'Kembalikan Standar Seragam Sekolah Negeri Kayak Dulu': Itu Kemunduran dan Islamofobia


TintaSiyasi.com -- Isu terkait Islam mengapa laris bak gorengan? Seruan “Kembalikan Standar Seragam Sekolah Negeri Kayak Dulu” trending di Twitter. Hal ini merespons kasus seorang siswi Kelas X SMAN 1 Banguntapan, Bantul, DIY yang mengaku depresi dipaksa berjilbab saat masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS), Senin (18/7/2022). Seruan dalam poster yang mendapat ribuan retweet dan belasan ribu likes itu bermaksud mengembalikan kebebasan berseragam sekolah, namun tetap sesuai peraturan (viva.co.id, 2/8/2022).

Heboh. Suasana ini tertangkap pasca terkuaknya kasus dugaan pemaksaan seragam jilbab di hadapan publik. Nampak menjadi ‘santapan lezat’ media, baik lokal maupun nasional lebih dari dua pekan. Mayoritas pemberitaan memberikan framing negatif atas pemaksaan guru terhadap siswinya hingga penonjolan depresi sang siswi sebagai akibat pemaksaan tersebut.  

Berbagai kalangan pun sontak memberikan reaksi atas ‘gorengan panas’ ini. Setara Institute mendesak Kemdikbudristek memberi efek jera terhadap sekolah yang terlibat pemaksaan, Ketua Komisi A DPRD DIY minta kepala sekolah dan oknum guru dinonaktifkan, hingga tindakan Gubernur DIY membebastugaskan kepala sekolah dan tiga guru terkait.   

Kasus ini mengingatkan publik terhadap kasus serupa pada Januari 2021, saat seorang siswi non-Muslim di SMKN 2 Padang merasa dipaksa pihak sekolah mengenakan jilbab. Hal ini juga menuai polemik dan reaksi cepat beberapa pihak, dari Komnas HAM hingga Mendikbud. Bahkan memicu terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah yang memuat ide moderasi dan toleransi.

Diakui atau tidak, aroma islamofobia tercium kuat di balik seruan kembalikan seragam sekolah seperti dulu. Kaum sekuler liberal meminta siswa SD-SMP kembali bercelana pendek dan siswi SD-SMP memakai rok selutut kecuali yang berjilbab. Aneh, urusan celana pun dianggap islamisasi oleh mereka. Pun opini pegiat medsos seperti Guntur Romli dan Saidiman yang sinis mengaitkan kasus ini dengan tindakan orang tua memakaikan kerudung bagi balita, sembari membandingkannya dengan orang Arab yang tidak semua berhijab dalam keseharian. 

Bila ada guru meminta siswi Muslimah berhijab atau ibu yang membiasakan anak berkerudung sejak dini, salahnya di mana? Bukankah ini sesuai dengan kewajiban amar makruf nahi mungkar demi memenuhi perintah Allah SWT agar Muslimah menutup aurat? Pun dari sisi nilai kesopanan, tak menyalahi budaya ketimuran. Bahkan ibrahnya, generasi akan terjaga kehormatan, terbina rasa malu, dan terjaga pandangannya.
 
Serangan Opini terhadap Seragam Sekolah Berhijab, Wujud Islamofobia

Seruan agar kembali ke seragam sekolah seperti dulu, tidak berjilbab bagi siswi Muslimah, merupakan kemunduran dan bentuk islamofobia akut. Islamofobia bukanlah fenomena baru, namun ia memiliki akar historis sejak abad pertengahan. Perang Salib I telah menanamkan benih islamofobia. Islam digambarkan sebagai aliran sesat, Muslim dicitrakan sebagai manusia bar-bar nan kejam. Penggambaran ini menggiring umat Kristen di Barat untuk melakukan perang Salib I hingga tanah Palestina jatuh ke tangan mereka.

Islamofobia lahir dari kebencian Barat terhadap Islam. Pandangan hidup Barat adalah ideologi kapitalisme sekularistik yang secara diametral bertentangan dengan ideologi Islam. Lebih jauh, ideologi Islam menjadi musuhnya. Hingga kini, mereka sangat khawatir akan kebangkitan Islam. Diduga, mereka terus menciptakan narasi kebencian terhadap Islam. Dan ini marak terjadi di negeri kaum Muslim, khususnya yang mengekor pada Barat.

Kini islamofobia kian terstruktur dan masif karena secara global kapitalisme nyaris tumbang. Di sisi lain, agama Islam terus berkembang sebab sesuai fitrah manusia. Jadilah islamofobia narasi yang diciptakan untuk menyerang Islam dengan harapan orang membenci dan memusuhi Islam. Lebih jauh, islamofobia juga mengakibatkan tidak konsistennya si pelaku terhadap konstitusi dan UU HAM yang dibuat oleh kalangan mereka sendiri, bahwa warga negara berhak untuk memeluk agama dan menjalankannya sesuai keyakinannya. 

