Tidak Bermaksud Menyamakan Sri Lanka dengan Indonesia, Mendedah Bahaya Utang ke Asing


TintaSiyasi.com -- Sri Lanka bangkrut, parahnya Presidennya sudah pergi dari Sri Lanka dan mengirim surat pengunduran dirinya via email. Geger Sri Lanka bangkrut, banyak publik yang mewanti-wanti, jangan sampai Indonesia mengalami hal sama dengan Sri Lanka. 

Ternyata kekhawatiran publik ini membuat salah satu menteri melontarkan sebuah pernyataan arogan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, "Kalau ada yang ngomong kita mau samakan dengan Sri Lanka, bilang dari saya sakit jiwa dia itu. Lihat data-data yang baik, kalau enggak suruh dia datang ke saya. Orang bilang Pak Luhut nantang, bukan nantang," ungkap Luhut dalam konferensi pers Rakornas DPSP 2022 di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta Pusat, Jumat (15/7/2022).

Halo Bapak Menteri yang baik, tidak ada yang menyamakan antara Indonesia dengan Sri Lanka. Tetapi, publik hanya ingin Indonesia berkaca pada Sri Lanka dan jangan sampai seperti Sri Lanka. Faktanya memang Sri Lanka tengah bangkrut akibat jebakan utang. Oleh karena itu, wajar jika publik mencemaskan hal tersebut. Seharusnya sebagai pejabat negara mendengarkan kritik dan saran rakyat, bukan mengeluarkan pernyataan yang terkesan arogan.

Ancaman bahaya yang diundang akibat utang riba sudah dijelaskan dalam berbagai dalil-dalil Islam. Tetapi, lebih mengundang malapetaka lagi, jika itu dilakukan secara sistematis dalam bingkai negara. Sebagaimana yang terjadi saat ini. 

Ancaman yang nyata akibat utang riba tersebut dapat dijelaskan dengan beberapa poin berikut. Pertama, hegemoni asing makin kuat. No free lunch, tidak ada makan siang gratis. Begitulah gambaran sistem ekonomi kapitalisme. 

Ketika sebuah negara memberikan pinjaman riba pada suatu negara. Mereka menancapkan pengaruhnya. Hegemoni makin kuat, bahkan agar negara pengutang terus terbelenggu, tak segan-segan mereka senantiasa menawarkan utang ribawi secara terus-menerus. Agar negara tersebut bergantung padanya.

Kedua, utang ribawi adalah penjajahan dan penindasan. Hal tersebut sejatinya sudah diperingatkan dalam surah An-Nisa ayat 16. Tetapi, banyak yang tidak mengindahkannya. Negara asing yang mengucurkan dana tentunya memiliki dikte-dikte politik yang mereka tekankan kepada negara yang diberi utang. Sebagai contoh, pengelolaan sumber daya alam kepada asing adalah akibat dari utang ribawi keluar negeri. 

Mengapa dikatakan utang riba adalah awal dari penindasan dan penjarahan? Akibat utang riba tinggi. Bahkan, bunga utang lebih besar dari pokoknya memaksa sebuah negara untuk menjual aset-aset yang dimiliki dan mencabut subsidi para rakyatnya sendiri. 

Tak hanya itu, negara yang terjebak jatuh tempo tak segan-segan menaikkan pajak dan menarik pajak pada hal-hal lain demi menaikkan pendapatan negara untuk bayar bunga tersebut. Padahal pokok utangnya belum tersentuh. Tetapi, negara pemberi utang biasa meminta bunga utang dibayar terlebih dahulu. 

Ketiga, perampokan kekayaan negara, baik sumber daya alam atau aset-aset strategis lainnya. Atas nama utang, mereka melakukan banyak legitimasi politik dan ekonomi. Salah satunya adalah meminta negara yang diberi utang itu untuk mengkapitalisasi sumber daya alam ke asing. Padahal jika SDA itu dikelola sendiri, tentunya tidak perlu utang. Hal itulah yang terjadi. 

Tidak puas SDA sudah dikuasai. Asing pun masih cari cara agar negara-negara yang memiliki aset dan wilayah strategis terjebak utang. Yakni, dengan pemberian utang untuk membangun infrastruktur. Bayangkan, jika pembangunan infrastruktur utang keluar negeri, lalu negara tersebut tidak bisa bayar utang saking tingginya bunganya. Mungkinkah aset infrastruktur itu menjadi milik asing? Mungkin sekali, dan itulah yang terjadi. Ketika gagal bayar utang, cari pinjaman lagi dengan menjual aset infrastruktur tersebut. Andaikan semua infrastruktur tersebut dikuasai asing, lalu di mana kedaulatan negara tersebut?

Keempat, menciptakan jebakan utang (debt trap). Ketika utang jatuh tempo dan negara tersebut tak mampu bayar, yang dilakukan olehnya adalah mencari utangan lagi untuk menutup utangnya. Jadi, seperti gali lubang tutup lubang. Inilah yang menyebabkan mereka terjebak dan masuk ke lingkaran setan ribawi. Entah individu maupun negara, sejatinya begitulah jahatnya utang ribawi. Hal itulah yang harus dipahami akan bahaya ini.

Kelima, mengundang azab Illahi. Dalam sebuah hadis dinyatakan oleh Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani). 

Musibah apalagi yang diundang jika mereka tetap bergelimang utang ribawi. Atas nama hitungan ekonomi mereka dijebak agar terus utang dan seolah-olah ditipu dengan ungkapan rasio utang masih aman. Padahal satu rupiah yang dikeluarkan atas nama riba itu dosa besar. Bahkan dosa riba lebih besar dari seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Astaghfirullah, na'uzubillah.

Sesungguhnya utang ribawi subur berkembang, mendapatkan legitimasi hukum dan dilindungi undang-undang karena berada dalam sistem kapitalisme sekuler. Kapitalisme sekuler inilah penjaga utang ribawi. Sumber keuangan ekonomi kapitalisme adalah ribawi. Sejatinya itulah sumber malapetaka penjajahan, penindasan, perampokan penjajah kepada mereka yang dijajah. 

Oleh karena itu, solusi utang tersebut adalah cabut ekonomi kapitalisme ganti dengan ekonomi Islam. Tetapkan sistem Islam sebagai pengatur segala aspek kehidupan. Segala utang kepada luar negeri dihitung ulang. Bayar pokoknya saja dan jangan membayar bunga riba yang mereka tetapkan. Karena haramnya riba tidak hanya menimpa kepada yang menarik riba, tetapi juga yang membayar riba pun terkena. 

Jadi, haram membayar dan menerima riba. Satu-satunya yang dapat menyelamatkan dunia dari bahaya ribawi adalah dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiah.[]


Oleh: Nabila Zidane (Analis Mutiara Umat Institute) dan Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute)

Posting Komentar

0 Komentar