Sri Lanka Tengah Bangkrut: Mampukah Indonesia Sadar, Utang Ribawi ke Asing Sumber Malapetaka?


TintaSiyasi.com -- Kabar kebangkrutan Sri Lanka bersahut-sahutan mengisi jagat media. Rumornya, Sri Lanka bangkrut akibat gagal bayar utang ke China. Benarkah itu yang terjadi? Ya, Sri Lanka gagal bayar utang, sehingga terjadi krisis ekonomi di sana. Sebelumnya ada lima negara yang bernasib sama, yakni Yunani, Islandia, Argentina, Rusia, dan Meksiko. Kompas.com (27/6/2022) mengutip, lima negara tersebut terancam bangkrut karena gagal bayar utang. Mereka selamat juga karena mendapatkan suntikan dana dari asing. 

Gonjang-ganjing kabar kebangkrutan Sri Lanka, mampukan menjadi pelajaran untuk Indonesia? Seharusnya ini menjadi peringatan keras untuk Indonesia. Peringatan keras bukan soal Indonesia harus tepat waktu ketika membayar utang, tetapi menjadi pelajaran sejatinya utang ribawi ke asing adalah pintu masuk penjajahan yang membahayakan.

Dikabarkan detik.com (27/6/2022), ekonomi Sri Lanka runtuh hingga dicap bangkrut. Negara berpenduduk 22 juta orang itu gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai US$ 51 miliar atau Rp 754,8 triliun (kurs Rp 14.800). Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kebangkrutan Sri Lanka harus menjadi peringatan serius bagi negara lain, termasuk Indonesia agar lebih memperhatikan kondisi utang.

Inilah sejatinya bahaya utang pada asing. Bunga riba menciptakan jebakan utang yang bisa membuat bangkrut dan krisis. Jika Indonesia tidak hati-hati karena pengelolaan yang buruk bisa mendatangkan musibah ekonomi seperti di Sri Lanka. Tercatat ULN Indonesia pada April 2022 sebesar US$ 409,5 miliar, turun dibandingkan posisi pada bulan sebelumnya US$ 412,1 miliar. Sejatinya ini utang ribawi ke asing ini sumber malapetaka. Karena menjadi pintu masuk penjajahan dan penjarahan asing ke Indonesia.

Berkaca dari Sri Lanka dan Memprediksi Kemungkinan Kondisi Indonesia ke Depan

Pencabutan subsidi, menutup kantor pemerintahan dan sekolah tengah terjadi di Sri Lanka. Tidak hanya itu, ancaman krisis pangan dan energi telah terjadi dan membuat warga berkecamuk di sana. Dikutip dari suara.com, pemerintah Sri Lanka kini resmi menyatakan bahwa negaranya mengalami kebangkrutan pada Kamis (23/6/2022). Laman berita The Guardian melaporkan bahwa Sri Lanka dinyatakan bangkrut setelah menghadapi kekurangan ketersediaan bahan pokok dari bahan bakar, listrik, hingga makanan.

Dikutip dari Kompas.com (27/6/2022), Sri Lanka bangkrut karena beberapa hal. Pertama, impor lebih besar daripada ekspor. Sri Lanka gagal mengelola ekonomi, karena besar pasak daripada tiang. Hal itu terjadi terus-menerus. Kedua, utang ke asing. Iming-iming pembangunan infrastruktur yang mewah membuat Sri Lanka pinjam uang ke China, inilah penyebab Sri Lanka terjerat utang. 

Ketiga, pemasukan sektor pariwisata akibat pandemi Covid-19 kecil. Sehingga Sri Lanka kekurangan sumber pemasukan. Keempat, tidak mampu memproduksi pangan. Sri Lanka tidak bisa impor karena ancaman krisis, larangan impor pupuk membuat produksi pangan mandeg. 

Dikutip dari CNNIndonesia (28/6/2022), China disebut sebagai negara pemberi pinjaman terbesar ke Sri Lanka dengan total nilai US$ 8 miliar atau setara Rp118,4 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS). Jumlah ini seperenam dari total utang luar negeri Sri Lanka sebesar US$45 miliar pada April 2022. Melansir Times of India, tahun ini saja, Sri Lanka utang US$1 miliar hingga US$2 miliar ke Negeri Tirai Bambu. Pemerintah Sri Lanka banyak meminjam dari Beijing sejak 2005 untuk sejumlah proyek infrastruktur, termasuk pelabuhan Hambantota. Namun, proyek infrastruktur tersebut dianggap tak memberi manfaat.

