Jika Mahkamah Konstitusi Penjaga Tirani Kekuasaan, Layakkah Dibubarkan?


TintaSiyasi.com -- Tagar #WajibBubarkanMK menjadi trending topic di Twitter setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak belasan permohonan judicial review (JR) atau uji materi soal presidential threshold (PT) alias ambang batas pencalonan presiden 20 persen menjadi 0 persen. 

Sejumlah warganet dan tokoh menyoroti hal tersebut. Menurut Helmi Felis (pegiat media sosial), tagar ini merupakan strong message rakyat, wujud penegasan bahwa rakyat menghendaki MK dibubarkan. Bahkan masyarakat tak lagi memohon tapi memerintahkan rezim agar MK dibubarkan (wartaekonomi.co.id, 13/7/2022).  

Kekeuhnya MK meski telah digugat belasan kali memicu kecurigaan sebagian kalangan bahwa rezim saat ini diduga dikendalikan oleh oligarki. Ketua DPD RI, A.A. LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai, penolakan MK terhadap gugatan atas Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang PT 20 persen berarti MK sengaja memberi ruang kepada oligarki ekonomi untuk menyandera dan mengendalikan negara ini berpihak dan memihak kepentingan mereka. Sehingga sudah sepantasnya MK dibubarkan karena tak lagi menjaga negara dari kerusakan akibat produk perundangan yang merugikan rakyat dan menyebabkan kemiskinan struktural di negeri ini (pontas.id, 5/6/2022)

Sebelumnya, Mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli menyebut pembubaran MK perlu dipertimbangkan setelah masa jabatan Presiden Jokowi berakhir. Pasalnya, MK tak lagi mampu menegakkan konstitusi. Bahkan justru menjadi penjaga tirani kekuasaan (fajar.co.id, 13/5/2022).  

Jika MK tak lagi sebagai penjaga konstitusi (constitution guardian) tetapi telah berubah menjadi penjaga rezim dan lingkarannya, lantas untuk apa dipertahankan? MK yang digadang-gadang sebagai pengawal konsep demokrasi pun realitasnya justru terbelenggu oleh oligarki. Pernyataan Peneliti MK, Nallom Kurniawan bahwa Indonesia adalah negeri demokrasi terbesar di dunia (detik.com, 10/10/2019) nampaknya tak relevan lagi. 

Tak dipungkiri, oligarki menjadi gaya rezim memerintah saat ini. Tepat bila Jefrey Winters menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia telah dikuasai oleh kelompok oligarki. Akibatnya sistem demokrasi di Indonesia semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk menyejahterakan masyarakatnya. Jadi sejatinya, hari ini negeri ini menganut demokrasi atau oligarki? Sampai kapan bangsa ini bertahan mengatakan bahwa demokrasi adalah harga mati?

Tak Lagi Penjaga Konstitusi, MK Menjadi Penjaga Rezim dan Oligarki

Kini, para pegiat demokrasi dan HAM di negeri ini menggaungkan narasi bubarkan MK. Mereka melihat MK bukan lagi sebagai penjaga konstitusi tetapi telah berubah menjadi penjaga rezim dan oligarkinya. Mereka kecewa atas puluhan putusan MK yang menolak tuntutan pembatalan Pasal 222 UU Pemilu terkait PT 20 persen. 

Putusan MK sangat klasik, konvensional, dan cenderung menggunakan mantra hukum modern dengan dalil black letter law. Putusannya berputar dari tiga opsi: (1) NO (Niet Ontvankelijke Verklaard yang merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil), (2) tidak punya legal standing, (3) alasan open legal policy. 

Atas ketidakpuasan terhadap putusan yang berulang kali sama tersebut, para pencari keadilan akhirnya tidak percaya kepada majelis hakim MK bahkan menuntut agar MK dibubarkan. Rakyat masih ingat atas sikap MK yang menolak permohonan judicial review Perppu Ormas, disusul kekecewaan rakyat terhadap putusan MK tentang UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat, dan kini putusan MK menolak tuntutan atas pembatalan Pasal 222 UU Pemilu terkait PT 20 persen. 

Kita perlu prihatin karena terkesan MK telah kehilangan marwah, karena para hakim MK bertindak seperti hakim biasa yang tidak mau bahkan takut melakukan terobosan hukum bahkan terkungkung oleh bunyi-bunyi mantra peraturan yang jika diterapkan tidak akan menghadirkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people). 

Hukum sering menjadi sebuah mantra ajaib dapat dipakai oleh penguasa sebagai sarana melanggengkan kekuasaannya (status quo). Mantra ini bisa mengoyak siapa pun penghalang yang menghadang kekuasaan. Dengan dalih atas nama hukum, semua mulut yang terbuka bisa dibungkam, tangan yang membentang bisa diringkus, dan langkah kaki pun bisa dihentikan. Hukum dipakai sebagai tameng kekuasaan yang biasa disebut alat legitimasi kekuasaan. Oleh Brian Z. Tamanaha disebut sebagai the thinnest rule of law (ROL). 

Mantra ROL paling tipis ini akan lebih dahsyat ketika diilhami oleh ideologi yang diklaim sebagai sosok mulia laksana berhala yang hendak disembah-sembah lantaran dianggap sebagai kalimah suci yang dianggap mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Ideologi suci dan mantra ROL telah berkolaborasi menikam jantung misi negara hukum itu sendiri. 

Akhirnya, misi negara hukum menjelma sebatas mengagungkan tameng kekuasaan bernama black letter law. Bukan pada penghormatan (to respect), pemenuhan (fulfill), dan perlindungan (protect) yang dirangkum dalam human right dignity. 

Lompatan raksasa dari misi ROL yang tertinggi adalah tidak sekadar berorientasi pada legitimacy dan human right dignity tetapi mewujudkan social welfare. Ini yang disebut sebagai the thickest rol. Hal ini tidak mungkin dicapai ketika jalan menuju negara hukum justru secara paksa dibelokkan (bifurkasi) ke arah negara kekuasaan. Jurang tengah menanti jatuhnya negara hukum ketika pilar-pilar negara hukum mulai dirobohkan oleh penguasa yang hendak melanggengkan tampuk kepemimpinannya. 

Inilah kalau hukum itu bersifat represif, bukan responsif apalagi progresif. MK yang seharusnya bisa membaca hukum dengan moral (moral reading) ternyata sama dengan peradilan lainnya. Membaca hukum dengan kaca mata kuda. Mengagungkan cara berpikir secara automat mechanistic, yaitu mengandalkan bunyi UU sehingga hakim seolah hanya menjadi corong atau mulut UU (la bouche de la loi). 

Padahal sesuai UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa: hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. 

Ditambah aspek transendental dalam irah-irahan putusan hakim yang berbunyi: demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Hal ini bermakna bahwa hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya berdasarkan bunyi-bunyi pasal UU, melainkan diberi hak berinovasi dalam menyelesaikan perkara. Di sini tampak relasi antara negara dan agama dalam penegakan hukum di Indonesia. 

Demikianlah bila hakim (MK) tak memiliki karakter braveness (berani) dan vigilante (jiwa pejuang), maka impossible akan melakukan terobosan. Ia akan cenderung mengutamakan zona nyaman dan menjalankan hukum sebagaimana bunyi teks UU. Jangan harap ia berani membaca konstitusi dengan menggunakan moral. Hingga di tangan hakim seperti ini, hukum justru tunduk di bawah kekuasaan.

Dampak Putusan MK yang Menyimpang dari Tugas Penjaga Konstitusi terhadap Marwah Hakim dan Kelembagaan MK

Saat Ketua MK menyatakan diri di awal persidangan sengketa hasil Pilpres, bahwa beliau hanya takut kepada Allah, besar sekali harapan agar beliau lebih mengutamakan rasa keadilan daripada kepastian hukum (dalam state law). Mungkin sekarang beliau tetap merasa keputusannya telah on the track, merasa menghadirkan keadilan di tengah masyarakat karena fokus pada hasil perolehan suara Pilpres dengan menyatakan berkali-kali bahwa dalil pemohon tidak beralasan, tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat dibuktikan menurut hukum. 