Negara dalam hal ini pemerintah semestinya mampu memenuhi kewajiban untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fullfil), dan melindungi (to protect) HAM terkait hak menjalankan keyakinan agama seluruh warga negara, termasuk warga sekolah. Jangan karena hendak menghormati HAM sekelompok orang, lalu merasa sah melanggar HAM kelompok lainnya. 

Maka, negara tidak boleh main ancam terhadap pihak yang diduga memaksa penggunaan seragam sekolah berhijab dengan pengutamaan pemberian sanksi. Namun utamakan aspek pembinaan, bukan pembinasaan. Terlebih, tindakan guru tersebut dimaksudkan untuk mengedukasi siswi tentang kewajiban menutup aurat bagi seorang Muslimah. Oleh karena itu, jadilah negara benevolen (pemurah), bukan negara (pemerintah) yang berwatak bengis terhadap warganya. 

Perlu ditegaskan terkait seragam dan atribut khusus keagamaan, bahwa hijab bagi seorang (siswi) Muslimah bukanlah atribut, melainkan syariat Islam dalam berbusana. Jadi, peraturan seragam sekolah tidak boleh meninggalkan syariat berbusana Muslim sehingga tidak menanggalkan penutup aurat. 

Lantas bagaimana dengan SKB Tiga Menteri tentang Seragam Sekolah yang menimbulkan kegaduhan baru di tengah masyarakat? SKB itu adalah Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Menteri Dalam Negeri RI dan Menteri Agama RI Nomor: 02/KB/2021, Nomor: 025-199 Tahun 2021 dan Nomor: 219 Tahun 2021 tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. 

Jika kita cermati, SKB Tiga Menteri tentang seragam moderat sekolah, sebenarnya tidak ada kata larangan berseragam khusus (jilbab). Yang ada adalah ketentuan yang melarang Pemda atau sekolah untuk mewajibkan atau melarang peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berseragam dan beratribut khusus terkait agama tertentu. 

Berdasar diktum pertama dan kedua SKB ini, ketentuan seragam sekolah sebenarnya diserahkan kepada sekolah sendiri, apakah mau berseragam dan beratribut tanpa kekhasan agama tertentu (misal siswi boleh tanpa hijab (kerudung dan jilbab) atau dengan kekhasan agama tertentu (misal siswi harus pakai hijab (kerudung dan jilbab). 

Bila sekolah sudah memilih jenis seragam melalui keputusan bersama yang melibatkan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah tersebut, maka sekolah dapat membuat peraturan sesuai kesepakatan tersebut dan semua warga sekolah wajib mematuhi aturan tanpa merasa dilanggar hak asasinya. Akhirnya, sekolah tetap bisa mewajibkan seluruh warganya untuk berseragam dan beratribut sesuai pilihannya.  

Jika sudah memilih berseragam dan beratribut keagamaan tertentu, maka wajib hukumnya semua warga sekolah untuk mematuhi ketentuan seragam dan atribut keagamaan tersebut. Jadi tidak ada pilihan lagi untuk tidak memakai seragam dan atribut khusus keagamaan. Sebaliknya, jika memilih untuk membebaskan warga sekolah dari seragam dan atribut keagamaan, maka sekolah tidak boleh membuat peraturan yang mewajibkan warganya untuk memakai seragam dan atribut khusus keagamaan.  

Kesimpulannya, sekolah berhak memilih jenis seragam apa yang ‘dimaui’ oleh warganya. SKB tidak melarang dan mewajibkannya. Ini yang kami katakan sebagai SKB seragam moderat. Intinya: SSS, Suka-Suka Sekolah. Kemoderatan inilah yang dikhawatirkan sebagian kalangan umat Islam berpotensi menggerus ketaatan generasi Muslim pada perintah Allah SWT. 

Waketum MUI, Buya Anwar Abbas memandang, negara dalam hal ini pihak sekolah seharusnya tidak membebaskan siswanya untuk memilih. Hendaknya mereka mewajibkan anak didik berpakaian sesuai ajaran agama dan keyakinannya masing-masing, sehingga tujuan sistem pendidikan nasional menjadikan peserta didik menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, dan seterusnya, dapat tercapai. Menurutnya, sesuai isi Pasal 29 Ayat 1 dan 2 UUD 1945, negara harus bisa menjadikan agama sebagai kaidah penuntun kehidupan termasuk di dunia pendidikan. 

Alih-alih menjadi solusi, keberadaan SKB Tiga Menteri masih menyisakan sejumlah polemik. Moderasi dan toleransi yang menjadi spirit kehadirannya pun tak lepas dari aroma islamofobia. Karena moderasi beragama adalah bagian dari program antiradikalisme yang digulirkan sebagai perwujudan islamofobia. Tak hanya islamofobia, sikap ini mengarah pada hijabfobia.  

Dampak Islamofobia terhadap Pemenuhan Hak Peserta Didik dan Pendidik Muslim dalam Berseragam Sekolah

Sungguh ironis, virus islamofobia zaman now justru diidap oleh kaum Muslim dari kalangan intelektual. Mungkin akibat cacat intelektual karena telah sedemikian lama terpapar virus ayat-ayat setan ala sekularisme liberalistik atau terkena penyakit hati yang bersemayam dalam jiwanya. 

Kaum kafir membenci ajaran Islam adalah wajar. Namun jika kaum Muslim membenci, takut, dan memusuhi ajaran Islam, ini adalah gejala tidak normal. Dalam konteks penyakit kejiwaan, yang salah bukanlah Islam namun ketakutan, halusinasi, dan kecemasan berlebihan terhadap Islam. Psikoabnormal islamofobia adalah kebodohan akut masyarakat modern yang tidak rasional. 

Meskipun resolusi PBB telah merilis Hari Antiislamofobia, namun tindakan sebagian kalangan di negeri ini masih mencerminkan watak islamofobia, termasuk dalam merespons seragam sekolah berhijab bagi siswi Muslimah. Adapun dampak islamofobia terhadap pemenuhan hak peserta didik dan pendidik muslim dalam penggunaan seragam sekolah antara lain:

1. Tidak leluasa menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT. 

Guru yang meminta atau mempersuasi siswi Muslimah agar berjilbab sebagai penunaian kewajiban amar makruf nahi mungkar akan dicap memaksakan kehendak, menyalahi HAM, dan intoleran. Demikian pula yang terjadi pada kasus pelarangan siswi berhijab di wilayah minoritas Muslim. Sebagai minoritas diharuskan tunduk pada kemauan mayoritas di wilayah tersebut. Sementara Muslim sebagai mayoritas negeri ini juga diperlakukan laksana minoritas. Ajarannya dipinggirkan. 

2. Enggan berhijab karena khawatir dicap negatif: fanatik, radikal, ekstrem. 

Opini negatif yang terus digulirkan terhadap Muslim taat dan pejuang Islam kaffah sebagai manusia radikal dan ekstrem, membuat sebagian Muslim memilih berislam ‘biasa saja’ alias mencukupkan diri melaksanakan Islam sebatas ibadah dan ajaran ritual lainnya. Adapun berpenampilan islami seperti berhijab, berjenggot, celana cingkrang akan dihindari. 

3. Memupus ketaatan terhadap perintah Allah SWT. 

Kekhawatiran dan keengganan menjalankan perintah Allah SWT dalam berpakaian, lambat laun akan berimbas pada kemalasan penunaian aturan lainnya. Akumulasi dari semua ini adalah ia akan kehilangan ketaatan pada Allah SWT hingga mudah bermaksiat. 

4. Gaya berpakaian ala kaum liberal kian eksis. 

Keberhasilan islamofobia akan mengeksiskan gaya berpakaian yang cenderung mengikuti tren alias mode kekinian yang serba bebas dan terbuka sesuai arahan kaum kuffar Barat yang tengah berkuasa di dunia saat ini. 

5. Polarisasi dalam tubuh umat Islam. 

Yang termakan narasi islamofobia akan merasa takut/khawatir terhadap ajaran hingga simbol Islam. Di sisi lain, ada kelompok yang ditakuti karena keberhasilan narasi tadi yang biasanya dilabeli dengan sebutan radikal, ekstrem, teroris. Istilah-istilah ‘asing’ seperti Islam garis keras, radikal, teroris, ekstrem, yang diversuskan dengan Islam moderat, liberal, dan seterusnya, adalah bagian proyek imperialisme epistemologis penjajah Barat di dunia Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslimin terpecah-belah dengan saling melontarkan tuduhan satu sama lain.  

6. Menyulut konflik vertikal dan horizontal.

Umat Islam yang telah terbelah (terpolarisasi) akan mudah terpantik konflik. Baik konflik sesama anak bangsa, maupun antara penguasa kaki tangan Barat dengan umat Muslim yang enggan tunduk aturan Barat.

7. Umat Islam kian jauh dari syariat Islam kaffah. 

Saat sebagian umat Islam percaya bahwa yang berpegang teguh pada ajaran Islam (termasuk dalam hal berpakaian) adalah radikal, teroris, ini akan membuat mereka enggan berdekatan dengan syariat dan pejuangnya. Padahal merugilah seseorang jika ia menjauhkan diri dari syariat kaffah. 

