Pengesahan RKUHP Juli 2022: Gejala Otoritarianisme Penguasa di Tengah Resesi Demokrasi


TintaSiyasi.com -- Kebebasan berpendapat kian terancam di negeri ini. Gejalanya nampak dari upaya pemerintah dan DPR melanjutkan pembahasan rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP). RKUHP ini telah disetujui Komisi Hukum DPR pada 25 Mei dan siap disahkan awal Juli 2022. Setidaknya ada empat pasal dalam RKUHP yang dipandang mengebiri suara kritis masyarakat yaitu Pasal 218, 240, 353, dan 354. Siapa yang tak takut dengan ancaman pidana penjara dan pidana denda?

Karenanya, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) meminta pemerintah dan DPR mencabut pasal tersebut dengan alasan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi serta demokrasi, khususnya kritik terhadap pemerintah itu sendiri (cnnindonesia.com, 17/6/2022).

Senada, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang P. Wiratraman menilainya sebagai bentuk kemunduran hukum. Ia menyebut pasal tentang penghina pemerintah itu tidak sejalan dengan hukum hak asasi internasional, terutama pengaturan kebebasan tentang ekspresi yang akan berdampak luas terhadap upaya melindungi kebebasan sipil (detik.com, 17/6/2022).

Kekhawatiran berbagai kalangan bahwa beberapa pasal RKUHP akan melegitimasi pemerintahan antikritik dan membungkam suara rakyat adalah hal wajar. Mengingat begitu sensitifnya penguasa terhadap nada kritis selama ini. Terutama yang datang dari orang atau kelompok yang berseberangan dengan rezim berkuasa. Penahanan aktivis dan ulama serta pembubaran ormas misalnya, telah menjadi cara rezim merespons ‘suara-suara sumbang’ terhadapnya.

Pasal penghinaan presiden di RKUHP ini juga masih rancu soal kritik dan penghinaan. Jika ingin mengaplikasikan UU tersebut, tentu harus bisa membedakan keduanya. Jangan sampai kritik dan penghinaan menjadi sama artinya dalam RKUHP. Pasal ini tentu membuat masyarakat tak berani mengkritik kinerja pemerintah karena ancaman masuk bui.

Ya, dalam sistem pemerintahan represif seringkali kritikan dimaknai sebagai penghinaan terhadap penguasa. Pun penolakan bahkan perlawanan terhadap kekuasaan. Satu hal yang tak disadari, gejala otoritarianisme tersebut akan menyeret negeri ini pada resesi demokrasi hingga berujung pada kematiannya.

RKUHP: Gejala Otoritarianisme dan Legitimasi Rezim Antikritik

Pemerintah melalui Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan tiga alasannya mempertahankan pasal penghinaan presiden dalam RKUHP:

1.    KUHP di seluruh dunia memuat pasal atau bab yang berjudul penghinaan martabat kepala negara asing. Jika kepala negara asing dilindungi, apalagi kepala negara sendiri.

2.    Pasal penghinaan presiden di RKUHP tidak menghidupkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK hanya menganulir pasal ini dengan delik biasa, sementara RKUHP menetapkannya sebagai delik aduan.

3.    Pasal ini juga tidak bertentangan dengan prinsip equality before the law alias kesetaraan di depan hukum.

Pemerintah bisa berdalih demikian. Namun sebagian elemen masyarakat memandang RKUHP ini sebagai gejala otoritarianisme penguasa yang mengancam rakyat. Hal ini nampak dari:  

1.    Empat pasal penghinaan lembaga negara dengan ancaman pidana penjara dan denda.

2.    Kerancuan makna kritik dan penghinaan berpotensi menjadikannya sebagai pasal karet.

3.    Sikap pemerintah ‘menyembunyikan’ draf terbaru RKUHP dan intensi untuk meredam kritik publik terkait pasal-pasal kontroversial.

4.    Proses legislasi yang cenderung ‘ugal-ugalan’ mengulang pola pengesahan sejumlah UU kontroversial seperti UU KPK, Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU IKN.

5.    Hilangnya fungsi kontrol DPR dalam hal ini sehingga kritik terhadap proses legislasi hanya datang dari masyarakat yang kerap diabaikan.  

Rezim otoriter memang berkarakter tidak mau tahu dengan aspirasi rakyat dan proses komunikasi hukum yang baik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Andai pun ada partisipasi, akan diminimalkan dan terkesan hanya bersifat formalitas. Lebih lanjut, gejala otoritarianisme yang nampak dalam proses pengesahan RKUHP ini juga diduga mengarah pada legitimasi rezim antikritik.

Gejala antikritik tak hanya terendus kali ini.  Pertengahan tahun 2017, CNN Indonesia pernah merilis artikel bertajuk Gejala Antikritik Rezim Jokowi. Saat itu marak penangkapan aktivis dengan tudingan makar maupun penghinaan terhadap presiden melalui jejaring media sosial yang dituding melanggar UU ITE.

Menengok tahun 2020, sikap antikritik tak lagi sebatas gejala. Penguasa nampak terang benderang menampakkan diri sebagai rezim antikritik seraya melekatkannya dengan narasi perang melawan radikalisme dan ujaran kebencian alias hate speech. Tak ada definisi baku tentang kritik dan hinaan. Rezim hanya punya satu sudut pandang. Selama narasi-narasi tersebut berseberangan dengan kepentingannya maka berpotensi sebagai ujaran kebencian.

Berbagai perangkat dibuat. UU ITE menjadi alat kebiri suara kritis masyarakat terhadap kebijakan penguasa. Khusus ASN, ada satgas pengawas dan pembina yang menerapkan sanksi tegas bagi pengkritik pemerintah dan dipandang radikal. Juga pembentukan kabinet jilid dua yang menempatkan isu radikalisme sebagai core of the core. Dan pengesahan RKUHP Juli 2022 akan menambah deretan ‘perangkat hantu’ terhadap kebebasan berpendapat.

Kebijakan zalim yang terus diproduksi penguasa telah memicu kritik dan protes rakyat. Namun, UU KPK, UU Cilaka, UU IKN adalah bukti bahwa meskipun sebagian rakyat menggugatnya tapi pemerintah, DPR, dan MK tetap stubborn untuk menjalankannya karena secara hukum UU tersebut dipandang sah dan konstitusional. Mau tak mau akhirnya rakyat tunduk, patuh, dan menyerah terhadap UU itu. Jika melawan mesti siap berhadapan dengan aparat penegak hukum dan masuk jeruji besi. Mengapa penguasa seolah bergeming atas kritik rakyat, bahkan tak khawatir dengan cap represif yang dilekatkan padanya?

Inilah harga yang harus dibayar penguasa saat menerapkan sistem demokrasi kapitalistik yang prokepentingan kapitalis. Pada praktiknya, sistem ini pasti menabrak proses partisipasi rakyat, sekaligus menihilkan proses dialog yang akomodatif terhadap kepentingan rakyat banyak.

Jangan pernah menaruh asa terhadap pembelaan HAM, kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan bagi seluruh rakyat dan hal-hal normatif lainnya akan menjadi tolok ukur pembangunan atau pengambilan keputusan. Kalau pun isu ini diangkat, hanya sebagai wacana di ruang-ruang sidang.

Harga kebutuhan pokok melambung meski kran impor dibuka lebar, melangitnya tarif layanan publik, kriminalitas dan dekadensi moral yang kian mengancam tapi tak serius diselesaikan, diperparah dengan perselingkuhan peng-peng (penguasa-pengusaha), jelas menyakiti hati rakyat dan merasa hidup tanpa pengurusan pemimpinnya. Lantas, rakyat mesti mengadu ke mana?

Wajar jika negeri ini tak steril dari protes dan keriuhan. Jika tak terjun di aksi massa, rakyat mengungkap keluh kesahnya di ruang-ruang publik sebebas media sosial. Jagat maya begitu ramai membincang realitas hidup yang kian sulit. Menyurhat tentang penguasa yang tak peduli. Hingga di satu titik, ketika kondisi ini dianggap membahayakan, rezim berupaya membungkam. Media mainstream, militer, bahkan ormas, digerakkan untuk membangun dukungan, pun memberangus kebebasan berpendapat yang berpotensi melawan rezim.

Oleh karena itu, pengesahan RKUHP pada 2021 diduga tak lebih sebagai salah satu perangkat untuk membungkam ‘suara sumbang’ rakyat. Jika demikian, bukankah RKUHP adalah gejala otoritarianisme dan perangkat untuk melegitimasi rezim antikritik?

Dampak Kriminalisasi Penghinaan kepada Pejabat Negara terhadap Relasi Penguasa dan Rakyat

Diakui atau tidak, kini Indonesia berada di tengah resesi demokrasi. Dalam buku How Democracies Die, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, duo profesor ilmu pemerintahan Universitas Harvard memaparkan bahwa kematian demokrasi tak disadari terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi. Maka, demokrasi berpotensi dibunuh oleh pemimpin yang dilahirkan dari sistem demokrasi itu sendiri.

Senada, Damar Juniarto Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai, garda depan kemerosotan demokrasi saat ini adalah politisi populis yang mendapat dukungan luas dari rakyat. Resesi demokrasi ini terlihat dari berbagai tindakan pemerintah yaitu: menindas partai oposisi melalui hegemoni atau pemaksaan, menggunakan kriminalisasi untuk menekan kelompok populis Islam, berfokus pada pembangunan infrastruktur dan mengabaikan HAM serta kerusakan lingkungan yang timbul sebagai akibat pembangunan, memberikan ruang kepada ideologi atau kelompok antidemokrasi, serta membajak institusi negara untuk tujuan kekuasaan.

Pengesahan RUKHP oleh kekuasaan otoriter sebagai bentuk kriminalisasi penghinaan (kritikan) kepada pejabat negara akan berdampak terhadap relasi penguasa dan rakyat sebagai berikut:

1.    Relasi penguasa dan rakyat laksana bangsa penjajah dengan bangsa yang dijajah. Inilah yang terjadi saat hukum didominasi oleh syahwat kekuasaan. Rakyat seakan jadi musuh bahkan pihak tertentu digiring agar menjadi common enemy. Equality before the law, presumption of innoncence, retroactive principle, are just the myth that daily lie.

2.    Sebagai alat gebuk kekuasaan. Penerapan hukum represif akan digunakan oleh rezim berkuasa untuk membungkam suara kebenaran dan keadilan rakyat, serta dipakai untuk menyingkirkan lawan politik.  

3.    Timbulnya 'killing effect' yakni masyarakat takut mengkritik pemerintah bahkan sekadar menyampaikan pendapat di media sosial. Berdasarkan survei Indikator Politik (Oktober 2020), sebanyak 69,6% responden menyatakan 'setuju dan sangat setuju' bahwa warga semakin takut berpendapat. 73,8% responden 'setuju atau sangat setuju' bahwa warga makin sulit berdemonstrasi atau protes. Kemudian, 64,9% responden 'setuju atau sangat setuju' aparat makin semena-mena menangkap warga yang orientasi politiknya bukan penguasa saat ini.

4.    Kebebasan berpendapat terancam.  Rakyat enggan mengkritik pemerintah jika sedikit-sedikit diancam akan dibui atau dipanggil. Terlebih mengkritisi negara kerap kali dituduh melawan negara atau distigma menjadi kelompok tertentu.

5.    Terjadi kegaduhan dan potensi konflik antarkalangan masyarakat. Rancunya diksi penghinaan dan kritik, juga definisi kerusuhan dalam pasal 240 bisa menyebabkan kegaduhan di tengah masyarakat. Pun memicu pro kontra pada akar rumput.

6.    Mengeksiskan rezim otoriter dan sistem sekularisme kapitalis liberal. Jika mulut rakyat terbungkam, penguasa akan leluasa membuat kebijakan sesuai syahwat politiknya. Tak ada lagi kontrol dan kritik saat penguasa tak memenuhi hak rakyat atau tak menjalankan aturan Allah dalam mengelola urusan rakyat. Selanjutnya, sistem sekuler nan zalim tetap eksis memandu rezim mengatur negara.

7.    Kezaliman terus berlangsung dan kerusakan kian meluas. Inilah bahaya terbesar saat amar makruf nahi mungkar tidak berjalan.

Demikianlah, pengesahan RKUHP akan menjadi alat represi membungkam suara kritis. Alih-alih memberikan pengaturan yang memberikan rasa nyaman, kehadirannya justru mengeksiskan rezim otoriter dan antikritik.

Konsep Islam Mengatur Relasi Penguasa dan Rakyat

Jika demokrasi dengan wajah aslinya yaitu tirani minoritas atas mayoritas telah melahirkan rezim antikritik, maka Islam melalui penerapan sistem pemerintahan khilafah justru membuka ruang penyampaian pendapat bagi masyarakat. Kritik termasuk ajaran Islam yaitu amar makruf nahi mungkar sebagaimana firman Allah SWT, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

Secara spesifik, Rasulullah SAW menyatakan kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat, “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah SAW seraya bertanya, ‘Jihad apa yang paling utama?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa zalim’.” (HR. Imam Ahmad)

Muhasabah atau kritik terhadap penguasa merupakan bagian syariat Islam nan agung. Dengan muhasabah, tegaknya Islam dalam negara akan terjaga dan membawa keberkahan. Pemimpin Muslim harusnya tak perlu alergi kritik. Terlebih jika sampai membungkam lawan politik dengan kebijakan represif.

Budaya muhasabah atau kritik dihidupkan dan dijaga dalam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Rasulullah SAW adalah contoh terbaik penjaga budaya kritik ini, beliau menerima kritik terhadap kebijakan yang tidak dituntun wahyu. Dalam perang Uhud, beliau menyetujui pendapat para sahabat yang menghendaki menyongsong pasukan Quraisy di luar kota Madinah, meskipun beliau sendiri berpendapat sebaliknya.

Sikap Rasulullah SAW diikuti para khalifah setelah beliau. Khalifah Abu Bakar ra misalnya. Ketika dibaiat ia berkhotbah meminta rakyat mengkritiknya. “Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukan karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya. Untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku.” (Abu Bakar ra)

Dalam pandangan Islam, politik negara adalah mengatur urusan umat berdasarkan syariat Allah SWT. Kekuasaan (kekhilafahan) merupakan jalan menerapkan syariat kaffah demi kemaslahatan umat. Meskipun aturan hukum yang diterapkan dari Allah yang Maha Sempurna, namun khalifah sebagai pelaksananya adalah manusia tak luput dari salah dan lupa. Karenanya, kritik bukanlah ancaman. Bahkan dibutuhkan sebagai standar optimalisasi kinerja khalifah yang akan dipertanggungjawabkan dunia akhirat.

Kritik umat terhadap penguasa adalah sunah Rasul dan tabiat dalam Islam. Kritik menjadi saluran komunikasi publik sekaligus bentuk cinta rakyat terhadap pemimpin agar tak tergelincir pada keharaman yang dimurkai Allah SWT.

Konsep Islam mengatur relasi penguasa dan rakyat khususnya jika terjadi kezaliman penguasa yaitu:

1.    Bagi penguasa

a.    Berparadigma bahwa penguasa adalah khadimul ummah (pengurus dan pelindung rakyat). Menjadikan rakyat sebagai subjek yang dilayani. Bukan objek yang senantiasa diminta pengorbanan bahkan menjadi korban penderitaan. Pun menjadikan rakyat sebagai mitra sinergi kebaikan, bukan diposisikan sebagai lawan. Penguasa tidak boleh berjargon negara tidak boleh kalah (dari rakyat). Hal ini akan menjadi legalisasi bertindak sewenang-wenang.

b.    Menyadari sebagai manusia tak lepas dari khilaf dan salah termasuk dalam menjalankan roda pemerintahan. Ia akan membuka ruang bagi rakyat menyampaikan masukan, nasihat, pendapat demi meraih tujuan kebaikan bersama.

2.    Bagi rakyat

a.    Memahami bahwa muhasabah lil hukkam dalam kerangka menjalankan kewajiban, bentuk takwa kepada Allah SWT. Demi kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan pribadi/kelompok. Tidak boleh bertujuan menonjolkan diri, termotivasi oleh hasad (dengki) atau tendensi tertentu, namun semata-mata demi ridha Allah ta’ala.  

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Fatawa mengatakan, “Wajib bagi setiap orang yang memerintahkan kebaikan dan mengingkari kemungkaran berlaku ikhlas dalam tindakannya dan menyadari bahwa tindakannya tersebut adalah ketaatan kepada Allah. Dia berniat untuk memperbaiki kondisi orang lain dan menegakkan hujah atasnya. Bukan untuk mencari kedudukan bagi diri dan kelompok, tidak pula untuk melecehkan orang lain."

b.    Mengkritik harus disertai ilmu. Kritikan berdasarkan ilmu di bidangnya. Tidak boleh mengritik tanpa ilmu dan basirah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Fatawa mengatakan, “Hendaknya setiap orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar adalah yang alim terhadap apa yang dia perintahkan dan larang.”  

Hal ini akan menghindarkan Muslim bersikap ‘asal njeplak’, jauh dari mencela dan menghujat. Ia mengkritik berdasarkan ilmu, baik berlandaskan dalil agama maupun data empiris dan keilmuan yang menunjang.

c.    Tidak mengkritik penguasa dengan menghina pribadinya. Sebab keadaan fisik adalah ciptaan Allah SWT yang tidak boleh dihina. Misalnya, fisiknya hitam, putih, kurus, gemuk, keriting, dan sebagainya. Ranah yang dikritik adalah kebijakan/aturan penguasa saat melanggar hukum Allah dan atau tidak memenuhi hak umat yang menjadi tanggung jawabnya.

d.    Menyampaikan dengan bahasa ahsan sesuai adab Islam. Kritik adalah amar ma’ruf nahi mungkar atau dakwah. Dalam aktivitas menyeru manusia, Allah SWT telah memberikan panduan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Dan berdebatlah dengan cara yang baik..” (QS. An Nahl: 125)

Bila kita mampu menerapkan hal di atas, maka kritikan insya Allah bernilai pahala dan akan memberi kebaikan bagi orang dikritisi. Menjadi tanggung jawab besar bagi Muslim untuk menghidupkan muhasabah lil hukkam. Terutama kalangan pemuda dan intelektual karena mereka adalah martir kebangkitan umat.

Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin menyatakan, tradisi intelektual masa lalu adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Sementara karakter pemuda Muslim sejak Islam hadir, merekalah yang menyambut dakwah Rasul sebagaimana terdapat dalam wasiat Rasulullah SAW terkait pemuda.

Meskipun sistem dan rezim saat ini represif, pantang menyurutkan ghirah umat Islam menyuarakan kebenaran ajaran Islam. Apa pun risikonya, cukuplah balasan terbaik dari Allah SWT.

“Pemimpin syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menghadap pemimpin zalim untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, lalu penguasa itu pun membunuhnya.” (HR. Al-Hakim).[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

 

Posting Komentar

0 Komentar