Citayam Fashion Week: Inikah Fenomena Legitimasi Liberalisasi Mereduksi Visi Generasi?


TintaSiyasi.com -- Yang penting viral! Yang penting FYP (for your page)! Hal itu telah membuat banyak orang mengejarnya hingga menanggalkan aturan dan koridor sebagaimana mestinya. Sebagai contoh yang tengah viral baru-baru ini, Citayam Fashion Week (CFW) telah menjadi ajang kontestasi generasi untuk unjuk gigi. Saking semangatnya mengejar eksistensi, mereka tak segan-segan melakukan hal-hal yang memalukan hingga mengundang kemaksiatan. 

Tetapi, keberadaan CFW tidak akan seviral ini apabila para influencer, artis, pejabat publik, dan media-media mainstream tidak turut mempromosikannya. Bahkan, artis papan atas sekelas Baim wong dan istrinya ikut-ikutan latah ingin mendaftarkan CFW ke Kemenkumham agar mendapatkan hak kekayaan intelektual (HAKI). Itu pun menuai pro dan kontra sana sini. Hingga Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat pun ikut berkomentar supaya Baim Wong tidak mendaftarkan CFW ke HAKI. Kata Ridwan Kamil, tidak semuanya harus dipatenkan.

Halo! Seharusnya pejabat publik dan tokoh lebih peka lagi soal keberadaan CFW yang mulai diikuti di beberapa daerah tersebut. Ini bukan soal fashion dan materi saja, tetapi ada ajang liberalisasi generasi, yang pastinya akan merusak visi generasi sebagai penerus dan pembangun peradaban. Bukannya melegitimasi, seharusnya pemerintah segera ambil sikap, sebelum generasi makin liar dan hilang kendali.

Di Balik Fenomena Citayam Fashion Week yang Menyedot Perhatian Publik

Berawal dari remaja-remaja yang suka nongkrong dan bikin konten di Tiktok, viral dan akhirnya menyedot perhatian publik. Dikonfirmasi dari beritasatu.com (21/7/2022), semakin indah kawasan Sudirman khususnya kawasan Stasiun Dukuh Atas, Stasiun Sudirman dan Terowongan Jalan Kendal belakangan heboh dengan adanya rombongan remaja asal Citayam, Bojong, Bogor dan sekitarnya yang kerap nongkrong dan menghabiskan malam di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Dukuh Atas, Kelurahan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mereka tak sekadar nongkrong, tetapi juga bikin konten untuk diunggah di media sosial seperti Tiktok dan sebagainya.

Jika dilihat dari pembangunan tata kelola perkotaan di sana, maka wajar banyak yang menjadikan wilayah tersebut sebagai tempat bikin konten. Karena memang fasilitas di sana mendukung, tetapi karena rendahnya taraf berpikir masyarakat hari ini, berpengaruh pada konten yang mereka buat. Dikatakan rendah bukan tanpa sebab, pada faktanya budaya dan tren yang berkembang saat ini adalah tren kebebasan. Makin bebas dan mampu menunjukkan eksistensi kebebasannya, maka makin menyedot perhatian publik. Hal itu pun diamini dengan pandangan hidup dan sistem yang diterapkan saat ini. Yakni, kapitalisme sekuler liberalistik telah menjadi jantung kehidupan saat ini.

Remaja-remaja Muslim yang seharusnya bangga dengan identitasnya, telah kehilangan jati dirinya. Bahkan, peran mereka ditunggangi kepentingan kapitalisme sekuler untuk mengkampanyekan kebebasan yang mereka suarakan. Jika membahas kebebasan, maka kebebasan itu hanyalah untuk mereka pelaku kemaksiatan yang ingin dilegitimasi pelanggaran. Tetapi, bagi umat Islam yang bangga dengan identitasnya, justru sering mendapatkan tudingan radikal, intoleran, dan teroris. Inilah gambaran kejamnya zaman di bawah payung kapitalisme sekuler.

Kapitalisme sekuler telah membajak peran generasi muda yang semula sebagai pembangkit dan pembangun peradaban menjadi budak-budak industri kapitalistik yang menggembar-gemborkan kebebasan di atas segala-galanya. Generasi salah asuh, liar, dan sulit dikendalikan adalah hasil didikan sistem kapitalisme yang makin ke sini, makin hilang urat kemaluannya. Kemaksiatan, kedurhakaan, dan kebrutalan yang seharusnya membuat mereka malu, malah jadi ajang kontestasi dalam konten-konten yang dijajakan di media sosial. Lalu siapa yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negeri ini ke depan?!

Dampak Citayam Fashion Week bagi Generasi

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang turut berjalan di kawasan Sudirman telah menambah angin segar fenomena Citayam Fashion Week yang tengah viral baru-baru ini. Begitu pula deretan para artis dan tokoh publik yang ikut menanggapi CFW. Pro kontra gelaran itu pun ramai diperbincangkan di media sosial. Pasalnya, banyak warganet yang mengeluhkan lajur transportasi di sana. 

Dari menambah kemacetan dan kerumunan menjadi masalah yang memicu kemarahan pengguna jalan. Begitu pula tren tersebut yang diikuti di beberapa daerah lain, seperti di Tunjungan Surabaya juga menuai ketidaknyamanan pengguna jalan. Dampak dari fenomena CFW bukan sekadar dampak biasa, sejatinya ada beberapa poin berikut ini. 

Pertama, ajang penokohan yang merusak generasi. Yang mereka pertontonkan di CFW tak lebih adalah gaya hidup hedonis dan liberalis. Bahkan, Roy Citayam pun menolak beasiswa sekolah yang ditawarkan Sandiaga Uno. Sungguh ironis, lalu akan jadi apa mereka ke depan, jika tanpa didikan dan aturan seperti itu.

Kedua, ajang kampanye L6BT. Banyak remaja laki-laki yang berpakaian perempuan berlenggak-lenggok dan berjoget di area tersebut. Padahal seharusnya mereka menjadi pilar pembangun peradaban. Akan jadi apa negeri ini, jika kaum Adam kehilangan jati dirinya sebagai seorang laki-laki? Bayangkan, tidak hanya lemah akidahnya, tetapi krisis identitas yang menyebabkan mereka berpenampilan tidak sebagaimana mestinya. L6BT ini juga akan menggerus dan memusnahkan generasi di masa mendatang. Bagaimana akan melahirkan generasi emas, jika virus L6BT meracuni generasi masa kini?

Ketiga, ajang kampanye gaya hidup sekuler, hedonis, dan liberalis. Di balik hebohnya CFW sejatinya ada gaya hidup sekuler, hedonis, dan liberalis yang sedang dipromosikan dan dikuatkan. Kalau dulu terkenal karena memiliki prestasi, sekarang sudah tidak lagi. Yang penting eksis, yang penting terkenal, walaupun tak punya prestasi. Bahkan, ada pula yang melanggar aturan demi menuai sensasi dan popularitas. Inilah krisis identitas yang mendera generasi zaman sekarang. Hanya mengejar kebahagiaan semu yang justru jadi bumerang di kehidupan masa depannya. 

Keempat, pembajakan potensi generasi bukti gagalnya pendidikan di negeri ini. Bukannya diapresiasi, seharusnya pemangku kebijakan sadar, fenomena anak nongkrong tidak sekolah sampai seviral ini adalah bukti gagalnya pendidikan di negeri ini. Di mana tujuan pendidikan? Akan dibawa ke mana generasi muda jika tidak mau sekolah dan hanya hobi bikin konten yang jauh dari kata mendidik ini? Hal ini harusnya jadi tamparan keras Menteri Pendidikan di negeri ini. Pendidikan untuk semua ternyata tidak dirasakan oleh semua anak bangsa negeri ini, bahkan ada yang tidak mau sekolah.

Kelima, krisis identitas karena gagalnya negara melindungi generasi muda. Seharusnya negara mampu melindungi generasi dari gempuran budaya Barat yang merusak. Tetapi, pada faktanya, negara malah ikut-ikutan arus globalisasi dan menjadi corong Barat dalam menyebarkan ide-ide Barat yang merusak generasi. Maka, sejatinya ini adalah ini adalah tanda keberhasilan Barat dalam merusak generasi negeri ini, notabene generasi muda yang mayoritas Muslim menjadi hilang identitasnya. 

Begitulah lima akibat fenomena CFW jika terus dibiarkan. Di sinilah seharusnya negara turut andil menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang mendera generasi bangsa. Merekalah sejatinya penerus estafet kepemimpinan bangsa dan pilar penjaga negara. Tetapi, jika mereka sudah teracuni paham-paham Barat yang merusak, bukannya menjadikan Barat sebagai penjajah yang merusak. Tetapi, justru menjadikannya tuan yang terus diikuti dan ditaati dengan melupakan keyakinan Islam yang seharusnya mereka pertahankan.

Strategi Islam dalam Mencetak Generasi Pembangun Peradaban Unggul

Kuat lemahnya generasi tergantung dengan sistem yang diterapkan di negeri tersebut. Karena sistem tersebut adalah cerminan dari ideologi yang diterapkan suatu bangsa. Begitu juga dengan Islam, Islam memiliki tuntutan dan tuntunan dalam mencetak generasi emas pemegang tamuk kepemimpinan di eranya. Generasi kesatria yang hanya takut kepada Allah subhanahu wataala dan mampu menaklukkan dunia memenangkan syiar Islam di atas bumi ini. 

Bagaimana Ali bin Thalib ra, yang menjadi panglima perang di usia mudanya. Bagaimana Khalid bin Walid yang mampu menjadi singa-singa di padang pasir mengalahkan kesombongan kaum kafir. Bagaimana Muhammad Al Fatih yang berhasil di atas perjuangan panjangnya dalam menaklukkan Konstantinopel. Bagaimana Mus'ab bin Umair ra, sahabat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam yang mampu membawa cahaya Islam di Madinah. Dan masih banyak lagi sahabat Nabi dan ulama-ulama Islam yang lebih layak dijadikan panutan daripada tokoh-tokoh instan yang hanya bermodal sensasi viral di media sosial. 

Strategi Islam dalam mendidik generasi emas adalah sebagai berikut. Pertama, penancapan akidah Islam yang kuat kepada benak generasi Muslim sejak dini. Kedua, memberikan pendidikan Islam sedini mungkin. Ketiga, mengajaknya terikat dengan hukum Islam sedini mungkin. Keempat, memahamkan Islam adalah agama sekaligus ideologi yang harus diemban umat Islam ke seluruh alam. Kelima, mengajaknya mendakwahkan Islam. Sebagai generasi Islam merekalah yang seharusnya menyebarkan dakwah Islam ke penjuru alam. Jangan sampai Islam, hanya dijadikan agama ritual semata. Tetapi, Islam harus dijadikan pemecah problematika kehidupan.

Selain, menancapkan akidah dan memberikan pendidikan Islam yang cukup, penjagaan generasi Islam yakni dengan menerapkan hukum Islam dalam segala aspek kehidupan, yakni dalam bingkai khilafah Islam. Keenam, negara menjamin terpenuhinya pendidikan Islam dan menjaga jiwa agar senantiasa terjaga dari pengaruh buruk yang mengancam generasi muda Muslim. Di sinilah pentingnya peran negara dalam mewujudkan dan mencetak generasi emas yang akan meneruskan estafet kepemimpinan Islam. Mereka adalah yang generasi yang memiliki visi melangit dan tangguh dalam menghadapi tantangan zaman. Semoga itu segera terwujud di negeri ini seiring dengan kembalinya kehidupan Islam. Aamiin ya Rabb.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Kapitalisme sekuler telah membajak peran generasi muda yang semula sebagai pembangkit dan pembangun peradaban menjadi budak-budak industri kapitalistik yang menggembar-gemborkan kebebasan di atas segala-galanya. Generasi salah asuh, liar, dan sulit dikendalikan adalah hasil didikan sistem kapitalisme yang makin ke sini, makin hilang urat kemaluannya. Kemaksiatan, kedurhakaan, dan kebrutalan yang seharusnya membuat mereka malu, malah jadi ajang kontestasi dalam konten-konten yang dijajakan di media sosial. Lalu siapa yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negeri ini ke depan?!

Negara turut andil menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang mendera generasi bangsa. Merekalah sejatinya penerus estafet kepemimpinan bangsa dan pilar penjaga negara. Tetapi, jika mereka sudah teracuni paham-paham Barat yang merusak, bukannya menjadikan Barat sebagai penjajah yang merusak. Tetapi, justru menjadikannya tuan yang terus diikuti dan ditaati dengan melupakan keyakinan Islam yang seharusnya mereka pertahankan.

Strategi Islam dalam mendidik generasi emas adalah sebagai berikut. Pertama, penancapan akidah Islam yang kuat kepada benak generasi Muslim sejak dini. Kedua, memberikan pendidikan Islam sedini mungkin. Ketiga, mengajaknya terikat dengan hukum Islam sedini mungkin. Keempat, memahamkan Islam adalah agama sekaligus ideologi yang harus diemban umat Islam ke seluruh alam. Kelima, mengajaknya mendakwahkan Islam. 

Sebagai generasi Islam merekalah yang seharusnya menyebarkan dakwah Islam ke penjuru alam. Jangan sampai Islam, hanya dijadikan agama ritual semata. Tetapi, Islam harus dijadikan pemecah problematika kehidupan. Selain itu, negara yang menerapkan sistem Islam secara paripurna sangatlah penting dalam mewujudkan generasi emas pilar pembangun peradaban.

#Lamrad
#LiveOpperessedOrRiseUpAgainst



Oleh: Ika Mawarningtyas
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo dan Direktur Mutiara Umat Institute 

Posting Komentar

0 Komentar