Demikianlah dampak buruk bila islamofobia terus terjadi. Tak hanya mengurangi keleluasaan dalam berseragam sekolah sesuai syariat, juga bisa berdampak pada aspek lainnya. Maka umat Islam mesti waspada dan berupaya meminimalisasi bahaya yang ditimbulkannya.
  
Strategi Pengaturan Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Muslim yang Sesuai Syariat Islam dan Kebijakan Pemerintah

Mencermati framing pemaksaan seragam jilbab di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, DIY, isu intoleransi di balik polemik seragam jilbab di Padang, hingga SKB seragam moderat, terkesan pemerintah bersikap hipokrit dalam hal ini. Gejalanya antara lain: 

1. Pejabat publik bersama lembaga lain gercep memberikan respons dan tindakan. Padahal masih banyak kasus pelanggaran HAM yang dialami rakyat dalam kasus lain. 

2. Kurang hadirnya pemerintah dalam kasus pelarangan siswi berhijab. Kasus pelarangan siswi berhijab di Manokwari dan Bali beberapa waktu lalu tidak dihebohkan sebagai intoleransi dan pelanggaran HAM. 

3. Diamnya pemerintah terhadap banyaknya pemakaian busana asusila yaitu yang melanggar norma hingga mengundang syahwat. Patut dipertanyakan peran negara dalam melindungi generasi bangsa. 

4. Pengguliran narasi melanggar HAM dan intoleransi atas permasalahan seragam jilbab. Narasi ini berstandar ganda. Umat Islam yang dilarang menjalankan aturan agamanya tidak dibela dengan isu HAM dan toleransi. Giliran umat Islam ingin menaati aturan-Nya dicap melanggar HAM dan intoleran.

Realitas ini menjadi sebuah ironi bagi umat Islam. Mayoritas namun rasa minoritas. Kebebasan menjalankan syariat sesuai keyakinan agamanya tak serta-merta terpenuhi. Maka penting dipikirkan strategi pengaturan seragam sekolah bagi peserta didik Muslim yang sesuai syariat Islam dan kebijakan pemerintah yaitu:

1. Pemerintah memahami keberadaan umat Islam sebagai mayoritas penduduk di negeri ini yang memiliki kewajiban sekaligus hak menunaikan perintah agamanya. Semestinya hal ini bisa diakomodir dan difasilitasi melalui kebijakan negara. Termasuk penunaian kewajiban berhijab termasuk di sekolah-sekolah. 

2. Pemerintah harus menghormati umat Islam sebagaimana pemeluk agama lainnya dalam menjalankan ajarannya tanpa takut secara berlebihan akan merongrong kekuasaan pemerintah (negara). 

3. Pemerintah satu nafas bersama umat Islam melawan ideologi yang merusak bangsa ini. Jika yang terjadi adalah pemerintah menderita islamofobia, maka dapat kita tanyakan apa bedanya antara pemerintah dengan penjajah? 

4. Ketika terjadi indikasi radikalisme dan ektremisme yang dinilai pemerintah berbahaya, lebih baik pemerintah melakukan dialog dengan para pihak terkait. Bukan menggebuk tetapi memeluk. 

5. Pemerintah harus berusaha untuk meminimalisir potensi adu domba yang berbasis islamofobia. Karena baik secara vertikal maupun secara horisontal hanya akan menguntungkan penjajah dan sekaligus merugikan interaksi antara pemerintah dengan warga negara maupun sesama warga negara. 

6. Pemerintah harus mampu menjamin sekolah-sekolah yang di bawah Pemda yang mewajibkan muridnya memakai seragam dan atribut dengan kekhususan tidak akan dibubarkan. Pun guru dan kepala sekolahnya tidak dikenai sanksi. Hindari penyebutan sekolah itu sebagai sekolah radikal dan warganya distempeli ekstremis. 

Andai upaya-upaya di atas tidak terjadi, akan memungkinkan terbentuknya situasi kontradiktif dengan status Indonesia sebagai religious nation state serta tujuan pendidikan nasional dalam menciptakan peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Namun, selama pelaksanaan sistem pemerintahan masih terbingkai dengan demokrasi, akankah upaya di atas bisa optimal dilakukan? 

Demokrasi sekularistik akan menolak upaya pengintegrasian ajaran agama Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu tak sesuai dengan misinya menjauhkan manusia dari pengamalan nilai-nilai Tuhannya. Oleh karena itu, upaya menerapkan ajaran Islam mesti disertai dengan perubahan sistem kehidupan secara mendasar. Tentunya, hanya sistem Islam yang rela seluruh aspek hidup terwarnai dengan ajaran Allah SWT.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar