Bersihkan Dulu Tubuh Polri, Baru Bicara Isu Radikalisme di Dunia Pendidikan


TintaSiyasi.com -- Di tengah isu hangat pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua oleh polisinya polisi, yakni Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Ferdy Sambo, Divisi Humas Polri di akun FB melansir sebuah pemberitaan terkait dengan pernyataan Wakapolri yang bertitel:  "Waspadai Paham Terorisme Masuk Dunia Pendidikan". 

Disebutkan bahwa Wakapolri, Komjen Pol. Prof. Dr. Gatot Eddy Pramono, M.Si., menegaskan memasuki tahun ajaran baru, dunia pendidikan, khususnya tingkat perguruan tinggi harus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan. Khususnya yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi didasarkan pada pemahaman agama yang salah. Paham dan gerakan tersebut antara lain intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. 

Lebih lanjut ditampilkan data bahwa berdasarkan Global Terrorism Index 2022 menyebutkan sepanjang 2021, terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia, korban dunia mencapai 7.141 jiwa. 

Ada satu hal, yang menurut saya perlu dicermati. Yakni pernyataan Wakapolri  yang menuturkan bahwa data yang dimiliki Densus 88 Antiteror Polri, terkait tingginya aksi dan penangkapan terorisme menunjukkan penyebaran paham maupun gerakan radikalisme dan intoleransi yang menyasar kalangan anak-anak muda hingga masuk ke wilayah pendidikan. 

Lalu dinyatakan: "Tidak sedikit dari jumlah tersebut adalah anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta; hal ini menunjukkan bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan," kata Wakapolri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/8). 

Atas pernyataan ini saya berpendapat, sebenarnya data Densus ini terkait dengan pelaku teror. Jadi pelaku teror itu ada anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta sehingga disimpulkan bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan. 

Apakah simpulan ini dapat diterima dan lalu tepat dihubungkan dengan dunia pendidikan? Jika alurnya demikian, maka endingnya dapat dipastikan pada usulan terkait dengan regulasi pencegahan dan pemberantasan radikalisme yang sering dianggap sebagai pangkal terorisme di dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi yanh selama ini regulasinya dianggap kurang mencukupi. 

Terkait dengan masalah regulasi radikalisme di kampus, saya ingatkan pemberitaan yang diusung oleh Antara NTB tanggal 4 Juni 2022 mengusung warta dengan titel "Akademisi sebut perlu regulasi tanggulangi radikalisme di kampus". Akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Weda Kupita menilai perlu adanya regulasi yang mampu menindak tegas oknum atau individu yang menyebarkan paham radikal dan terorisme di kampus. 

“Karena regulasi yang sekarang sudah ada seperti yang saya sampaikan tadi itu bahwa belum bisa memenuhi sebagai suatu standar untuk penanggulangan paham-paham radikal tadi itu, jadi belum ada regulasinya,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) itu dalam siaran pers Pusat Media Damai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (PMD BNPT). Menurut Weda, hal ini terkait dengan terbatasnya ruang gerak aparat penegak hukum dalam rangka menertibkan oknum penyebar narasi radikal terutama di lingkungan kampus. 

Menurut saya, regulasi untuk menanggulangi radikalisme di kampus tidak perlu, karena memang kampus itu harus radikal. Radikalisme kampus atau radikalisme di kampus itu hanya propaganda yang bertujuan untuk membungkam sikap kritis civitas akademika. 

Regulasi justru akan semakin membuat kampus menjadi menara gading yang makin jauh dari kemanfaatannya bagi masyarakatnya. Terfokus pada soal radikal radikul yang nomenklaturnya saja masih obscure dan lentur. Bukan narasi atau nomenklatur hukum melainkan politik. 

Semua PT sebenarnya sudah mempunyai perangkat untuk mendeteksi kegiatan mahasiswa, apakah itu di organisasi mhsw (BEM, SENAT, UKM). Pegawai pun bisa dipantau lewat Kabag, Wadek, dekan hingga para Wakil Rektor, Senat Unive dan puluhan kelembagaan struktural lainnya. 

Perangkat aturannya juga sudah ada, mulai dari Peraturan akademik, Kode Etik dan lain-lain. Semua memang tergantung bagaimana atmosfer kampus. Jika kampus diwarnai dengan perwujudan nilai kebenaran dan keadilan, saya yakin warga kampus tidak akan aneh-aneh apalagi melakukan perbuatan radikal peyoratif (merusak, mengancam, kekerasan). 

Untuk membuat regulasi tentang radikalisme, harus dipenuhi tata cara pembentukan per-UU sebagaimana diatur dlm UU No. 12 Tahun 2011 jo perubahannya dgn UU No. 15 Tahun 2019. Formulasinya harus memenuhi unsur-unsur kepastian hukum dan pembicaraannya harus benar-benar komprehensif serta melibatkan seluruh elemen bangsa. Tidak boleh gegabah, apalagi hanya dibuat Perpu. 

Menurut hemat saya, usulan tentang RUU anti radikalisme terlalu dini, mengingat urgensinya yang terkesan terlalu diada-adakan dan potensi untuk mengarah pada munculnya orde represif layaknya penggunaan UU Subversi sebagaimana terjadi pada era orde baru sangat besar sekali. 

Sebagaimana diketahui bahwa radikalisme selama ini cenderung menyerang Islam saja. Definisinya masih lentur dan 'obscure' terjun bebas diarahkan untuk memukul dakwah Islam, terlebih lagi terhadap dakwah khilafah ajaran Islam yang seringkali diidentikkan dengan ISIS. Seperti yang kita ketahui, bahwa ISIS mengklaim sebagai khilafah, padahal ISIS tidak memenuhi syarat disebut sebagai khilafah yang sesuai metode kenabian. 

Banyak kejadian teror yang mengklaim pelaku adalah dari ISIS, hal ini juga membuktikan bahwa dakwah mereka tidak ahsan bil makruf dan mengikuti tuntunan Nabi Saw. Yang perlu disayangkan adalah bahwa tuduhan terorisme dan radikalisme dipukul rata kepada umat Islam, lebih-lebih umat Islam yang mendakwahkan Islam kaffah dan khilafah sebagaimana telah disinggung di muka. 

Atas dasar pemikiran di muka, RUU anti radikalisme bisa diprediksikan akan menjadi alat pukul dakwah Islam yang bisa mengenai siapa saja, karena definisi radikalisme masih tidak jelas dan tidak akan jelas. Sebaiknya jangan terlalu dini menggagas RUU anti radikalisme, karena memungkinkan akan merugikan umat Islam dan ajaran Islam yang selama ini mendapatkan tudingan radikalisme. 

Saat ini Polri baru disorot atas kebobrokannya di level puncak terkait dengan pembunuhan Brig Joshua yang melibatkan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo sebagai dalangnya. Saya kira lebih baik bersihkan dulu tubuh Polri, baru bicara soal lainnya, Pak. Malu kita! 

Kita masih menanti "pemberantasan terorisme" di Papua. Itu lebih dahulukan. Mereka teroris, separatis, kriminalis yang sudah pasti membahayakan NKRI. Dunia Pendidikan memang harus radikal, ramah, terdidik dan berakal! 

Tabik..! 

Semarang, Ahad: 14 Agustus 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 

Posting Komentar

0 Komentar