta-Bandung antara 1,1 miliar US dolar sampai 1,9
miliar US dolar," ungkapnya.
"Menurut
Kartika bahwa dalam pembahasan di Beijing kita mengusulkan proporsi tetap 25/75
pinjaman CDB (China Development Bank). Dari 25 persen tersebut, 65 persennya
adalah porsi inkuitas konsorsium Indonesia," terangnya.
Sekarang,
lanjut Agung, proyek itu secara bertahap telah diaudit Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Membangun
fasilitas untuk mempermudah masyarakat dalam hal transportasi, menurut Agung
adalah suatu yang tidak salah. Tetapi jika hal itu dilakukan di tengah kondisi
ekonomi rakyat masih sulit, ditambah lagi negara berada dalam posisi banyak
hutang, maka membangun fasilitas kereta cepat tersebut tidaklah tepat.
"Apalagi anggaran APBN negara selalu berada dalam keadaan defisit,"
paparnya.
Dalam
perencanaan sebuah proyek, tegas Agung, hendaknya penguasa melakukan
perhitungan yang akurat tentang apakah proyek tersebut benar-benar dibutuhkan
ataukah tidak.
"Jika
memang proyek itu dibutuhkan, apakah harus diprioritaskan ataukah bisa ditunda?
Kesalahan prioritas dalam mengambil kebijakan ini menandakan bahwa pemerintah
tidak bisa mengurusi rakyatnya. Negara gamang dalam memilih dan memilah mana
yang paling diutamakan, sebab negara terlanjur terjebak dalam lubang penjajahan
kapitalisme. Sumber daya alam dikeruk oleh asing, utang makin membumbung, tentu
kehadiran proyek ini malah menambah beban negara," tandasnya.
Kritik
Agung
mengkritisi, pada era Kabinet Kerja sebenarnya sudah mendapatkan tantangan
banyak kalangan yang menilai proyek itu tidak penting, karena Jakarta-Bandung
relatif dekat.
"Sejumlah
pihak juga berpendapat bahwa keberadaan kereta cepat belum menjadi kebutuhan
mendesak bagi warga Bandung dan Purwakarta, begitu pula bagi warga
Jakarta," imbuh dia.
Sejak proyek
kereta cepat dimulai tahun 2016 lalu, menurut dia, berbagai masalah kerap
muncul. Muncul dugaan sebagian pihak, adanya kasus pencurian besi, pembebasan
lahan, dan beralihnya anggaran. Hal itu seolah membuktikan bahwa kritik publik
selama ini benar adanya.
"Proyek
ini terkesan terburu-buru dan berorientasi kepada kebijakan politik dibanding
kemaslahatan publik," cetusnya.
Menurut dia,
dugaan kasus itu sebenarnya cukup beralasan bagi pemerintah untuk berpikir
ulang terkait proyek bergengsi tersebut. Pasalnya kereta cepat saat ini
bukanlah kebutuhan mendesak bagi rakyat di tengah problem ekonomi yang tak
kunjung usai.
"Maka
prioritas utama yang harus lebih didahulukan yaitu pemenuhan kebutuhan pokok
rakyat meliputi pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan ekonomi. Bukan malah nomboki
para pemodal dari pada rakyatnya sendiri. Lagi pula berapa persen rakyat yang
bisa memanfaatkan fasilitas kereta cepat tersebut?" tegasnya.
Saat ini,
paparnya, sejumlah negara juga mengkaji kembali proyek infrastrukturnya di
tengah dan pascapandemi.
"Hal
ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan utang pembangunan infrastruktur
mereka. Misalnya, Malaysia, Myanmar dan Pakistan," imbuhnya.
Salah Urus
Kasus
pembangunan kereta cepat yang dinilai lambat, dinilai oleh Agung merupakan satu
gambaran kepengurusan rakyat dalam sistem kapitalis saat ini.
"Konsep
pembangunan yang bernuansa kapitalistik tentu akan merugikan kepentingan
umat," jelas Agung.
Agung
berpesan, jangan sampai rakyat dijadikan bamper untuk memenangkan kepentingan
para pemilik modal. Jangan sampai ada janji-janji manis yang mengatasnamakan
rakyat, namun ternyata ujung-ujungnya tetap berpihak untuk kepentingan para
pemilik modal.
"Berbeda
dengan Islam, sebuah sistem kehidupan yang paripurna, Islam juga mengatur
masalah pembangunan infrastruktur," bebernya.
Negara Islam
yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, menurut Agung, sangat melarang
pembangunan ala kapitalis. Negara tidak boleh meraup keuntungan dari
pembangunan sarana umum, karena hal itu adalah kewajiban negara.
"Tugas
pemimpin termasuk lembaga negara adalah mengurusi kebutuhan rakyatnya. Dengan demikian
mereka akan melakukan semuanya dengan hati-hati dan matang. Mereka paham setiap
pengeluaran dan pengambilan kebijakan akan ada pertanggungjawabannya kelak di
akhirat," pungkasnya.[] Heni
0 Komentar