Hukum Seputar Hakam (Juru Damai) dalam Perselisihan Suami Istri

TintaSiyasi.com -- Tanya: 

Ustaz, mohon diterangkan, siapa yang menjadi penengah (juru damai) dalam konflik antara suami dan istri?


Jawab:

Hakam adalah juru damai/penengah dalam perselisihan suami istri dalam rangka untuk mendamaikan keduanya. Hakam menjalankan perannya setelah berbagai upaya untuk mendamaikan perselisihan suami-istri tak berhasil, yaitu upaya suami menasihati istri, memisahkan diri dari istri di tempat tidurnya, dan memukul istri (dengan pukulan ringan yang tak menimbulkan bekas di badan).

Ini sesuai ketentuan QS An-Nisaa`: 34. Jadi setelah berbagai upaya itu tak berhasil, solusinya tidaklah langsung suami-istri itu bercerai, namun diupayakan lebih dulu cara berikutnya, yaitu melibatkan hakam dari keluarga suami dan hakam dari keluarga istri (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hlm. 160; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, IX/95; Abdul Fattah ‘Amar, As-Siyasah Al-Syar’iyah fi Al-Ahwal Al-Syakhshiyah, hlm. 227).

Keberadaan hakam disyariatkan dalam firman Allah SWT (artinya), “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu” (QS An-Nisaa` [4] : 35).

Hakam adalah orang yang ditetapkan oleh hakim (qadhi) dalam peradilan Islam. Jadi, hakam bukan ditetapkan sendiri oleh suami atau istri tanpa melibatkan peradilan Islam. Imam Ibnu Bathal berkata, ”Ulama sepakat bahwa mukhathab (pihak yang menjadi objek seruan) dari ayat ‘Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya’ adalah para penguasa (al-hukkam).” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, IX/403; Faishal bin Abdul Aziz Aal Mubarak, Risalah fi Jawaz Khulu` Al-Qadhi li Al-Zaujah, hlm. 3).

Disyaratkan dua hakam itu haruslah: laki-laki, adil (bukan fasik), betul-betul mengetahui (khabir) terhadap apa yang harus dilakukannya dalam menjalankan tugasnya sebagai hakam. Disunahkan dua hakam itu berasal dari keluarga suami dan dari keluarga istri, sesuai nash QS An-Nisaa`: 35 di atas.

Namun, jika tak ada hakam dari kedua belah pihak keluarga, hakim (qadhi) berhak mengutus dua orang laki-laki ajnabi (bukan pihak keluarga) sebagai hakam, yang sebaiknya tetap berasal dari tetangga suami-istri itu yang betul-betul mengetahui keadaan keduanya dan berkemampuan untuk mendamaikan keduanya (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, IX/469).

Jika kedua hakam itu berhasil mendamaikan kedua suami-istri, itulah yang diharapkan. Namun jika tak berhasil mendamaikan, apakah kedua hakam berhak memisahkan (tafriq) suami-istri? Di sini terdapat khilafiah di antara fukaha.

Pendapat pertama, kedua hakam tak berhak memisahkan. Ini menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i (dalam salah satu pendapatnya), juga menurut Imam Ahmad (dalam salah satu riwayatnya). Menurut mereka, hakam hanya wakil, tak berhak memisahkan kecuali dengan kerelaan suami istri.

Pendapat kedua, hakam berhak memisahkan. Demikian menurut Imam Malik, Imam Auza’i, Imam Syafi’i (dalam salah satu pendapatnya), juga menurut Imam Ahmad (dalam salah satu riwayatnya). Menurut pendapat kedua ini, hakam bukan wakil, tapi qadhi dari penguasa (hakim) yang berhak memisahkan suami istri walau tanpa kerelaan suami istri (Abdul Fattah ‘Amar, As-Siyasah Al-Syar’iyah fi Al-Ahwal Al-Syakhshiyah, hlm. 227).

Menurut kami, yang rajih adalah pendapat kedua, sebab dalam ayat QS An-Nisaa`: 35 jelas sekali disebut istilah hakam, bukan wakil. Maka hakam berhak memisahkan suami istri sebagai keputusan dari qadhi yang bersifat mengikat/memaksa (‘ala sabil al-ilzam). (Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, IV/42). Wallahu a’lam. []


Oleh: K.H. M. Shiddiq Al Jawi
Ahli Fikih Islam

Posting Komentar

0 Komentar