Hal senada tidak jauh berbeda dengan Indonesia, utang Indonesia ke IMF, negara asing lainnya maupun China cukup banyak. Pada Maret 2022, Indonesia memiliki utang sebesar 22 miliar dollar AS atau senilai Rp 322 triliun ke China (Kompas com, 29 Mei 2022). 

Indonesia melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran, bahkan proyek pindah ibu kota pun juga digadang akan dilakukan dengan mencari investor asing. Sejatinya inilah alarm malapetaka yang sedang dirancang Indonesia sendiri. Utang Indonesia tembus 7000 triliun. 

Dikutip dari CNBCIndonesia.com (27/6/2022), rasio utang Indonesia, saat ini masih dalam kondisi aman dan terkendali pada level 39,09 persen pada akhir April dan posisi utang mencapai Rp 7.040,32 triliun. 

Tidak ada yang aman dalam utang ribawi. Utang riba mengundang bencana, apalagi utang ini dilakukan oleh negara kepada negara kapitalis penjajah. Sejatinya pemerintah Indonesia sedang merencanakan kesengsaraan berlapis akibat utang ribawi ini. 

Tetapi, Indonesia merasa aman ketika utang jatuh tempo, mereka bisa membayar bunga utangnya. Padahal bahaya akibat utang ribawi ini datang dari Allah Subhanahuwa wata'ala yang mengancam pelaku riba. Sejatinya para pelaku riba sedang menabuh genderang perang terhadap Allah Subhanahuwa wata'ala. 

"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,” (QS Al-Baqarah: 275). Tak hanya hartanya yang akan menjadi haram, tetapi tindakan pemberi riba maupun penerima riba akan menerima status keharaman dari riba. Dari Jabir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim, nomor 2994). 

Riba menjadi pintu masuk penjajahan, penjarahan, dan penindasan. Inilah bahaya yang nyata mengancam mereka yang utang ribawi. Sebagaimana dalam surah Ani-Nisa, “Maka sebab penindasan yang dilakukan oleh orang Yahudi, maka kami haramkan kepada mereka harta yang baik-baik yang (sebelumnya) pernah diperbolehkan bagi mereka disebabkan tindakan mereka yang keluar dari jalan Allah, tindakan mereka dalam memungut riba padahal telah dinyatakan larangannya, dan tindakan mereka dalam memakan harta orang lain dengan jalan bathil (jalan yang tidak dibenarkan oleh syara). (Untuk itu) telah kami siapkan bagi orang-orang yang membantah perintah Allah ini (kafir) suatu azab yang pedih,” (QS. An-Nisa: 16). 

Sungguh ini adalah alarm bahaya. Seharusnya Indonesia menyetop utang pembayaran bunga bank dan cukup bayar pokoknya saja, karena memang haram hukumnya utang ribawi. Masihkah penguasa negeri ini ngeyel?

Karena, jika Indonesia tetap santai dan merasa aman terhadap utang ribawi yang sudah menyentuh angka 7000 triliun ini akan mengundang malapetaka untuk negerinya, utamanya rakyat yang seharusnya diriayah (dikelola) dengan benar. Mereka para pejabat diberi fasilitas wah di negera ini. Tetapi berbeda dengan rakyat yang akan berdampak besar jika krisis ekonomi itu terjadi. Lonjakan harga pangan, pajak naik, semua kena pajak, dan parahnya krisis multidimensi tidak dapat terhindarkan.

Alih-alih tobat dari utang ribawi, tetapi negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalistik justru sibuk mencari suntikan dana segar. Sejatinya, ini yang membuat sebuah negara dalam kendali penuh penjajahan asing. Rakyat jadi korban dan tumbal atas nama utang ribawi ke negara-negara asing. 

Banyak kebijakan-kebijakan yang diputuskan menzalimi rakyatnya sendiri dan menguntungkan kapitalis asing. Di sinilah kongkalikong penguasa dan pengusaha terjadi. Itulah kezaliman nyata yang masif, terstruktur, dan sistematis yang terjadi dalam sistem kapitalisme sekuler.

Dampak Utang Luar Negeri yang Berbasis Riba dan Ancaman Malapetaka Atasnya

Ancaman bahaya yang diundang akibat utang riba sudah dijelaskan dalam berbagai dalil-dalil Islam. Tetapi, lebih mengundang malapetaka lagi, jika itu dilakukan secara sistematis dalam bingkai negara. Sebagaimana yang terjadi saat ini. Ancaman yang nyata akibat utang riba tersebut dapat dijelaskan dengan beberapa poin berikut. 

Pertama, hegemoni asing makin kuat. No free lunch, tidak ada makan siang gratis. Begitulah gambaran sistem ekonomi kapitalisme. Ketika sebuah negara memberikan pinjaman riba pada suatu negara. Mereka menancapkan pengaruhnya. Hegemoni makin kuat, bahkan agar negara pengutang terus terbelenggu, tak segan-segan mereka senantiasa menawarkan utang ribawi secara terus-menerus. Agar negara tersebut bergantung padanya.

Kedua, utang ribawi adalah penjajahan dan penindasan. Hal tersebut sejatinya sudah diperingatkan dalam surah An-Nisa ayat 16. Tetapi, banyak yang tidak mengindahkannya. Negara asing yang mengucurkan dana tentunya memiliki dikte-dikte politik yang mereka tekankan kepada negara yang diberi utang. Sebagai contoh, pengelolaan sumber daya alam kepada asing adalah akibat dari utang ribawi keluar negeri. 

Mengapa dikatakan utang riba adalah awal dari penindasan dan penjarahan? Akibat utang riba tinggi. Bahkan, bunga utang lebih besar dari pokoknya memaksa sebuah negara untuk menjual aset-aset yang dimiliki dan mencabut subsidi para rakyatnya sendiri. Tak hanya itu, negara yang terjebak jatuh tempo tak segan-segan menaikkan pajak dan menarik pajak pada hal-hal lain demi menaikkan pendapatan negara untuk bayar bunga tersebut. Padahal pokok utangnya belum tersentuh. Tetapi, negara pemberi utang biasa meminta bunga utang dibayar terlebih dahulu. 

Ketiga, perampokan kekayaan negara, baik sumber daya alam atau aset-aset strategis lainnya. Atas nama utang, mereka melakukan banyak legitimasi politik dan ekonomi. Salah satunya adalah meminta negara yang diberi utang itu untuk mengkapitalisasi sumber daya alam ke asing. Padahal jika SDA itu dikelola sendiri, tentunya tidak perlu utang. Hal itulah yang terjadi. 

Tidak puas SDA sudah dikuasai. Asing pun masih cari cara agar negara-negara yang memiliki aset dan wilayah strategis terjebak utang. Yakni, dengan pemberian utang untuk membangun infrastruktur. Bayangkan, jika pembangunan infrastruktur utang keluar negeri, lalu negara tersebut tidak bisa bayar utang saking tingginya bunganya. 

Mungkinkah aset infrastruktur itu menjadi milik asing? Mungkin sekali, dan itulah yang terjadi. Ketika gagal bayar utang, cari pinjaman lagi dengan menjual aset infrastruktur tersebut. Andaikan semua infrastruktur tersebut dikuasai asing, lalu di mana kedaulatan negara tersebut?

Keempat, menciptakan jebakan utang (debt trap). Ketika utang jatuh tempo dan negara tersebut tak mampu bayar, yang dilakukan olehnya adalah mencari utangan lagi untuk menutup utangnya. Jadi, seperti gali lubang tutup lubang. Inilah yang menyebabkan mereka terjebak dan masuk ke lingkaran setan ribawi. Entah individu maupun negara, sejatinya begitulah jahatnya utang ribawi. Hal itulah yang harus dipahami akan bahaya ini.

Kelima, mengundang azab Illahi. Dalam sebuah hadis dinyatakan oleh Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani). 

Musibah apalagi yang diundang jika mereka tetap bergelimang utang ribawi. Atas nama hitungan ekonomi mereka dijebak agar terus utang dan seolah-olah ditipu dengan ungkapan rasio utang masih aman. Padahal satu rupiah yang dikeluarkan atas nama riba itu dosa besar. Bahkan dosa riba lebih besar dari seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Astaghfirullah, na'uzubillah.

Sesungguhnya utang ribawi subur berkembang, mendapatkan legitimasi hukum dan dilindungi undang-undang karena berada dalam sistem kapitalisme sekuler. Kapitalisme sekuler inilah penjaga utang ribawi. Sumber keuangan ekonomi kapitalisme adalah ribawi. Sejatinya itulah sumber malapetaka penjajahan, penindasan, perampokan penjajah kepada mereka yang dijajah. 

