Adab Guru dan Adab Murid


TintaSiyasi.com -- Sobat. Murid harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak-akhlak yang hina dan sifat-sifat yang tercela. Sebab ilmu merupakan ibadah hati. Dia harus melepaskan diri dari berbagai kesibukan yang lain. Sebab selagi pikiran bercabang-cabang, maka kemampuannya menggali hakikat menjadi terbatas. Murid harus menyerahkan kendali dirinya kepada guru, seperti pasien yang menyerahkan penanganan dirinya kepada dokter. Karena itu dia harus merendahkan diri dan benar-benar menurut kepadanya.

Sobat. Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Di antara hak orang yang berilmu (guru) atas dirimu ialah hendaklah engkau mengucapkan salam kepada semua yang hadir dalam majelisnya dan memberi salam hormat secara khusus kepadanya, duduk di hadapannya, tidak menunjuk dengan tangan ke arahnya, tidak memandang secara tajam kepadanya, tidak terlalu banyak mengajukan pertanyaan, tidak membantunya dalam memberikan jawaban, tidak memaksanya jika dia letih, tidak mendebatnya jika dia tidak menginginkannya, tidak menggunjingnya di hadapan orang lain, tidak mencari-cari kesalahannya. Jangan sungkan-sungkan untuk berbakti kepadanya, jika diketahui dia mempunyai suatu keperluan, maka keperluannya harus segera dipenuhi. Kedudukan dirinya seperti pohon kurma, sedang engkau menunggu-nunggu apa yang akan jatuh darinya.”

Sobat. Orang yang menekuni suatu ilmu, sejak semula jangan ada niat untuk tampil beda dengan orang lain, karena niat ini bisa mengacaukan pikirannya dan membuyarkan konsentrasinya. Dia harus mengambil yang terbaik dari segala sesuatu. Sebab umurnya tidak memungkinkan untuk mendalami semua ilmu. Dia harus membulatkan tekadnya untuk memilih ilmu yang paling baik, yang tak lain adalah ilmu yang berkaitan dengan Allah dan berkaitan dengan akhirat.

Rasulullah SAW besabda :
Barangsiapa mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di hadapan para ulama, atau mendebat orang-orang yang bodoh, atau mengalihkan pandangan manusia kepada dirinya, maka dia berada di neraka” (HR At-Tirmidzi).

Sobat. Sedangkan para guru mempunyai beberapa tugas, di antaranya; menyayangi, menuntunnya seperti menuntun anak sendiri, tidak meminta imbalan uang, tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih, dia harus mengajarkan ilmu karena mengharap ridha Allah SWT, tidak melihat dirinya lebih hebat dari murid-muridnya, tetapi dia mau melihat bahwa adakalanya mereka lebih utama jika mereka mempersiapkan hatinya untuk bertaqarub kepada Allah dengan cara menanam ilmu di dalam hatinya, harus melihat bahwa murid adalah seperti sepetak tanah yang siap ditanami. Guru harus mengetahui tingkat pemahaman murid atau kapasitas dirinya, tidak boleh menyampaikan pelajaran di luar kesanggupan akalnya.

Diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda, “Aku diperintahkan untuk berbicara dengan manusia menurut kadar pemikiran mereka.” Jadi Guru harus berbuat sesuai dengan ilmunya, tidak mendustakan antara perkataan dan perbuatan.

Allah SWT Berfirman :

۞أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ (٤٤)

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah (2) : 44).

Latar belakang ayat ini menurut Ibnu 'Abbas adalah di antara orang-orang Yahudi di Medinah ada yang memberi nasihat kepada keluarga dan kerabat dekatnya yang sudah masuk Islam supaya tetap memeluk agama Islam. Yang diperintahkan orang ini adalah benar yaitu menyuruh orang lain untuk berbuat benar tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya. Maka pada ayat ini Allah mencela tingkah laku dan perbuatan mereka yang tidak baik dan membawa kepada kesesatan. Di antara kesesatan-kesesatan yang telah dilakukan bangsa Yahudi ialah mereka menyatakan beriman kepada kitab suci mereka yaitu Taurat, tetapi ternyata mereka tidak membacanya dengan baik.

Dalam ayat ini disebutkan bahwa mereka "melupakan" diri mereka. Maksudnya ialah "membiarkan" diri mereka rugi, sebab biasanya manusia tidak pernah melupakan dirinya untuk memperoleh keuntungan, dan dia tak rela apabila orang lain mendahuluinya mendapat kebahagiaan. Ungkapan "melupakan" itu menunjukkan betapa mereka melalaikan dan tidak mempedulikan apa yang sepatutnya mereka lakukan, seakan-akan Allah berfirman, "Jika benar-benar kamu yakin kepada Allah bahwa Dia akan memberikan pahala atas perbuatan yang baik, dan mengancam akan mengazab orang-orang yang meninggalkan perbuatan-perbuatan yang baik itu, mengapakah kamu melupakan kepentingan dirimu sendiri?"

Sobat. Cukup jelas bahwa susunan kalimat ini mengandung celaan yang tak ada taranya, karena barang siapa menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan kebajikan tetapi dia sendiri tidak melakukannya, berarti dia telah menyalahi ucapannya sendiri. Para pendeta yang selalu membacakan kitab suci kepada orang-orang lain, tentu lebih mengetahui isi kitab itu daripada orang-orang yang mereka suruh untuk mengikutinya. Besar sekali perbedaan antara orang yang melakukan suatu perbuatan padahal dia belum mengetahui benar faedah dari perbuatan itu, dengan orang yang meninggalkan perbuatan itu padahal dia mengetahui benar faedah dari perbuatan yang ditinggalkannya itu. Oleh sebab itu, Allah memandang bahwa mereka seolah-olah tidak berakal, sebab orang yang berakal, betapapun lemahnya, tentu akan mengamalkan ilmu pengetahuannya. 

Sobat. Firman Allah ini, walaupun ditujukan kepada Bani Israil, namun menjadi pelajaran pula bagi yang lain. Setiap bangsa, baik perseorangan maupun keseluruhannya, hendaklah memperhatikan keadaan dirinya, dan berusaha untuk menjauhkan diri dari keadaan dan sifat- sifat seperti yang terdapat pada bangsa Yahudi yang dikritik dalam ayat tersebut di atas, agar tidak menemui akibat seperti yang mereka alami.

Sobat. Di antara sifat para ulama yang ukhrawi hendaknya lebih banyak mengkaji ilmu tentang amal yang berkaitan dengan hal-hal yang membuat amal-amal itu menjadi rusak, mengeruhkan hati dan menimbulkan keguncangan. Sebab gambaran amal-amal itu dekat dan mudah, tapi yang sulit adalah membuatnya bersih. Sementara dasar agama ialah menjaga diri dari keburukan. Bagaimana mungkin seseorang bisa menjaga amal jika dia tidak tahu apa yang harus dijaganya?

Sobat. Di antara sifat para ulama akhirat ialah mengkaji rahasia-rahasia amal syariyah dan mengamati hukum-hukumnya. Dan mengikuti para sahabat dan para tabi’in yang pilihan serta menjaga diri dari hal-hal yang haram. []


Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
CEO Educoach, Penulis Buku Goreskan Tinta Emas, Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo, Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Posting Komentar

0 Komentar