Menelisik Isu 'Hantu' Radikalisme Pra dan Pasca-Mangkatnya MenPAN-RB, Tjahyo Kumolo


TintaSiyasi.com -- Masih ingatkah Anda atas peristiwa "pengamanan"
10 Mahasiswa UNS saat bentangkan poster kritik waktu Presiden Jokowi masuk ke Kampus UNS, Senin (13/9/2021). Mereka "diamankan" aparat kepolisian setelah membentangkan poster kritik di pinggir jalan yang dilalui Presiden Jokowi. 

Poster tersebut di antaranya berbunyi "Pak tolong benahi KPK" dan "Tuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu". Beberapa menit setelah Presiden Jokowi melintas, sejumlah petugas tak berseragam tiba-tiba menangkap mahasiswa tersebut. 

Presiden BEM UNS, Zakky Musthofa mengaku heran dengan sikap represif yang ditunjukkan aparat kepolisian kepada mahasiswa. Ia yakin tidak ada pelanggaran yang terjadi dalam aksi membentangkan poster di depan Presiden Jokowi. Setelah beberapa menit membentangkan poster, ternyata mereka merasa semua dikebiri, direpresi, ditarik ke Polresta Surakarta. Menurut Zakky hingga siang tanggal 13 September 2021 sudah ada 10 rekannya yang dibawa ke Mapolresta Surakarta. 

Di samping ada insiden penangkapan mahasiswa pembentang poster, ternyata juga ada pidato Pak Presiden yang cukup "memprovokasi" saya untuk berkomentar "ilmiah", yakni tentang tuduhan bahwa "ada yang mendidik mahasiswa menjadi radikal, ektremisme yang mengarah terorisme". 

DetikNews.com Selasa 14 September 2021 mewartakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta seluruh rektor dan jajarannya untuk mendidik mahasiswa secara utuh. Jokowi tidak ingin mahasiswa yang diajari tentang kebangsaan di dalam kampus justru terpapar paham radikal saat di luar kampus.

Pernyataan itu disampaikan Jokowi dalam Pertemuan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia yang dilaksanakan di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Kota Surakarta, pada Senin (13/9/2021), sebagaimana tayangan videonya diunggah di akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (14/9). 

Jokowi meminta para rektor memperhatikan pendidikan mahasiswa di luar kampus. "Tugas rektor dan seluruh jajarannya bukan hanya mendidik mahasiswa di kampus saja, apalagi hanya di kelas. Hati-hati mengenai ini. Juga menjadi tugas para rektor dan jajarannya yang berkaitan yang di luar kampus. Artinya, di luar kampus pun menjadi tugas rektor dan seluruh jajarannya, hati-hati," ujar dia. 

Mantan Gubernur DKI itu mengatakan mahasiswa harus diberi perhatian di dalam maupun di luar kampus. Jokowi ingin mahasiswa tetap menerapkan nilai-nilai Pancasila di luar kampus.
"Di dalam kampus dididik mengenai budi pekerti, di luar kampus nggak ada yang mendidik, jadi pecandu narkoba. Nah, untuk apa kita kalau nggak bisa menjangkau ke sana?" ucapnya. "Di dalam kampus dididik mengenai Pancasila, kebangsaan. Di luar kampus ada yang mendidik mahasiswa kita jadi ekstremis garis keras, jadi radikalis garis keras, lha untuk apa?" imbuh Jokowi. 

Menyimak pidato yang demikian, jujur, hati saya jadi deg-degan. Sebenarnya apa tugas dan fungsi pokok rektor. Mana ada tugas rektor dan jajarannya untuk mengawasi tingkah polah hingga ideologi mahasiswa di luar kampus. Lebih parahnya lagi, hal ini selalu dikaitkan dengan radikalisme yang nomenklaturnya obscure dan lentur. Tidak jelas pula ini diksi hukum ataukah politik. Tidak diinstruksikan langsung saja rektor sudah berusaha "menyapu bersih" warga yang dituduh radikal dalam kampus, apalagi ada perintah supaya rektor dan jajarannya mengawasi mahasiswa ketika di luar kampus. 

Saya yakin, dengan kebijakan represif semacam ini, kampus akan semakin kering terhadap upaya pencarian kebenaran dan keadilan. Kampus tidak akan menjadi ibu asuh (almamater) karena air susu murninya telah berbau anyir darah dan nanah kekuasaan. 

Kampus hanya akan menjadi tangan panjang kebijakan pemerintah dan dengan sendirinya kampus akan kehilangan otonominya, baik  meliputi otonomi keilmuan, kebebasan akademik maupun kebebasan mimbar akademik. 

Terkait dengan propaganda radikalisme kampus, saya teringat dengan pernyataan Menkopolhukam pertengahan tahun 2021. SuaraSulsel.id tanggal 25 April 2021 mewartakan bahwa Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) RI Mahfud MD mengatakan seluruh kampus di Indonesia harus melarang kegiatan-kegiatan yang mengandung paham radikalisme. 

Mahfud mengatakan paham radikalisme harus ditangkal berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Karena itu, seluruh kampus di Indonesia harus melakukan perlawanan terhadap paham radikalisme. 

Menurut Mahfud MD, perwujudan radikalisme terbagi menjadi tiga. Pertama intoleran radikal, yang menganggap semua orang yang berbeda dari dirinya merupakan lawan. Kedua adalah ide yang ingin mengganti sistem kenegaraan yang didasarkan pada ideologi dan konstitusi yang sah. Sehingga, untuk menganti sistem kenegaraan tersebut harus memiliki prosedur-prosedur yang sah juga. "Itu ide, tidak boleh radikalisme begitu karena itu kesepakatan juga. Kalau mengganti harus ada prosedur-prosedur yang sah," terang Mahfud.
Ketiga berwujud teror. Teror yang dimaksud adalah akumulasi dari puncak perbedaan pendapat antara kelompok. Semua wujud paham radikalisme tersebut, kata dia, harus ditangkal. 

Berdasar pernyataan Menkopolhukam ini saja dapat dinilai bahwa definisi hukum tentang radikalisme itu obscure dan lentur. Tidak ada kepastian (lex scripta, lex certa dan lex stricta). Jadi lebih besar condong ke kemauan politik pemerintah. Seharusnya ada tolok ukur nyata misalnya berupa tindakan kekerasan, atau tindakan konkret lain bukan sebatas ide atau pemikiran seseorang. 

Sasaran empuk isu radikalisme adalah ASN, termasuk Dosen di Perguruan Tinggi Negeri yang nota bene mempunyai tugas mulia untuk berpikir secara radikal tanpa kekerasan. Namun, faktanya ada dosen yang dituduh terpapar radikalisme gegara dosen itu meyakini dan istiqomah terhadap ajaran Islam. 

Lantas, kekerasan fisik model apa yang telah dilakukan oleh ASN yang dituding radikal? Apa dasar pemberian sanksi hingga pemecatan (pemberhentian dari jabatan) yang dilakukan? Jika sanksi diberikan karena nalar kritis civitas akademika dalam mengoreksi jalannya roda kekuasaan, bukankah kampus
didirikan untuk menyemai benih nalar kritis berdasarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang mampu dipertanggungjawabkan? 

War on radicalism benar-benar bagaikan jala, pukat harimau yang menyasar ikan-ikan besar hingga teri kecil civitas akademika hingga menjadi insan pembebek, dan pengabdi kekuasaan bukan insan mandiri pengabdi ilmu pengetahuan. Lalu mungkinkan garis depan ilmu pengetahuan akan beringsut ke arah kemajuan? Mungkinkah akan berkembang pemikiran-pemikiran kampus yang dipenuhi karakter critical thinking? Masihkah ada harapa insan kampus menjadi the agent of change dari tradisi rule breaking? Dan mungkinkah kita berharap negeri ini akan tumbuh dan tangguh karena generasi mudanya dididik laksana pekerja dan pelajar di masa penjajahan? 

Radikalisme, akankah menjadi momok bagi siapapun penguasa di negeri ini? Sementara, menurut peneliti LiPI Siti Zuhro, masalah utama negeri ini bukan radikalisme tetapi ketimpangan sosial. 

Instruksi Presiden tidak bisa dianggap sepele karena instruksi itu juga akan berpotensi membelah insan kampus menjadi dua, Anda berdiri di barisan war on radicalism ataukah berada di barisan pendukung radikalisme? 

Civitas akademika akhirnya selalu dalam situasi ketakutan dan khawatir dalam menyuarakan, dan mencari keadialan dan kebenaran, bahkan dalam menjalankan keyakinan agamanya baik di dalam maupun di luar kampus. Jangan-jangan kata radikal slogan channel Youtube saya pun telah berada dalam pantauan radar penginderaan paparan radikal radikul pihak tertentu. Inikah, yang disebut kampus merdeka? Inikah yang disebut kampus di negeri demokrasi? 

Benarkah isu radikalisme yang dihembuskan  itu benar-benar dalam rangka mendukung para pihak itu termasuk para punggawa pemerintah (Rektor, BIN, BNPT hingga Presiden) yang memang sejak kabinet Jokowi Periode 2 ini memiliki "core" program tentang war on radicalism? Lalu apakah betul radikalisme itu persoalan utama negeri ini? Ini persoalan hukum atau persoalan politik? 

Di beberapa kesempatan saya telah menyampaikan bahwa radikalisme ini lebih condong pada isu politik dibandingkan isu hukum. Oleh karena cenderung pada isu politik maka unsur kepentingan politik sehingga nomenklatur itu tetap obscure dan lentur meskipun kita sudah punya PP 77 Tahun 2019 yang bicara tentang deradikalisasi dan kontra deradikalisasi. 

Persoalannya makin tidak menentu ketika jenis kelamin dan rincian tentang apa saja yang termasuk perbuatan atau sikap atau "faham" yang termasuk terpapar radikalisme tidak juga ditentukan secara pasti. Ide khilafah termasuk dikelompokkan oleh pemerintah sebagai "faham" radikalisme yang harus diperangi bahkan dianggap sebagai "common enemy". Padahal kita ketahui bahwa khilafah sebagai siyasah Islam itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari materi fikih (ajaran Islam). 

Ironi dan merupakan sebuah keprihatinan bagi umat muslim apalagi umat Islam meyakini bahwa khilafah adalah idenya Allah. Jika itu idenya Allah, bagaimana mungkin berpotensi memiliki daya rusak dan merusak. Tampaknya, diskursus tentang khilafah dan "daya rusaknya" perlu dilakukan secara open mind di negara demokrasi ini, bukan dengan intimidasi terhadap perbedaan yang ada. 

Pada akhir 2019 dalam sebuah seminar di Jakarta saya mengatakan: “Prediksi saya, dengan pengalaman tahun 2018-2019 itu, kayaknya kok 2020 dan seterusnya itu masih suram,”. Di bidang politik, rezim akan tetap mengangkat isu radikalisme. “Serangannya akan semakin gencar!”. Hal itu saya tegaskan di hadapan sekitar 200 peserta diskusi akhir tahun yang memenuhi ruangan. Isu radikalisme ini akan terus ‘digoreng’ karena ketentuan tentang radikalisme itu hingga kini belum jelas. Sehingga isu ini bisa disebut obscure  (kabur) dan lentur. Jadi tahun 2021 ini tampaknya makin ganas menggunakan isu radikalisme untuk melabeli pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah khususnya dari umat Islam. 

Secara tegas saya katakan bahwa radikalisme itu obscure dan juga lentur pada akhirnya nanti akan dipakai secara legal dan konstitusional untuk menggiring bahkan sampai menggebuk orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah". 

Saya katakan bahwa ASN, pegawai BUMN, masjid, pesantren dan juga ‘kampus’ dapat menjadi sasaran tembak isu radikalisme dan juga ekstremisme yang lebih empuk. Saya berkata begitu, bukan hanya karena saya korban persekusi "rezim" tetapi  juga sesuai dengan pernyataan Peneliti Institut Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV), Ward Berenschot. 

Berenschot mempertanyakan definisi radikalisme yang digunakan oleh pemerintah (Indonesia, red) karena definisi radikalisme yang digunakan pemerintah itu identik dengan orang-orang yang berseberangan atau berbeda pendapat dengan pemerintah atau kepentingan pemerintah. Kemudian dilabeli dengan apa? Anti Pancasila. Karena itu, ketika orang itu dikatakan anti Pancasila, ini sudah sulit sekali untuk berkelit. Karena prinsipnya ‘Aku Pancasila’ jadi siapa saja yang menentang ‘Aku’, maka dia itu melawan atau anti Pancasila, termasuk orang atau kelompok di kampus dan luar kampus yang berkeyakinan bahwa khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. 

Bagaimana, masih tetap mau menggoreng terus issue radikalisme di kampus, di masjid, di pesantren dan di apa pun momen termasuk rekruitmen CPNS, PPPK? Belumkah cukup menjadikan saya dan tokoh-tokoh kritis lainnya sebagai korban "propaganda" issue radikalisme di kampus, di masjid, di pesantren dan masyarakat pada umumnya? Ternyata belumlah cukup semua tindakan persekusi tersebut. 

Tidak ketinggalan para menteri lain sibuk menghembuskan mantra-mantra perang terhadap radikalisme. MenPAN-RB dan Mendagri salah satu menteri yang sangat getol bahkan bisa dikatakan menjadi Panglima Pembersihan ASN yang diduga "terpapar radikalisme" yang nomenklaturnya pun dapat dikatakan tidak jelas. 

Banyak kebijakan MenPAN-RB dan Mendagri yang bertujuan untuk bersih-bersih ASN dan lingkungannya dari keterpaparan radikalisme. Kebijakan tentu tidak dijalankan sendiri melainkan menggandeng kementerian dan atau lembaga negara lainnya. Kebijakan itu misalnya: 

1. SE MenPAN RB No. 137/2018 tentang Penyebarluasan Informasi Melalui Media Sosial Bagi ASN. 

2. Surat Edaran Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 2 Tahun 2021
dan Nomor 2 / SE / I / 2021Tentang Larangan Bagi Aparatur Sipil Negara Untuk Berafiliasi dengan dan/atau Mendukung Organisasi Terlarang dan/atau Organisasi Kemasyarakatan yang Dicabut Status Badan Hukumnya. 

3. SKB 11 Menteri dan Lembaga Tahun 2019 Tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan ASN. 

Berikut ini 11 jenis pelanggaran yang diatur dalam SKB Penanganan Radikalisme ASN: 

(1) Penyampaian pendapat baik lisan maupun tulisan dalam format teks, gambar, audio, atau video, melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah. 

(2) Penyampaian pendapat baik lisan maupun tulisan dalam format teks, gambar, audio, atau video, melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antar golongan. 

(3) Penyebarluasan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1 dan 2 melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost, dan sejenisnya). 

(4) Tanggapan atau dukungan sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di media sosial. 

(5) Pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial. 

(6) Penyebarluasan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial. 

(7) Penyelenggaraan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah. 

(8) Keikutsertaan pada organisasi dan atau kegiatan yang diyakini mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah. 

(9) Penggunaan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah. 

(10) Pelecehan terhadap simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial; dan/atau 

(11) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai 10 dilakukan secara sadar oleh ASN.


4. Peluncuran Portal Aduanasn.id Tahun 2019. 

5. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo meluncurkan aplikasi ASN No Radikal di Kantor Kementerian PANRB, Rabu (02/09/2020). Tjahjo mengatakan bahwa peluncuran aplikasi ini sebagai bentuk tindak lanjut dari arahan Presiden RI Joko Widodo untuk mewujudkan birokrasi pemerintah bebas dari paham radikalisme. 

Belum puas melakukan Porgram Penanganan radikalisme, muncul propaganda baru yakni tentang ekstremisme yang nomenklaturnya juga tidak jelas. Pun jenis kelaminnya juga tidak jelas, apakah hukum atau politik. Jika hukum, maka peraturan lebih tinggi mana sebagai "cantolan" pengaturannya melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021? Di UU Pemberantasan Terorisme tidak ditemukan, lalu di PP turunan UU Terorisme yakni PP No. 77 Tahun 2019 juga tidak ditemukan. 

Mengapa tiba-tiba ada aturan di level bawah yang mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan ekstremisme dalam program Rencana Aksi Nasional (RAN)? Namun, diyakini bahwa ekstremisme ini lebih "hard" dibandingkan dengan radikalisme. Akan tetapi keduanya memiliki kesamaan, yakni sama-sama tidak jelas jenis kelaminnya. 

Tersiar kabar santer bahwa Presiden dan DPR hendak merivisi UU ITE yang telah lama digunakan pihak tertentu sebagai senjata "boomerang" dalam rangka "menghabisi" lawan-seberang. Namun, usaha ini akan sia-sia ketika pasca revisi UU ITE telah dipersiapkan "tool" lain sebagai hantu baru untuk menghentikan langkah lawan-lawan politik dengan RAN ekstremisme. Ibarat terlepas dari cengkeraman mulut harimau, terjebak masuk ke mulut buaya. 

Salah satu punggawa Program Pembersihan ASN yang diduga terpapar radikalisme dan ektremisme, yakni MenPAN RB Tjahjo Kumolo telah dipanggil menghadap Tuhan Allah SWT tanggal 1 Juli 2022. Bagaimana nasib program pembersihan ASN yang diduga terpapar radikalisme? Saya memprediksikan akan tetap berjalan siapa pun pengganti Tjahjo Kumolo karena program itu merupakan "core" kabinet Joko Widodo yang diinstruksikan kepada kementerian dan lembaga terkait. 

Meskipun oleh para peneliti, ahli dan pengamat kenegaraan menyatakan bahwa masalah utama negeri ini bukan radikalisme, melainkan ketimpangan sosial, namun program kontra radikalisme dan deradikalisasi akan tetap diprioritaskan oleh rezim ini. 

Saya tidak tahu persis apa tujuannya karena yang saya tangkap justru persoalan korupsi, separatisme dan terorisme di Papua, kelangkaan lapangan kerja, mahal dan langkanya kebutuhan pokok rakyat jauh lebih berbahaya terhadap keselamatan NKRI dibandingkan dengan propaganda radikalisme yang nota bene tidak jelas jenis kelamin dan nomenklaturnya. Lebih baik meningkatkan kinerja pelayanan ASN dari pada dengan menjejali otak dan perasaannya dengan hantu radikalisme dan ekstremisme, bukan? 

Akhirnya, jika ingin kehidupan rakyat ini tenteram, aman dan tidak dalam keadaan saling curiga, lebih baik revisi dan jika perlu hapus saja UU ITE, SE, SKB dan Perpres RAN PE yang kontraproduktif dengan semangat demokratisasi dan pemuliaan HAM di negeri ini. Kembalikan pada aturan pokoknya, yakni KUHP----sembari menunggu pengesahan RUU abadi yaitu KUHP baru. 

Tabik...!!!
Semarang, Sabtu: 2 Juli 2022


Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 

Posting Komentar

0 Komentar