Ferdy Sambo Tidak Dapat Dipecat Sebelum Ada Putusan Pengadilan yang Inkracht


TintaSiyasi.com -- Publik mungkin terkesima oleh pengumuman resmi Polri dan pemberitaan di media massa terkait dengan hukuman etik terhadap Mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo yang disangka terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua. 

Namun, jika dikaji secara komprehensif, hukuman administratif berupa PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat) atas Ferdy Sambo masih menyisakan persoalan karena akhirnya tidak dapat dieksekusi meskipun Sidang Banding KKEP nantinya tetap menguatkan putusan Sidang KKEP tingkat pertama yang sudah dilaksanakan pada tanggal 25 Agustus 2022 lalu. 

Nalarnya, sidang KKEP diselenggarakan atas dasar ketentuan dalam Perkapolri No. 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, sedangkan PTDH anggota Polri secara khusus diatur dalam PP No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Perkapolri itu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat negara yang berada jauh di bawah PP. Dan kalau dicermati, Perkapolri tersebut tidak berdasar pada PP dan hanya berdasar pada UU, yakni UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Sementara, ada PP yang khusus mengatur tentang pemecatan seorang polisi, yaitu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Dalam Pasal 11 PP Nomor 1/2003 disebutkan, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberhentikan tidak dengan hormat  (PTDH) apabila melakukan tindak pidana, melakukan pelanggaran, meninggalkan tugas atau hal lain. 

Sedangkan Pasal 12 PP Nomor 1/2003 berbunyi: 

(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila: 

a. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia; 

b. diketahui kemudian memberikan keterangan palsu dan/atau tidak benar pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; 

c. melakukan usaha atau kegiatan yang nyata-nyata bertujuan mengubah Pancasila, terlibat dalam gerakan, atau melakukan kegiatan yang menentang negara dan/atau Pemerintah Republik Indonesia secara tidak sah. 

(2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Atas dasar ketentuan dalam PP No. 1 Tahun 2003 ini, maka sebenarnya sidang KKEP dalam kasus dugaan adanya tindak pidana seharusnya dilakukan setelah ada putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). 

Sidang KKEP tersebut diselenggarakan untuk menilai apakah terpidana tersebut masih layak ataukah tidak sebagai anggota Polri. Jadi, ketika sidang etik menetapkan sanksi PTDH sebelum adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka sanksi KKEP baik tingkat banding, maupun peninjauan kembali tidak dapat dieksekusi. 

Terkait dengan kasus Ferdy Sambo, Ferdy Sambo tidak dapat diberhentikan dengan tidak hormat sebagai anggota Polri sebelum adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atas tuduhan tindak pidana berupa pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP. 

Bahkan ada fakta lain, meskipun seorang anggota Polri telah melakukan tindak pidana dan telah dihukum penjara, namun jika pejabat yang berwenang memandang yang bersangkutan masih pantas sebagai anggota Polri, maka yang bersangkutan tidak perlu di-PTDH. 

Kita ingat kasus anggota Polri Brotoseno, bukan? Atas penanganan kasus yang prosedurnya bisa "mbulet" dan terkesan "SSK" (Suka Suka Kami) ini saya kira, perlu sinkronisasi peraturan perundang-undangan di tubuh Polri agar ada kepastian hukum dalam menyelesaikan kasus anggota yang berhadapan dengan hukum secara luas, baik terkait dengan etik, administratif maupun pidana. 

Tabik..!
Semarang, Sabtu: 27 Agustus 2022



Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 

Posting Komentar

0 Komentar