Oleh karena itu, solusi utang tersebut adalah cabut ekonomi kapitalisme ganti dengan ekonomi Islam. Tetapkan sistem Islam sebagai pengatur segala aspek kehidupan. Segala utang kepada luar negeri dihitung ulang. Bayar pokoknya saja dan jangan membayar bunga riba yang mereka tetapkan. Karena haramnya riba tidak hanya menimpa kepada yang menarik riba, tetapi juga yang membayar riba pun terkena. Jadi, haram membayar dan menerima riba. Satu-satunya yang dapat menyelamatkan dunia dari bahaya ribawi adalah dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiah.

Strategi Islam Mengatasi Krisis

Sistem ekonomi Islam dibangun dengan atas dalil-dalil syarak yang diturunkan Allah Subhanahuwa wata'ala melalui Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Tentunya Islam memiliki cara untuk mengatasi krisis. Karena ancaman krisis dalam sebuah negara itu tentu ada. Tetapi bedanya adalah negara kapitalisme sekuler mengundang bencana krisis itu akibat mencampakkan syariat Islam. Sehingga, mereka masuk ke lingkaran setan kapitalisme ribawi.

Berbeda dengan Islam, jika krisis mengancam negara Islam hal itu murni karena paceklik yang menimpa negaranya. Bukan karena akad-akad ribawi yang dilakukan. Karena jelas, dalam Islam haram hukumnya utang ribawi, apalagi utang tersebut diambil ke negara penjajah kafir. Sekalipun negara Islam ditimpa paceklik, negara yang menerapkan sistem Islam tidak akan melirik sedikit pun untuk mengambil utang ribawi tersebut. Karena umat Islam yang di dalam dirinya ada akidah Islam yakin, Allah Subhanahuwa wata'ala akan menolongnya dan Allah Maha Kaya. 

Berbicara soal sistem ekonomi Islam tahan krisis, kuat, tidak mudah ditumbangkan, dan diintervensi asing adalah sebagai berikut. Rapuhnya fundamentalisme dari sistem kapitalisme telah menunjukkan betapa bobroknya bangunan sistem ini. Apa yang menjadi kasalahan mendasar kapitalisme tidak akan dimiliki oleh sistem Islam, karena sebagai berikut.

Pertama, sistem Islam akan mengakhiri sistem mata uang kertas yang rentan terjadi fluktuasi dan tentu akan menghapuskan dominasi dolar sebagai standart nilai dan alat pembayaran perdagangan internasional. 

Sistem ekonomi Islam akan menjadikan dinar dan dirham sebagai nahkoda untuk alat pembayaran. Dinar dan dirham tersebut mempunyai nilai intrinsik dan ekstrinsik yang sama. Jelas ini mampu membuat ekonomi Islam kuat dan tak terbelenggu oleh dolar. Selain itu teruji memiliki fluktuasi yang sangat kecil.

Kedua, dalam sistem ekonomi Islam tidak dibenarkan adanya riba dalam segala aktivitas ekonominya. Sehingga sektor non riil yang menjadikan uang sebagai komoditas tidak dibenarkan dan jelas ditutup segala bentuk akad yang terdapat perjudian atau riba. Segala hutang piutang termasuk kegemaran hutang oleh negara untuk pembiayaan APBN tidak akan terjadi. Dari sini maka pintu terjadinya pelemahan ekonomi akibat beban pembayaran hutang dapat dikurangi. Secara politis, pintu untuk dikuasainya kedaulatan negara oleh asing juga dapat dicegah.  

Ketiga, syariat Islam akan menghapus sektor non riil seperti pasar saham yang penuh dengan spekulasi dan perjudian. Sistem ekonomi islam akan memaksimalkan usaha peningkatan laju pertumbuhan sektor riil saja.

Selain dari tiga hal tersebut, sistem ekonomi Islam sebenarnya memiliki paradigma mendasar yang bertentangan dengan sistem kapitalisme. Jika kapitalisme fokus pada peningkatan laju produksi untuk melihat terpenuhinya kebutuhan manusia atau tidak, atau dengan kata lain terpenuhinya kebutuhan secara kolektif  yang terlihat dari produksi dan pendapatan nasional maka dalam sistem islam yang menjadi fokus adalah sampai atau tidaknya distribusi kebutuhan pokok manusia kepada setiap individu warga negara. 

An Nabhani (2010) menyatakan bahwa yang perlu dibahas dalam sistem ekonomi adalah bagaimana memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok setiap individu, bukan bagaimana memproduksi barang-barang ekonomi. Maka fokus negara adalah tetap memastikan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok setiap individu, tidak perlu melihat indikator-indikator ekonomi kapitalis seperti pertumbuhan ekonomi, produksi kasar nasional dan sejenisnya yang selama ini menjadi tolak ukur keberhasilan ekonomi sebuah negara. 

Dengan demikian tidak perlu negara berbusa-busa dalam menyuntikkan stimulus fiskal untuk menyelamatkan neraca keuangan negara, terlebih sudah dihapuskannya ketergantungan pada dolar, utang piutang ribawi dan investasi pasar saham pada pembahasan sebelumnya. 

Sistem Islam juga mempersiapkan bangunan ketahanan yang kuat tatkala islam membagi kepemilikan dengan tiga jenis. Ada kepemilikan umum, negara, dan individu. Apa yang menjadi kepemilikan umum seperti tambang, hutan dan laut atau sejenisnyam tidak boleh dikuasai bahkan dimiliki oleh individu atau korporasi tertentu. Wilayah tersebut harus dikuasai oleh negara dan keuntungannya dikembalikan ke umat. 

Inilah yang terjadi pada sistem kapitalisme  yang zalim ini saat ini. Adanya kebebasan kepemilikan, telah menjadikan hak untuk umum atau negara telah dikuasai oleh segelintir orang saja. Akhirnya sumber-sumber pendapatan potensial yang harusnya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan umat hilang. 

Sebagai penutup, sistem ekonomi Islam selain bebas dari riba, juga mampu mewujudkan perdagangan yang sehat. Tentunya dengan meniadakan monopoli, kartel, mafia, penipuan, dan segala akad yang bertentangan dengan Islam. Hal tersebut akan mempercepat memulihkan kondisi ekonomi jika terancam krisis.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Jika Indonesia tetap santai dan merasa aman terhadap utang ribawi yang sudah menyentuh angka 7000 triliun ini akan mengundang malapetaka untuk negerinya, utamanya rakyat yang seharusnya diriayah (dikelola) dengan benar. Parahnya krisis multidimensi tidak dapat terhindarkan. Alih-alih tobat dari utang ribawi, tetapi negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalistik justru sibuk mencari suntikan dana segar. 

Sejatinya, ini yang membuat sebuah negara dalam kendali penuh penjajahan asing. Rakyat jadi korban dan tumbal atas nama utang ribawi ke negara-negara asing. Banyak kebijakan-kebijakan yang diputuskan menzalimi rakyatnya sendiri dan menguntungkan kapitalis asing. Di sinilah kongkalikong penguasa dan pengusaha terjadi. Itulah kezaliman nyata yang masif, terstruktur, dan sistematis yang terjadi dalam sistem kapitalisme sekuler.

Kedua. Sesungguhnya utang ribawi subur berkembang, mendapatkan legitimasi hukum dan dilindungi undang-undang karena berada dalam sistem kapitalisme sekuler. Kapitalisme sekuler inilah penjaga utang ribawi. Sumber keuangan ekonomi kapitalisme adalah ribawi. Sejatinya itulah sumber malapetaka penjajahan, penindasan, perampokan penjajah kepada mereka yang dijajah. 

Oleh karena itu, solusi utang tersebut adalah cabut ekonomi kapitalisme ganti dengan ekonomi Islam. Tetapkan sistem Islam sebagai pengatur segala aspek kehidupan. Segala utang kepada luar negeri dihitung ulang. Bayar pokoknya saja dan jangan membayar bunga riba yang mereka tetapkan. Karena haramnya riba tidak hanya menimpa kepada yang menarik riba, tetapi juga yang membayar riba pun terkena. Jadi, haram membayar dan menerima riba. 

Ketiga. Satu-satunya yang dapat menyelamatkan dunia dari bahaya ribawi adalah dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiah. Islam memiliki sistem ekonomi yang khas, berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis. Jika terjadi ancaman pandemi, maka sistem ekonomi islam dengan izin Allah semata akan mampu menanggulanginya. 

Sistem ini ditopang oleh dinar dirham sebagai mata uang, pengharaman berbagai transaksi ribawi, pelarangan investasi spekulatif di pasar saham. Selain itu paradigma yang dipakai adalah terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pokok setiap individu warga negara, bukan indikator pertumbuhan atau pendapatan nasional negara. []



Oleh: Ika Mawarningtyas
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo dan Direktur Mutiara Umat Institute

Materi Kuliah Online
Uniol 4.0 Diponorogo
Rabu, 29 Juni 2022 di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
#Lamrad
#LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar