TintaSiyasi.com -- Cendekiawan Muslim, Ustaz Muhammad Ismail Yusanto menjelaskan spirit tahun baru Hijriyah adalah menjadi ashabul yamin. "Kita tentu ingin menjadi bagian ashabul yamin atau jannah yakni ni'mal mashir. Jaminan bahwa kita berharap menjadi bagian ashabul yamin hanya satu, yaitu iman dan takwa yang ada di dalam dada kita ini," tuturnya dalam Tabligh Akbar Menyambut Tahun Baru 1444 H Bersama Para Ulama, Habaib, dan Asatidz di Masjid Al-Muttaqin Bogor yang disiarkan di YouTube Kalam TV, Sabtu (30/7/2022).
Menurutnya, secara substansial ada penjelasan yang sangat menarik yang diberikan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany bahwa hijrah menyelamatkan agama.
"Apabila ada harta milik kita yang paling berharga, sesungguhnya bukanlah rumah, deposito, hewan ternak, sawah ladang, dan berlian. Namun, milik kita yang paling berharga tak lain adalah agama dan takwa yang ada di dalam dada kita ini," tegasnya.
Kemudian ia bertanya, mengapa? Karena iman dan takwa inilah yang akan menentukan posisi atau derajat seseorang di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kaum Muslim tahu bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah adalah atqaahum, yaitu orang yang paling takwa di antara mereka. Dengan takwa pula lah seorang Muslim akan mendapatkan kepastian di mana posisinya di akhirat kelak.
"Hanya dua kemungkinan, jika tidak sebagai ashabul yamin berarti sebagai ashabul syimal. Kalau bukan sebagai ashabul jannah, pasti sebagai ashabunnaar," imbuhnya.
Ia menjelaskan, setiap Muslim tentu tidak ingin menjadi bagian dari ashabunnaar yaitu golongan penghuni Neraka yang disebut sebagai bi'sal mashir yakni seburuk-buruknya tempat kembali.
Ustaz Ismail Yusanto mengungkapkan, satu Muharam sebagai perhitungan awal penanggalan dalam Islam.
"Satu Muharam sebagai perhitungan awal penanggalan dalam Islam," tuturnya. Ia mengatakan bahwa Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam memerintahkan kepada umatnya untuk berhijrah sebagaimana hadis An-Nasai yang berbunyi:
عليك بالهجرةِ، فإنه لا مثلَ لها
"Hendaklah kamu berhijrah. Sesungguhnya tidak ada (kebaikan) yang setara dengan hijrah (pahalanya).”
"Setiap kali kita memasuki tahun baru Hijriyah, pasti teringat kepada momen Khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa ini adalah sebagai pembeda antara al-haq dan al-bathil," katanya.
UIY, sapaan akrabnya, menceritakan, inilah peristiwa yang menjadi titik tolak tegaknya Islam setelah 13 tahun Baginda Rasul berdakwah di Mekah dengan berbagai dinamikanya, kemudian menemukan lahan subur di Madinah Al-Munawarah.
"Bukan tanpa maksud ketika Khalifah Umar bin Khattab dan para sahabat bersepakat untuk menjadikan momen yang luar biasa ini sebagai perhitungan awal tahun baru dan mengusulkan atau mengesampingkan sejumlah usulan lainnya," lugasnya.
Kemudian ia mengisahkan, ada yang mengusulkan permulaan penanggalan Islam diawali saat lahirnya Baginda Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam, usulan ditolak karena khawatir tasyabuh atau menyerupai kaum Nasrani yang menilai perhitungan kalender mereka saat apa yang mereka yakini kelahiran Nabi Isa atau yang mereka sebut Yesus Kristus.
"Ada lagi usulan untuk menilai perhitungan Hijriyah itu saat wafatnya Baginda Rasulullah itupun ditolak karena khawatir tasyabuh dengan kaum Persia yang menggunakan momen Qisra yang penting bagi mereka," katanya.
Ia mempertanyakan, lalu untuk apa? Untuk kita supaya selalu mengenang peristiwa yang luar biasa tersebut yakni hijrahnya Baginda Rasul Salallahu alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah. "Lantas, apakah kita sekarang harus juga melakukan apa yang dilakukan oleh Baginda Nabi," tanyanya.
Ampunan
"Bersegera menuju ampunan Allah merupakan spirit tahun baru Hijriyah," katanya. Ia membacakan Al-Qur'an surah An-Nisaa ayat 97:
اِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ ظَالِمِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَالُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ ۗ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الْاَرْضِۗ قَالُوْٓا اَلَمْ تَكُنْ اَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا ۗ فَاُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ ۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًاۙ
Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat) bertanya, “Bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah).” Mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” Maka orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali.
"Dalam surah An-Nisaa tersebut dinyatakan bahwa hijrah itu wajib dalam menyelamatkan agama dari fitnah," tegasnya.
Ia mengisahkan, hijrah, itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan sahabat untuk melindungi agama dari fitnah yang dilakukan kaum Quraisy di Darun Nadwah. Dan Akhirnya beliau diperintahkan untuk hijrah ke Madinah.
"Hijrah itu ada dua, pertama, meninggalkan negeri. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk melindungi agama," lugasnya.
Kemudian ia mempertanyakan, mengapa demikian? "Di Rohingya contohnya. Nyawa, harta, dan agama rakyatnya terancam, serta mereka terpaksa harus keluar wilayah Rakhine. Padahal, mereka penduduk asli yang mendiami daerah tersebut. Namun, tidak ada jalan lain selain melalui laut dengan kapal seadanya. Mereka keluar dari wilayah tersebut untuk menghindari kezaliman," katanya.
Lanjut ia katakan, mereka selamat sampai Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Namun, tak sedikit yang tenggelam di laut. "Masyarakat Indonesia memang tidak mengalami apa yang dialami rakyat Rohingya. Namun, sebagai kaum Muslim, tentu memahami bahwa siapapun tidak akan mengetahui takdirnya, tetapi umat Islam harus berdo'a senantiasa meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wataala," sarannya.
Namun, katanya, ketika masyarakat mendapatkan tekanan sedemikian rupa, sehingga mengancam agamanya, maka di titik inilah kaum Muslim wajib berhijrah.
"Hijrah yang kedua, yaitu hijrah meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat. Hal tersebut patut diperhatikan meskipun kaum Muslim tidak punya kewajiban untuk hijrah secara fisik, tetapi sekarang harus hijrah secara non-fisik yakni meninggalkan dosa dan kemaksiatan," imbuhnya.
Ia menambahkan dengan membacakan sebuah hadis yang disampaikan oleh Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dalam riwayat Bukhari Muslim: "Seorang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah".
"Hijrah yang hanya berujung pada penyelamatan agama, iman, dan takwa. Ini adalah milik kaum Muslim yang paling berharga. Entah itu pada situasi, lingkungan atau pergaulan yang merusak iman dan takwa. Maka, di titik itu wajib bagi Muslim untuk hijrah," nasihatnya.
Maka dari itu menurutnya, wajib berhijrah meninggalkan pekerjaan yang bergelimang dengan dosa, profesi yang bergelimang dengan kemaksiatan, transaksi ribawi, dan bentuk-bentuk kemaksiatan lainnya.
Kemudian ia membacakan Al-Qur'an surah An-Nisaa ayat 100:
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً
"Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak.”
"Hadis tersebut menjadi keyakinan untuk tidak takut meninggalkan semua yang mengganggu iman dan takwa di dalam lingkungan atau pekerjaan yang ada sekarang untuk menuju pada keridaan Allah Subhanahu wataala," ucapnya.
Ia mengungkapkan, hal demikianlah yang harus senantiasa dimiliki umat Islam setiap memasuki Tahun Baru Hijriyah. Oleh karena itu, waktu yang Allah berikan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memastikan jikalau kita ini sudah on the track, yakni sudah berada di jalan Allah dalam seluruh aspek kehidupan kita.
"Baik menyangkut keyakinan akidah, makanan, minuman, muamalah, akhlak, dan semuanya sudah sesuai tuntunan yang disyariatkan oleh Allah. Maka, pertahanan dengan risiko apapun. Hal demikian merupakan taruhan di hadapan Allah Subhanahu wataala," tuturnya.
Menurutnya, jika saat ini masih menjumpai pada diri sendiri bahwa masih ada kewajiban yang belum ditunaikan, ada kemaksiatan, keharaman yang dilakukan, maka segeralah kita tinggalkan sebelum semuanya terlambat.
"Yakni ketika ajal datang. Maka, tak ada lagi peluang untuk berhijrah," tandasnya.[] Nurmilati
0 Komentar