Menolong Agama Allah dengan Cara Mendukung Gerakan Dakwah Bukan Memusuhinya


TintaSiyasi.com -- Saya merasa prihatin, hingga saat ini, saya merasa Islam dengan segala atribut dan ajarannya terkesan terus menerus diserang dari segala penjuru, bahkan masyarakat Muslim sendiri pun mengalami Islamofobia. Apa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi? Mengapa agama-agama lain tidak diserang? 

Seandainya Islam itu hanya sebatas ritual sholat, puasa, haji dan berqurban. Tentu tidak akan diserang dari segala penjuru. Tapi Islam adalah agama (Dien), way of life sekaligus ideologi sehingga diserang bertubi-tubi oleh 'haters' kesetanan. Bukan hanya dari luar tetapi juga dari dalam. Pertanyaan kita: Akan runtuhkah Islam? 

Umat Islam mayoritas di negeri ini tetapi serasa minoritas yang seringkali terpojok dan dipojokkan dalam kubangan narasi terorisme, radikalisme, intoleransi. Benarkah demikian? Padahal umat ini sangat toleran, pelindung bahkan tetap memberikan kesempatan umat lain untuk menganut dan menjalankan keyakinannya. 

Coba kita rasakan, di negeri mana ada umat Islam mayoritas tapi umat lain dipojokkan atau bahkan dibantai? Di provinsi mana ada mayoritas penduduk Islam tapi penduduk non Muslim dibantai, disiksa? Adakah? Tapi lihatlah apa yang terjadi ketika Islam minoritas di suatu wilayah. Muslim di Rohingnya, Muslim di Uyghur, muslim di India misalnya. What happened? 

Yang sungguh aneh adalah umat Islam mayoritas tapi seolah menjadi tamu di rumah sendiri. Kita tidak menyalahkan umat lain, yang perlu disalahkan adalah kita sendiri karena kita, termasuk saya tidak punya konsistensi terhadap keyakinan kita sendiri. Jangan harap orang lain akan mengukuhkan kedudukan kita bila kita sendiri tidak mengokohkannya. Apalagi kita sendiri menggerogoti bangunan itu hingga merobohkannya. Bila tidak kita, siapa lagi yang peduli? Bila tidak sekarang haruskah kita menunggu hingga kita mati? 

Kepedulian kita ini harus diwujudkan dalam bentuk menolong agama Allah melalui kebersamaan, ukhuwah islamiyyah menuju umatan wahidah. 

Kita sudah sangat mafhum bahwa Allah berfirman dlm QS. Muhammad [47]: 

ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ø¥ِÙ†ْ تَÙ†ْصُرُوا اللَّÙ‡َ ÙŠَÙ†ْصُرْÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙŠُØ«َبِّتْ Ø£َÙ‚ْدَامَÙƒُÙ…ْ 

“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong (Din) Allah, maka Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” 

Oleh karena Allah Maha Kuasa, maka Allah tidak mungkin membutuhkan pertolongan makhluk-Nya sedikit pun, maka konotasi sebenarnya: yakni: 

Pertama, menolong Dien Allah dan jalan-Nya, 
Kedua, menolong hizbullâh (kelompok pembela Dienullah),
Ketiga, menolong Rasul-Nya. 

Dengan cara apa? Jawabnya adalah dengan cara dakwah tentang the truth and justice berlandaskan syariat Islam tentunya. Harus melakukan "speak up", bicara, bicara dan bicara. Speak up harus dilakukan dengan beberapa alasan yakni, agar kita tidak diremehkan, mengurangi kesalahpahaman, diam tidak mengubah apapun, dan dapat membantu orang lain. 

Sejarah membuktikan sejak awal perubahan akan terjadi di mana pun hanya dengan cara diawali "speak up". Tentu semua dijalankan sesuai kapasitasnya! Speak up bahkan dikatakan sebagai "Afdhollu jihad". Ulama, akademisi (mahasiswa, dosen, rektor, profesor), pengusaha, penguasa (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) mesti melakukan speak up. Diam dan bungkam terhadap kezaliman dan penyimpangan tidak akan mengubah apa pun. Katakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah, meskipun itu pahit. 

Sampai kapan? Perbuatan menolong agama Allah dalam kalimat {Ø¥ِÙ†ْ تَÙ†ْصُرُوا اللهَ} QS. Muhammad [47]: 7, diungkapkan dengan kata kerja al-mudhâri’, yang berfaidah menunjukkan perlunya kesinambungan, konsistensi hingga ajal menjemput. 

Namun, ada fakta yang memprihatinkan, yakni kita umat Islam bercerai berai, terpecah padahal perintahnya: walaa tafaroqu..! Mengapa hal ini bisa terjadi? Rasulullah bersabda, yang artinya: 

"Dan selama pemimpin-pemimpin mereka (kaum Muslimin) tidak berhukum dengan Kitabullah (Al-Qur’an) dan (tidak pula ia) mengambil yang terbaik dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah (yakni, syariat Islam), maka Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka (memecah belah mereka).’.” (H.R. Ibnu Majah dan Al-Hakim, hadits shahih). 

Maka kita mesti merajut kebersamaan dalam perjuangan menuju tegaknya syariat Islam. Kebersamaan itu pun harus: (1) radikal, (2) punya kekuasaan dan (3) massa aksi. Ketiganya kita perlukan untuk menegakkan Islam secara kaffah karena Islam itu bukan masalah ritual agama saja, melainkan urusan ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, urusan dalam negeri hingga luar negeri. Bukan hanya urusan umat Islam sendiri, melainkan juga mengurusi dan melindungi, menjamin keselamatan umat lainnya. 

Menjelang kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mencari format dasar negara yang hendak dibentuk. Panitia 9 sebagai kelompok perwakilan dari BPUPKI telah merumuskan kesepakatan menjadikan negara ini sebagai religious nation state dengan mayoritas penduduk beragama Islam. 

Namun, pernyataan bahwa "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" sebagai mana termuat dalam Piagam Jakarta 22 JUNI 1945 pun sebenarnya tidak akan cukup menjadikan Islam benar-benar sebagai rahmatan lil 'alamiin, apalagi telah berubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" pada tanggal 18 Agustus 1945 yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945. 

Tampaknya, negeri ini memang didesain menjadi negeri yang sekuler, yakni menjadikan agama hanya sebagai ritual, bukan sebagai tuntunan untuk mengatur bidang kehidupan ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dan lainnya. 

Maka, kini jika ingin syariat Islam diterapkan secara kaffah, maka mestinya tiap Muslim tidak akan ragu menolong agama Allah dengan cara mendukung dakwahnya, bukan malah sebaliknya, memusuhi dakwahnya. Dakwah menuju Islam sebagai rahmatan lil 'alamiin, yakni menjadikan syariat Islam sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia dan ciptaan Allah di dunia. Maukah? 

Tabik..!!!
Semarang,  Rabu: 22 Juni 2022



Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 

Posting Komentar

0 Komentar