Kalimat hanya takut kepada Allah seharusnya dimaknai bahwa seorang hakim harus punya braveness dan vigilante. Braveness untuk  menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman) ketikadihadapkan dilema dalam conflict of interest. Vigilante adalah karakter untuk menjadi mujahid yang mengutamakan pembelaan terhadap kebenaran, kejujuran dan keadilan, apa pun taruhannya. 

Lalu hendak dikemanakan kalimat hanya takut kepada Allah, sementara realitasnya takut pada sesama manusia yang berkuasa dan kekuasaannya manusia. Masihkah kita berharap para hakim ‘berjihad’ menegakkan moralitas, khususnya keadilan dan kebenaran dalam berhukum? Mungkin putusannya itu memenuhi aspek legalitas, tetapi sebenarnya tidak legitimate karena patut diduga ‘cacat secara moral’. 

Putusan MK yang menyimpang dari tugasnya sebagai penjaga konstitusi, tentu akan berdampak terhadap marwah hakim dan kelembagaan MK. Dampak tersebut antara lain:

1. Marwah (kehormatan) lembaga dan hakim MK runtuh di mata publik.

Ketika MK dipercaya sebagai penjaga konstitusi yang menjadi sarana pengaturan kepentingan dan pencapaian kesejahteraan rakyat tidak mampu memelihara independensinya, hingga justru memihak kepentingan rezim dan oligarki, maka sejatinya MK telah meruntuhkan marwahnya sendiri di hadapan publik. 

2. Trust (kepercayaan) publik terhadap lembaga dan hakim MK kian ndlosor.

Fungsi MK adalah menjamin tidak ada produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi agar hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi juga terkawal. Jika UU atau salah satu bagiannya terbukti tak selaras dengan konstitusi (UUD ’45), maka produk hukum tersebut akan dibatalkan MK. 

Namun realitasnya, MK tetap menolak gugatan JR produk hukum yang isinya bertentangan dengan konstitusi seperti soal dana pandemi atas JR Pasal 27 UU No. 2 Tahun 2020, juga soal omnibus law UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Bila fungsi tak berjalan, mungkinkah trust didapatkan?

3. Seruan pembubaran MK oleh rakyat.

Sepertinya saat ini telah terjadi akumulasi distrust pada sebagian kalangan masyarakat. Sehingga mereka tak segan berteriak agar MK dibubarkan. MK dinilai bagian dari rezim. Penolakan gugatan JR PT 20 persen menjadi buktinya. Bukan satu dua gugatan, tapi belasan gugatan ditolak MK. Sementara PT 20 persen diduga sebagai cara politik licik rezim untuk terus berkuasa. 

UU kepentingan rezim lainnya juga sulit digoyahkan. Wajar jika publik khawatir cengkeraman kekuasaan terhadap MK. Apalagi Ketua MK sekarang menjadi adik ipar presiden. Meski berkilah akan tetap profesional, siapa yang percaya? Dulu saat teriak hanya takut kepada Allah saja, aroma kecurangan sangat terasa. Akibat pernikahan politis ini diduga kuat akan muncul conflict of interest. Jika rakyat kian sulit mempercayai independensinya, salahlah jika mereka menyerukan MK bubar?

Demikianlah dampak putusan MK yang menyimpang dari tugas penjaga konstitusi terhadap marwah hakim dan kelembagaan MK. Tentu kita prihatin, lembaga peradilan seistimewa MK saja tak mampu independen dalam menjalankan fungsinya. Justru menjadi penjaga tirani kekuasaan dan seolah memfasilitasi terjadinya kejahatan politik melalui hukum yang berlaku di negeri ini.  

