Legislasi RKUHP Minus Partisipasi Publik: Proses Hukum Ugal-ugalan dan Gejala Otoritarianisme


TintaSiyasi.com -- "RKUHP, Produk Kontroversial Membisukan Aspirasi Rakyat", "#HatiHatiDibui", hingga "Bandung Lautan Amarah". Demikian poster penolakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh ratusan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi, di Gedung DPRD Jawa Barat, Kamis (30/6) (CNNIndonesia, 30/6/2022). Sebelumnya, kelompok mahasiswa menggelar demo serupa di depan Gedung MPR/DPR Jakarta (detik.com, 28/6/2022).

Tak hanya menyoal beberapa pasal RKUHP (Pasal 218, 240, 353, dan 354) yang dipandang mengebiri suara kritis warga, mahasiswa juga menyoroti sikap pemerintah 'menyembunyikan' draf terbaru RKUHP. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Universitas Indonesia (UI) menggelar aksi pernyataan sikap terkait transparansi draf final RKUHP di kampus UI, Depok, Jawa Barat, Senin (13/6). 

Mereka kecewa terhadap pemerintah dan DPR karena pembahasan RKUHP dinilai minim partisipasi publik. Pun mendesak keduanya segera membuka draf terbaru RKUHP, serta menuntut membahasnya secara transparan dan inklusif dengan mengutamakan partisipasi publik bermakna.

Senada, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendesak pemerintah mempublikasikan draf RKUHP terbaru kepada publik. Beberapa kalangan menilai tindakan sembunyi-sembunyi pemerintah sebagai gejala otoritarianisme, mengambil keputusan sepihak, karena takut masyarakat tahu, takut dikoreksi dan dikritisi. 

Kecenderungan pemerintah mengabaikan kritik publik menunjukkan pola berulang mengenai proses legislasi yang "ugal-ugalan". Sebelumnya, pemerintah mengesahkan sejumlah UU kontroversial di tengah kritik publik, seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, serta revisi UU P3.

Sangat disayangkan hilangnya fungsi kontrol DPR sehingga kritik terhadap proses legislasi hanya datang dari masyarakat yang juga kerap diabaikan. Berharap DPR sebagai penyeimbang, bak pungguk merindu bulan. Sebab 82% adalah koalisi pemerintah. Sungguh dilematis. Di satu sisi, saat ini masyarakat harus memperkuat kontrolnya, sementara di sisi lain ruang partisipasi publik seolah ditutup. Inikah ambiguitas demokrasi?

Partisipasi Publik dalam Pembuatan RKUHP: Memperkuat Legitimasi dan Meningkatkan Trust

UU merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang pembentukannya membutuhkan waktu lama dengan prosedur panjang. Hal ini  ditentukan dalam UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tahap pembentukan UU dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. 

Pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya UU seharusnya dilaksanakan secara cermat dan hati-hati karena menyangkut kepentingan bernegara dan orang banyak. Namun, jika pembentukan UU yang relatif lama justru tidak memenuhi kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum, pun hukum (aturan) yang seharusnya mengatur peristiwa saat ini akan kian tertinggal mengingat perkembangan sosial masyarakat yang cepat berubah, maka butuh solusi mengatasi permasalahan pembentukan UU tersebut. 

Solusinya seperti memungkinkan pembentukannya melalui jalur perpu dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum. Juga pemberian kewenangan kepada institusi yang sudah ada dapat dilakukan untuk melakukan tinjauan UU yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.

Dikutip dari detik.com (17/6/2202), keterbukaan membuka draf RUU merupakan amanat Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang mensyaratkan pembuatan UU harus berdasarkan asas keterbukaan. Asas ini bermakna, tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Sehingga seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan.

Mahkamah Konstitusi (MK) mempertegas asas keterbukaan itu dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Disebutkan bila keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945.

Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-undang di atas, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) harus dilakukan, yaitu dalam tahapan: 

Pertama, pengajuan rancangan undang-undang; kedua, pembahasan bersama antara DPR dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; ketiga, persetujuan bersama antara DPR dan presiden.

Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh.

Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu:

Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Partisipasi publik terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.

Adapun tujuan proses pembentukan UU khususnya RKUHP membutuhkan keterbukaan (partisipasi publik) yaitu: 

Pertama, menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan.

Kedua, membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan.

Ketiga, meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga negara terhadap lembaga legislatif.

Keempat, memperkuat legitimasi dan tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan dan tindakan.

Kelima, meningkatkan pemahaman (improved understanding) tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara.

Keenam, memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka.

Ketujuh, menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and transparent).

Demikian mengapa pembentukan RKUHP harus melibatkan partisipasi publik. Tanpanya, komunikasi politik hanya berjalan secara sepihak dan berpotensi menciptakan otoritarianisme.

Minus Partisipasi Publik, RKUHP Berpotensi Jadi Zombie Hukum

Bola panas RKUHP masih bergulir di DPR-pemerintah. Rencananya, draf itu akan disahkan pada Juli 2022. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memberikan alasannya mengapa draft RKUHP terbaru hingga saat ini belum dibuka. Menurutnya, draft RUU KUHP masih perbaikan di pemerintah dan akan dibuka setelah diperbaiki. 

Adapun salah satu pasal yang dipermasalahkan adalah Pasal 353 ayat 1. Berikut ini bunyi draf Rancangan KUHP yang didapatkan wartawan dari Kemenkumham sebagaimana dikutip detik.com (15/6/2022): "Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."

Dari sisi proses legislasi, apakah draf ini sudah cukup melibatkan rakyat untuk berpartisipasi dalam perumusan delik tersebut, mengingat ada fakta hukum berupa penghapusan pasal penghinaan presiden oleh Mahkamah Konstitusi (MK)?

Kita ingat pada 4 Desember 2006, MK melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Permohonan judicial review itu diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi. 

Namun anehnya, baru-baru ini publik negeri ini dibikin terkejut ketika pada pemerintahan Presiden Jokowi pasal tersebut kembali mengemuka, tercantum dalam draf rancangan undang-undang (RUU) KUHP, dan telah diajukan kepada Komisi III DPR melalui Menkumham Yasonna H. Laoly. 

Namun, Presiden Jokowi menjamin niat ”menghidupkan” kembali pasal tersebut bukan untuk membungkam rakyat. Ia mengatakan pasal penghinaan presiden justru untuk melindungi mereka yang kerap mengkritik pemerintah lewat cara yang baik demi kepentingan umum. Ia pun menilai aturan yang ada saat ini hanya pasal karet yang bisa memidanakan semua pengkritik pemerintah, tergantung pada interpretasi aparat penegak hukum. 

Di sisi lain, kita ingat pula, MK justru menolak  judicial review usulan Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis. Pasal-pasal 310 ayat (1) dan (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP dinyatakan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Konklusi MK menyatakan kehormatan pribadi, nama baik, martabat individu warga negara dan pejabat yang tengah bertugas adalah hak konstitusional (constitutional  right) yang harus dilindungi  hukum. 

Berdasar fakta-fakta di atas, proses pembuatan RUU, khususnya RKUHP ini belum dapat dikatakan berproses secara partisipatoris. Pemerintah dan DPR cenderung bersikap stubborn, bahkan menghidupkan kembali pasal-pasal yang notabene telah dinyatakan "mati" oleh MK. Di sini terjadi zombie hukum, khususnya terkait dengan pasal penghinaan kepada pejabat negara, terkhusus lagi terhadap presiden dan wakil presiden. 

Terkait proses pembentukan RKUHP di mana pemerintah enggan membuka draft terbaru sehingga dituding sebagai proses legislasi ugal-ugalan dan gejala otoriter, ini tentu cukup menohok Pemerintah. Sebenarnya UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) 12 Tahun 2011 sudah mengatur tahap-tahap pembentukan RUU, yakni wajib ada Naskah Akademis (NA) dan wajib disoundingkan kepada seluruh elemen masyarakat sebagai sarana partisipasi rakyat. 

Jadi NA itu memang harus dipajang di depan publik untuk mendapatkan masukan dari rakyat. Kalau proses itu tidak transparan, bisa disebut sebagai proses yang ugal-ugalan dalam pembentukan PPP sehingga rawan gugatan ke MK, baik dari sisi formil maupun sisi materiil jika telah menjadi UU. 

Rezim otoriter memang berkarakter tidak mau tahu dengan aspirasi rakyat dan proses komunikasi hukum yang baik dalam PPP.  Andai pun ada partisipasi akan diminimalkan dan terkesan hanya bersifat formalitas. 

Sebelumnya, pemerintah telah mengesahkan sejumlah UU kontroversial di tengah kritik publik, seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, serta revisi UU P3. Dengan semua fakta tersebut, apakah kita masih berada dalam alam demokrasi atau itu semua ilusi? 

Memang betul, kita harus menyadari bahwa pada prinsipnya tidak mungkin UU yang dibuat mampu memuaskan semua pihak. Di sinilah dari sisi politik terjadi pertarungan kepentingan politik dan memang hukum itu produk politik. Demokrasi tidak menuntut benar salah tapi suara mana yang paling banyak, itulah yang akan menentukan baik buruknya suatu keputusan atau kebijakan. 

UUKPK, UU CILAKA, UUIKN dan lain-lain adalah bukti bahwa meski sebagian rakyat menggugatnya, tapi presiden dan DPR plus MK tetap stubborn untuk menjalankan UU tersebut karena memang secara hukum UU tersebut tetap sah dan konstitusional. Menjadi kewajiban rakyat akhirnya untuk tunduk, patuh, dan menyerah terhadap UU tersebut. Jika melawan, siap berhadapan dengan aparat penegak hukum (APH) dan masuk jeruji besi. Di sini yang berlangsung bukan demokrasi tetapi pseudo democracy. 

Terlepas dari aspek formalitas proses pembuatannya, secara substantif sebenarnya persoalan penghinaan terhadap penguasa ini bukan barang baru. KUHP sekarang pun juga mengatur soal larangan penghinaan terhadap pejabat publik tersebut di muka umum. Pada prinsipnya siapa pun sebenarnya dilarang untuk menghina orang lain apalagi pejabat publik. Yang menjadi persoalan itu bentuk-bentuk penghinaan yang tidak jelas sehingga pasal ini dapat dimaknai "ngaret". Penerapannya sangat tergantung rezim penguasa dan ketentuan pasal ini berpotensi membungkam suara kritis dari warga masyarakat. Intinya justru kontraproduktif dengan proses demokratisasi di negeri ini bahkan cenderung represif sesuai syahwat penguasa. 

Efek UU jika didominasi syahwat penguasa adalah bahwa hukum akan dijalankan secara represif sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan rezim. Ketika hukum dimanfaatkan sekadar sebagai alat legitimasi sosial maka akan sulit diharapkan peran partisipasi rakyat dalam PPP secara optimal. Akhirnya, penggunaan UU jauh dari tujuan menyejahterakan rakyat. 

Penerapan hukum represif akan digunakan oleh rezim berkuasa untuk membungkam suara kebenaran dan keadilan rakyat, serta dipakai untuk menyingkirkan lawan-lawan poltik. Dipakai sebagai alat gebuk kekuasaan. Ketika hukum sudah didominasi oleh syahwat kekuasaan maka hubungan pemerintah dengan rakyat ibarat hubungan antara bangsa penjajah dengan bangsa yang dijajah. Rakyat akan diperas dan dijadikan musuh bahkan pihak tertentu akan digiring agar menjadi common enemy. Equality before the law, presumption of innocence, non-retroactive principle are just the myth that daily lie. 

Pada akhirnya perlu ditegaskan bahwa penerapan delik penghinaan yang berlebihan terkait hak warga negara menyampaikan pendapat atau kritik terhadap pemerintah atau kebijakan pejabat publik akan mematikan demokrasi secara perlahan. Sebaliknya, penggunaan hak warga negara untuk menyampaikan kritik secara berlebihan terhadap pejabat negara dan pemerintah akan melahirkan sikap anarkis. Di sinilah relevansinya penerapan delik penghinaan secara proporsional dengan pengayoman terhadap masyarakat.

Strategi Pembentukan UU agar Memperoleh Legitimasi dan Dipatuhi Rakyat

Peraturan perundang-undangan dibentuk dan ditujukan kepada masyarakat. Dengan kekuatan mengikatnya, ia dapat memberikan suatu kewajiban kepada masyarakat untuk melakukan sesuatu. Dalam sistem saat ini, peraturan perundang-undangan tidak hanya sebagai produk yang dibentuk oleh lembaga perwakilan rakyat. Namun juga dibentuk pula bersama dengan masyarakat, karena lembaga perwakilan dalam sistem demokrasi dapat menjadi kekuatan oligarki yang membawa akibat pada kondisi masyarakat yang tidak melegitimasi atau tidak mengakui produk hukum yang telah dihasilkan oleh lembaga ini.

Oleh karena itu, untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang memiliki legitimasi atau akar sosial yang kuat guna meminimalisir adanya penolakan saat atau telah diundangkan, maka dalam proses pembentukannya harus memberikan hak sekaligus akses kepada masyarakat untuk memberikan masukan. Hak masyarakat ini telah diatur dalam Pasal 28 D UUD 1945 yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.

Menurut Solly Lubis, peraturan hukum itu dinilai perfect (sempurna) jika dipenuhinya syarat-syarat berikut ini:

Pertama, memberikan keadilan bagi yang berkepentingan, misalnya apakah kalangan buruh, petani, nelayan, pedagang kaki lima, kaum perempuan, para guru dan dosen, merasa bahwa dengan kehadiran peraturan hukum itu maka kepentingannya akan benar-benar dilindungi.

Kedua, memberikan kepastian hukum. Bahwa dengan berlakunya peraturan itu akan jelas batas- batas hak (recht, right) dan kewajiban (plicht, duty) semua pihak terkait dalam sesuatu hubungan hukum (rechtsbetrekkingen), misalnya dalam hubungan perburuhan, hubungan perkawinan, borong kerja, dan sebagainya.

Ketiga, memberikan manfaat yang jelas bagi yang berkepentingan dengan kehadiran peraturan itu. Umumnya, jika dua syarat terdahulu sudah dipenuhi maka syarat yang ketiga ini akan dipenuhi juga.

Pasal 28 D UUD NRI Tahun 1945 telah telah mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Hal ini membawa akibat bahwa segala peraturan perundang-undangan yang dibentuk memberikan hak kepada setiap orang untuk memberikan aspirasinya dan memberikan kewajiban kepada negara bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan dengan transparan. Masyarakat berhak memberikan masukan baik dalam bentuk tulisan dan/atau lisan pada pembentukan peraturan perundang-undangan. Masyarakat yang dimaksud adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan
perundang-undangan. 

Termasuk dalam kelompok orang antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Hal ini telah termuat dalam Pasal 96 beserta penjelasannya dari UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan secara ideal dilakukan dalam setiap tahapnya. Namun secara maksimal dapat dilakukan pada tahap perencanaan, penyusunan, dan pembahasan. Tahap pengesahan dan pengundangan secara maksimal kurang dapat dilakukan partisipasi masyarakat sebab pada tahap tersebut sudah tidak membahas substansi dan hanya bersifat formal agar peraturan perundang-undangan secara formal dapat dikatakan sah mengikat secara umum.

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai hak masyarakat untuk mempengaruhi substansi peraturan perundang-undangan dilakukan dengan komunikasi dua arah antara pembentuk perundang-undangan dengan stakeholder (pemegang
kepentingan). 

Dilihat dari tiga tahap pembentukan
peraturan perundang-undangan yang dilihat secara maksimal dapat dilakukan partisipasi masyarakat yaitu perencanaan, penyusunan, dan pembahasan, yang mana komunikasi antara pembentuk peraturan perundang-undangan dan pemegang kepentingan dapat dikonsepkan sebagai berikut.

Pertama, tahap perencanaan.
Pada tahap ini, produk hukum direncanakan untuk dibentuk dalam beberapa waktu ke depan dengan memasukannya dalam dokumen yang disebut Program Legislasi Nasional apabila itu undang-undang. Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) apabila itu Peraturan Daerah, baik pada tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota. 

Partisipasi masyarakat dalam tahap ini dilakukan baik dalam penyusunan prolegnas/propemperda di tingkat pemerintah/pemerintah daerah, penyusunan prolegnas/propemperda di tingkat DPR/DPRD dan penyusunan bersama, yang mana harus dilakukan dengan transparan dan memberikan informasi yang masif kepada masyarakat.

Informasi yang masif adalah informasi yang disebarkan dengan melihat kondisi/kemampuan masyarakat secara umum untuk memperoleh informasi. Masyarakat yang memberikan masukan baik berupa tertulis dan/atau lisan ditampung dan dibahas secara internal, yang nantinya disampaikan kepada masyarakat (individu, kelompok) yang memberikan masukan bahwa gagasannya diterima atau ditolak beserta alasan-alasannya.

Kedua, tahap penyusunan.
Pada tahap ini dibentuknya rancangan produk hukum (Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah). Rancangan peraturan perundang-undangan wajib disebarluaskan tanpa terkecuali secara masif. Hal ini agar rancangan peraturan perundang-undangan menjadi konsumsi publik dan pembentuknya mengetahui ketentuan mana yang menjadi pro kontra di tengah masyarakat.

Ketiga, tahap pembahasan.
Pada tahap ini, rancangan peraturan
perundang-undangan mulai dibahas. Partisipasi masyarakat pada tahap ini dilaksanakan dengan memperhatikan pula masukan yang mungkin ada pada tahap-tahap sebelumnya.

Pada tahap ini masukan masyarakat dilakukan paling sering dengan rapat dengar pendapat. Namun kelemahannya adalah terkadang pembentuk peraturan perundang-undangan hanya memilih pemangku kepentingan yang mendukung adanya rancangan peraturan perundang-undangan yang dibentuk. Sehingga pembahasan tidak komprehensif, hasil kurang legitimate, karena pembentuk peraturan perundang-undangan mengakomodir partisipasi masyarakat hanya secara formalitas saja. 

Pada tahap ini, hendaknya partisipasi masyarakat dilakukan secara lebih substantif dengan melihat secara menyeluruh pemangku kepentingan baik yang pro atau kontra, dan menemukan titik temu substansi peraturan perundang-undangan.

Selain itu, masukan yang didapatkan diolah serta diputuskan untuk diakomodir atau tidaknya harus diberitahukan kepada pemangku kepentingan terkait yang memberikan masukan dengan memberikan pula alasan diterima atau ditolak. 

Pada intinya, hak masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu partisipasi masyarakat dilakukan secara komunikatif dua arah antara pembentuknya dengan pemangku kepentingan. Suatu yang penting untuk kedepannya pula bahwa pemangku kepentingan dalam partisipasi masyarakat pada pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilihat secara menyeluruh oleh pembentuk peraturan perundang-undangan dan harus mempertimbangkan dari berbagai sisi, baik pemangku kepentingan yang mendapatkan manfaat dari pembentukan ini maupun pihak lain yang berpotensi mendapatkan dampak negatif paling besar dari proses ini.

Demikian strategi pembentukan suatu UU agar memperoleh legitimasi dan dipatuhi rakyat di sistem pemerintahan yang berlangsung saat ini, yaitu dengan melibatkan partisipasi publik.  

Adapun dalam sistem Islam, partisipasi publik juga diberikan ruang. Masyarakat boleh secara langsung menyampaikan atau melalui perwakilannya di Majelis Umat. Hanya saja proses penyerapan aspirasi masyarakat ini ada perbedaan di antara kedua sistem tersebut. 

Dalam sistem Islam, persoalan yang telah diatur jelas dan diketahui hukumnya berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak memberikan ruang bagi manusia untuk mendiskusikannya lagi. Sementara dalam sistem demokrasi saat ini, apapun bisa dipersoalkan bahkan hingga melabrak halal-haram. 

Kemudian dalam sistem Islam, masyarakat melalui wakilnya di Majelis Umat bisa memberikan masukan/aspirasi kepada khalifah terkait pembuatan suatu kebijakan. Dan pemutus aturan tetaplah khalifah, baik dia melakukan ijtihad sendiri atau dibantu mujtahid. Semuanya dalam kerangka dan berdasarkan hukum Allah SWT.  

Sementara dalam demokrasi, lembaga perwakilanlah yang membuat hukum, tentu berdasarkan olah pikir mereka sendiri atau berbagai kepentingan manusia lainnya yang mengitari.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar