Seputar Pemanfaatan Tanah Wakaf


TintaSiyasi.com -- Soal: 

Bolehkah membangun tempat bisnis di atas tanah wakaf?


Jawab:

Tanah wakaf hanya boleh dipakai sesuai niat dan tujuan muwaqqif mewakafkan tanah tersebut

Kalau wakafnya untuk pendidikan sekolah/pesantren, berarti hanya boleh digunakan untuk pendidikan sekolah/pesantren saja. Boleh juga membangun kantin, dapur, kamar mandi, dan lain-lain karena semua itu sebagai taba'iyyah penyempurna tempat pendidikan sekolah/pesantren, wa laisa maqsudan bidzatihi.


Soal: 

Bagaimana dengan memproduktifkan harta wakaf?


Jawab:

Pertama, memproduktifkan harta wakaf menurut para ulama adalah boleh. Keuntungan dari wakaf produktif tersebut dikembalikan untuk perkara yang menjadi tujuan wakaf (pesantren). Kentungan yang dimaksud adalah semua pemasukan (iuran pendidikan, kegiatan usaha, dan lain-lain) dikurangi oleh beban-beban (gaji guru, karyawan, sarpras, beban usaha, dan lain-lain). 

Kedua, kita boleh menyewakan tanah wakaf dan hasilnya harus dikembalikan lagi kepada sesuatu yang menjadi tujuan wakaf (pesantren).

Ketiga, kantin dan unit usaha lainnya yang dibangun di atas tanah wakaf, jika bangunan tersebut hasil syirkah dan mereka ingin bubar, maka dijual semua aset syirkah kecuali tanah, karena mereka hanya bersyirkah membangunnya saja, sementara tanah tidak termasuk hak syirkah. 

Keempat, barang wakaf tidak boleh dijual. Pembahasan ini membutuh perincian yang agak panjang. 


Soal: 

Bagaimana sebenarnya hukum wakaf produktif dalam Islam?


Jawab:

Tanah wakaf boleh dikelola dan dikembangkan dalam bentuk usaha produktif. Namun hasilnya untuk kepentingan tujuan wakaf. Kalau wakaf tanah tersebut untuk pesantren, maka keuntungan tersebut dikembalikan untuk kepentingan pesantren.

Syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi’i mengatakan: 

  وَوَظِيْفَةُ النَّاظِرِ حِفْظُ الْأُصُوْلِ وَثَمْرَتُهَا عَلَى وَجْهِ الْاِحْتِيَاطِ كَوَلِيِّ الْيَتِيْمِ كَمَا يَتَوَلَّى الْإِجَارَةَ وَالْعِمَارَةَ   

Kerja nazhir adalah menjaga pokok harta wakaf dan hasilnya atas jalan kehati-hatian seperti wali anak yatim, sebagaimana ia bekerja menyewakan dan membangun harta wakaf” (Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i, Takmilah al-Majmu’, juz 15, hlm. 363).

Misalnya ada sebidang tanah yang diwakafkan untuk pesantren, nazhir wajib mengelola tanah tersebut dan boleh diproduktifkan untuk usaha misal wisata edukatif. Setelah menuai hasil, uang pemasukannya dimanfaatkan untuk kepentingan pesantren, yaitu segala kebutuhan yang berkaitan pesantren. Bisa juga dibelikan tanah untuk memperluas wilayah tanah milik pesantren.

Ketentuan ini berlaku bila shighat (ungkapan) pewakafan tanah diperuntukan untuk kemaslahatan pesantren atau wakaf yang mutlak. Contoh sighat wakaf tanah untuk kemaslahatan pesantren: “Aku wakafkan tanah ini untuk kemaslahatan pesantren”. Contoh shighat wakaf mutlak: “Aku wakafkan tanah ini untuk pesantren.”

Masalah muncul ketika kebutuhan pesantren sudah terpenuhi dan masih ada saldo. Apakah saldo tersebut boleh digunakan dalam usaha perdagangan? Dalam titik ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian melarang praktik memperdagangkan tersebut. Sebagian ulama muta’akhirin (kontemporer) memperbolehkannya. Kebolehan memperdagangkan ini tidak bertentangan dengan salah satu tugas nazhir, yaitu mengembangkan aset barang wakaf.

وَيَجِبُ عَلَى نَاظِرِ الْوَقْفِ ادِّخَارُ شَيْءٍ مِمَّا زَادَ مِنْ غَلَّتِهِ لِعِمَارَتِهِ وَشِرَاءُ عَقَارٍ بِبَاقِيهِ وَأَفْتَى بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ بِجَوَازِ الِاتِّجَارِ فِيهِ إنْ كَانَ مِنْ وَقْفِ مَسْجِدٍ وَإِلَّا فَلَا وَسَيَأْتِي إِقْرَاضُهُ   

Dan wajib atas nazhir wakaf menyimpan dana yang melebihi (kebutuhan wakaf) dari hasil wakaf untuk pembangunan wakaf dan membeli tanah dengan sisanya. Sebagian ulama muta’akkhirin berfatwa kebolehan memperdagangkan dana tersebut bila berasal dari wakaf masjid, bila tidak demikian maka tidak diperbolehkan” (Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, juz 3, hlm. 108).


Soal: 

Bolehkah membangun bisnis di atas wakaf untuk kepentingan pribadi?


Jawab:

Tidak boleh membangun bisnis di atas wakaf untuk kepentingan pribadi. Terkait hal tersebut, kita bisa merujuk kitab I’anah at-Thalibin: 

  والجواب أن الظاهر من غرسه في المسجد أنه موقوف، لما صرحوا به في الصلح من أن محل جواز غرس الشجر في المسجد إذا غرسه لعموم المسلمين، وانه لو غرسه لنفسه لم يجز، وإن لم يضر بالمسجد، وحيث عمل على أنه لعموم المسلمين فيحتمل جواز بيعه وصرف ثمنه على مصالح المسلمين، وإن لم يمكن الانتفاع به جافا، ويحتمل وجوب صرف ثمنه لمصالح المسجد خاصة،   

Maqalah di atas menjelaskan bahwa menanami pohon di tanah yang diwakafkan untuk masjid pada dasarnya boleh apabila untuk kepentingan kaum muslimin, sedangkan apabila hanya untuk dinikmati oleh pribadi, maka hukumnya tidak boleh, meskipun tidak merugikan masjid. Demikian pula boleh menjual hasil tanamannya jika untuk kepentingan kaum Muslim atau hanya kepentingan masjid.

Demikian juga dalam kasus tanah wakaf untuk pesantren, boleh memproduktifkan aset tanah wakaf untuk kepentingan pesantren dan tidak boleh dinikmati untuk kepentingan pribadi. 

Jadi kesimpulannya:

Pertama. Tanah wakaf boleh diproduktifkan untuk usaha namun hasilnya dikembalikan pada sesuatu yang menjadi tujuan wakaf (pesantren). 
Kedua. Tidak boleh menggunakan tanah wakaf di luar tujuan dari muwaqif (di luar tujuan pesantren misalnya). 

Itu semua adalah perkara yang muktabar di kalangan ulama Syafi'iyyah. Adapun pola pengembangan usaha tersebut bisa dalam bentuk ijarah atau kerjasama usaha (syirkah). Jadi bahasan terkait syirkah di atas tanah wakaf adalah perkara yang berbeda. Demikian juga bagaimana pola kerjasama para nazhir dalam membangun pesantren juga merupakan pembahasan yang berbeda.


Soal: 

Apakah nazhir/pengelola berhak mendapat bagian dari usaha produktif atas harta wakaf?


Jawab:

Seorang nazhir berhak mendapatkan bagian dari hasil usaha wakaf produktif yang ia kelola dan kembangkan. Hal ini berdasarkan praktik sahabat Umar Bin Khatab dan Ali Bin Abu Thalib. Menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Imam Ahmad nazhir berhak mendapat upah dari hasil usaha harta wakaf yang telah dikembangkan. 

Adapun besarnya secara makruf dan berbeda satu sama lain sesuai dengan tanggung jawab dan tugas yang diembankan. Bisa juga sesuai dengan ketentuan muwakif. Jika muwakif tidak menetapkan, maka ditetapkan oleh hakim atau kesepakatan para pengelola/manajemen wakaf yang ada.

Dalilnya adalah,

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُ بِهِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا، قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ، وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ.

Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya Umar bin al-Khaththab berkata: “Wahai Rasulullah, saya mendapatkan tanah di Khaibar. Saya tidak pernah memiliki harta yang lebih berharga daripada tanah tersebut. Menurut anda sebaiknya harus diapakan tanah tersebut?” Nabi SAW menjawab: “Jika kamu berkenan, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.” Ibnu Umar berkata: “Maka ‘Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik” (HR. al-Bukhari).

Terakhir, saya mengingatkan bahwa mengelola harta wakaf harus hati-hati. Tanah wakaf adalah milik Allah untuk kemaslahatan kaum muslimin. Para pengelola tidak boleh menjadikan aset wakaf untuk memperkaya diri sendiri, bahkan hasil usaha produktif yang dikembangkan pun harus dikembalikan untuk kemaslahatan umat.

Para nazhir hendaknya orang yang paham hukum syariat dan amanah. Orang yang "sudah selesai" urusannya dengan harta. Karena harta wakaf adalah amanah, dan kehati-hatian dalam pengelolaannya harus seperti mengelola harta anak yatim.

Nabi mengingatkan fitnah dalam masalah harta,

مَا أَخْشَى عَلَيْكُمُ الْفَقْرَ وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمُ التَّكَاثُرَ

Yang aku khawatirkan pada kalian bukanlah kemiskinan, namun yang kukhawatirkan adalah saling berlombanya kalian dalam harta” (HR. Ahmad). []


Oleh: Ajengan Yuana Ryan Tresna, M.Ag.
Peneliti Raudhah Tsaqafiyyah

Posting Komentar

0 Komentar