Solusi Menjaga Marwah Hakim dan Kelembagaan MK agar Tidak Kehilangan Orientasi Menjaga Konstitusi

Untuk merealisasikan misinya mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan konstitusi yang independen, imparsial, dan adil, MK membutuhkan orang-orang yang memiliki integritas dan kualitas keilmuan yang tinggi. Selain itu, seluruh elemen yang ada di internal MK terutama para hakimnya harus mampu menjaga marwah dan kemuliaan lembaga ini agar dapat melahirkan putusan-putusan yang mencerminkan keadilan dan menjunjung kebenaran. 

Sekalipun secara hierarki kelembagaan, MK setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, tetapi jika dilihat dari tugas dan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, maka menjaga marwah dan kewibawaan lembaga ini urgensinya melebihi dari lembaga-lembaga lainnya. Solusi menjaga marwah hakim dan kelembagaan MK agar tidak kehilangan orientasinya menjaga konstitusi antara lain:

1. Secara mendasar memahami bahwa seorang hakim adalah penegak keadilan. 

Tak hanya adil di mata publik, namun memiliki pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT atas apa yang diputuskannya. Allah SWT berfirman dalam QS. An Nisa’: 135, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

2. Memahami kembali bahwa posisi hakim MK haruslah seorang negarawan (Pasal 24C ayat 5 UUD 1945).

Ini sesuatu yang tidak dipersyaratkan untuk jabatan publik lainnya, kecuali hanya untuk hakim MK. Persyaratan ini tentu bukan sesuatu yang berlebihan, mengingat tanggung jawab hakim MK dalam melakukan penafsiran konstitusi yang bukan sekadar secara gramatikal/ tekstual, tetapi juga menggali nilai-nilai moral yang terkandung dalam konstitusi itu sendiri. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian, keluasan ilmu, dan kematangan jiwa. 

Bagi hakim negarawan, jabatan dipandang sebagai amanah dan alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Maka ia tidak akan melakukan segala cara apalagi menghalalkan segala cara demi meraih jabatan-jabatan tertentu. 

3. Sistem seleksi harus menjadi perhatian serius.

Proses seleksi hakim MK merupakan pintu masuk utama untuk menjaring calon-calon yang berkualitas. Apabila di level ini terjadi penyimpangan dan intervensi politik, maka sulit mengharapkan calon hakim MK terpilih adalah seorang negarawan.

4. Standar etik para hakim MK harus menjadi perhatian utama.

Hakim konstitusi bukanlah rakyat biasa yang bisa bertemu dengan semua orang. Mereka harus dijaga bersih dari tekanan dan berbagai tawaran curang dalam tugasnya. Dewan Etik MK harus bekerja lebih keras agar para hakim MK tidak bermain mata. 

Demikianlah beberapa solusi praktis untuk menjaga marwah hakim dan kelembagaan MK agar tidak kehilangan orientasinya menjaga konstitusi. Namun sebaik-baik mekanisme yang dibuat, jika demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menaungi, maka menjadi peluang bagi siapa pun yang berkuasa, termasuk hakim MK, untuk bertindak SSK (suka-suka kami). Sebagai aturan yang bersumber dari manusia yang penuh kelemahan, demokrasi memiliki cacat bawaan. Tak berdasar prinsip halal-haram, tapi mengadopsi paham kebebasan, manfaat, dan keuntungan materiil.

Bila menghendaki terwujudnya sistem hukum berikut lembaga peradilan dan hakim yang berpihak pada kemaslahatan rakyat, hal itu akan terwujud nyata dalam sistem Islam yang menerapkan aturan Allah SWT secara kaffah. Individu yang terbina iman takwanya, masyarakat yang gemar beramar makruf nahi mungkar, serta keberadaan negara yang menerapkan hukum Islam, inilah pilar-pilar yang membawa manusia pada cita-cita kesejahteraan dan kebahagiaan, dunia dan akhirat.


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analisis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar