Kualitas Generasi dalam Derasnya Arus Digital Media Sosial, Tanggung Jawab Siapa?


TintaSiyasi.com -- Media sosial saat ini lekat dengan kehidupan semua orang bergadget dan akrab fungsi multitaskingnya. Era modern sungguh memanjakan orang dengan tehnologi. Namun kejadian yang viral beberapa saat di Twitter yang berkaitan RSUD Wonosari sungguh memalukan. Penggunaan gadget untuk mengunggah status aktivitas perawatan pasien dianggap sebagai konten wajar yang akhirnya dikecam netizen. Ujung-ujungnya universitas tempat asalnya terseret dan menyebarkan thread klarifikasi. Dan itu semua akibat unggahan medsos. 

Konten kreator juga banyak menjadi landasan orang bertindak tidak masuk akal dan membahayakan nyawa. Bahkan hingga kehilangan nyawa karena menghentikan truk besar. Nuansa mencekam nan sensasional kerap menjadi pilihan unggahan konten. Mengapa harus demikian, adalah pertanyaan yang sama di benak penulis. Sejatinya konten kreator terkadang mengikuti pendapat netizen demi berkembangnya channel yang dipunya. Pilihan kejadian yang diunggah seharusnya bukankah prioritas pemilik konten? Tapi keadaan ini tampaknya meninggalkan satu hal yang penting yakni nilai moral akan kepentingan konten media sosial. 

Demi konten salah satu trending yang banyak dikaitkan dengan medsos dan biasanya menuntut adanya sensasi. Kejadiaan serupa banyak terjadi dalam masyarakat saat ini yang rata-rata mereka adalah orang terdidik. Tentu saja ini menggelitik akal sehat tentang kualitas generasi yang ada. Apalagi disaat yang sama dunia tehnologi akrab menjadi santapan sehari-hari. Tapi mengapa hal semacam demi konten dan curhatan konyol menjadi pilihan untuk dilakukan? Padahal sangat banyak kejadian lain jika diperhatikan lagi layak sebagai konten berita media sosial. 


Alasan Melakukan Unggahan Sosial yang Sensasional dan Mengundang Kontroversial

Alasan bisa jadi motif seseorang melakukan aktivitas. Kehidupan akan menawarkan bermacam ide untuk direalisasikan. Pilihanlah yang membuat akhirnya aktivitas terealisir. Kebanyakan aktivitas media sosial dilakukan untuk menarik minat sehingga tontonan dilihat dan disukai. Jika banyak dinonton dan dilike maka biasanya channel tersebut akan trending. Diantara alasan yang sering diungkapkan tersebut adalah : 

Pertama. Mencari sensasi.

Jika diklik di laman google kata "Demi Konten" akan banyak postingan yang menggambarkan bagaimana aktivitas seseorang demi sebuah konten platform medsos.

Berita di harian SuaraKaltim 31 Mei 2022 menuliskan aksi pelecehan yang dilakukan dimakam dengan video berdurasi pendek. Aksi tersebut menuai kecaman karena tindakan pelecehan yang dilakukan. Ada juga berbagai berita mulai 2021 tentang seorang remaja yang mencegat truk demi konten misal  RI (13thn), siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) tewas setelah terlindas truk di Jalan Raya Serang, Kilometer 21, Desa Cibadak, Kecamatan Cikupa, Tangerang, Selasa, 14 Desember 2021 (Viva.co.id, 14/12/2021).  RA (14). Dia tewas terlindas truk saat berusaha menyetop kendaraan truk di Jalan Lingkar Selatan, Mangkalaya, Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jumat (1/4/2022). Polisi menyebut, kecelakaan itu terjadi saat korban bersama tujuh teman lainnya membuat konten video YouTube (Detik.com, 2/4/2022). 

Menurut kacamata kesehatan seseorang yang sangat senang cari perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Dia pun akan melakukan segala macam cara agar dirinya tetap menjadi pusat perhatian. Ternyata perilaku seperti ini bisa jadi salah satu bentuk penyimpangan. Orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa dirinya mengidap suatu kelainan perilaku. Kelainan perilaku yang mungkin diderita si pencari perhatian dikenal dalam dunia kesehatan mental dengan istilah histrionik. 

Kelainan perilaku histrionik adalah sebuah gangguan kepribadian yang menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan memahami citra dirinya sendiri. Penderita histrionik cenderung membutuhkan pengakuan dan pujian dari orang lain sebagai tolak ukur untuk menilai dirinya sendiri. Akibatnya, orang tersebut jadi haus akan perhatian. Dia pun akan melakukan berbagai cara agar keberadaan atau pengaruhnya diakui oleh orang lain, misalnya dengan bersikap dramatis atau berlebihan. Para pakar psikologi sepakat bahwa kelainan perilaku histrionik bukanlah sebuah gangguan yang cukup serius atau berbahaya. Penderita histrionik justru biasanya pandai bersosialisasi dan membangun relasi dengan orang baru. Namun, pada beberapa kasus, penderita histrionik akut bisa mengalami depresi dan gangguan waham (delusi).

Kedua. Haus perhatian.

Kondisi yang jauh dari kasih sayang juga bisa menjadi alasan pelampiasan dunia medsos. Tekanan ekonomi kapitalisme acapkali menjadikan keluarga tercerai berai. Anak dititipkan nenek sedangkan ortu mencari dan mengumpulkan harta. Anak akhirnya menjadi korban karena dianggap standar kebahagiaannya hanyalah harta. Anggapan ini umum karena melihat anak yang bahagia ketika ortu mampu membelikannya apapun. Maka demi kebahagiaan anak ortu akan memaksimalkan apapun. 

Padahal faktor terpenting adalah perhatian dan kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Waktu khusus untuk keluarga sehingga anggota keluarga bisa menghabiskan waktu bersama. Meski akhir-akhir ini rekreasi keluarga menjadi moment kebersamaan spesial. Tapi apakah harus dan dengan wisata baru moment tersebut muncul? Tentu saja tidak khan. Sensasi dan pertemanan medsos yang menembus batas memungkinkan orang memperluas cakrawala sekaligus mencari kesenangan bersama. Jika disukai banyak orang maka tayangan itu akan viral. Maka anggapan sang penggunggah dia akan dikenal dan banyak teman. 

Ketiga. Penghasilan yang menjanjikan.

Beberapa platform medsos memang menjanjikan adanya penghasilan yang didapatkan asalkan memenuhi persyaratan. Misal Tiktok mensyaratkan tidak hanya pada frekuensi postingan dan seberapa menyenangkan ide video TikTok. Tapi, juga pada jumlah pengikut dan tingkat keterlibatannya. Bahkan ada juga live Tiktok jika memiliki 1000 follower. Jika video yang diunggah sering masuk FYP. Teknik paling cepat juga interlink antara Tiktok, instagram dan Youtube. Sehingga terhubung followers yang dimiliki dengan akun yang diinginkan. Penghasilan yang didapat juga bisa diangkat dari endorsement barang yang masuk. Maka 3-5 juta bukan angka yang tidak mungkin didapat. 

Adanya kemudahan perolehan penghasilan dari medsos ini menjadikan orang tergerak menjadi konten kreator. Tentu saja tayangan yang dihasikan juga akan ditimbang sesuai minat. Ketika pengguna gadget kebanyakan orang yang ingin mencari kesenangan dan menutup kejenuhan hidup. Maka medsos diharapkan mampu menambal dahaga tersebut. Akhirnya para konten kreator akan menguras kreatifitas demi penghasilan dan followers yang didapatkan. 

Keempat. Peluang Dakwah.

Maraknya medsos tidak hanya ditangkap untuk kesenangan tapi syiar dakwah. Pencerahan jarak jauh atas kejadian politik dan peristiwa sehari-hari menjadi mudah dengan adanya medsos. Jiwa galau nan gamang karena jauhnya nuansa agama dalam kehidupan kapitalisme menjadikan orang butuh nuansa agama. Belum lagi kebijakan tidak pro rakyat nir sosialisasi penguasa menjadikan rakyat ingin tahu dan mencari sendiri untuk menutup rasa penasaran yang muncul. Dalam konteks pemerintahan hubungan penguasa dan rakyat yang harus dijalin dengan rasa kepercayaan saat ini sudah rusak. 

Kondisi penuh fitnah ini tentu saja harus dimanfaatkan untuk kebaikan. Bedanya para muslim dan muslimah harus mengisi konten sesuai pemahaman agama dan tidak bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Maka seperti kita rasakan kehausan hukum mampu tertutupi dengan channel Prof. Suteki. Konten keIslaman juga banyak bertebaran dalam medsos  Tentu saja ini bisa jadi peluang emas meski ada dharar (kemaksiatan) yang mengintai seperti kasus pelecehan dan kriminalisasi ulama beberapa saat yang lalu.


Kualitas Generasi dalam Dekapan Derasnya Arus Digital Kapitalisme

Generasi muda sendiri memiliki pengertian, yakni dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2009 tentang kepemudaan pasal 1 ayat (1) mendefinisikan bahwa yang di maksud dengan pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. 

Data sensus BPS, penduduk Indonesia hingga 2020 didominasi generasi Z (lahir antara 1997-2012) dan generasi milenial (lahir antara 1981-1996). Jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa atau 27,94 persen dari total populasi yang berjumlah 270,2 juta jiwa. Sementara generasi milenial 69,90 juta atau 25,87 persen populasi. Apakah statistik ini punya relevansi terhadap harapan akan perubahan-perubahan signifikan di masyarakat Indonesia? Apakah sudah tampak kiprah berarti dari generasi milenial, untuk perubahan Indonesia ke depan? Ataukah mereka masih berada dalam bayang-bayang generasi senior?

Beberapa saat yang lalu adanya pengangkatan stafsus kepresidenan juga banyak dinilai memfasilitasi keikutsertaan generasi muda. Terlepas dari apa yang sudah atau sedang dilakukan stafsus Presiden Jokowi, yang perlu dapat perhatian di sini adalah kepedulian pada peran generasi milenial. Bagaimanakah dengan adanya tawaran investasi saham untuk milenial dengan iming-iming crazy rich muda bersamaan dengan agenda moderasi beragama yang juga memanfaatkan milenial?? Stafsus Jokowi AK menjadi contoh pernikahan beda agama : akad nikah Islam sesuai agama AK dan proses pernikahan di Katedral sesuai agama GS.

Generasi muda digambarkan dengan generasi yang dikelilingi kecanggihan tehnologi. Bahkan muncul istilah generasi rebahan. Meski rebahan tetap bisa menghasilkan. Tentu saja hal tersebut tidak lepas dari peran gadget dan meleknya milenial dengan aplikasi dan fungsional gadget. Saking canggihnya bahkan boikot aplikasi dan lambatnya provider bisa dimuluskan dengan adanya pindah ke APN ataupun cara-cara IT lainnya. Istilah ketinggalan dan gagap tehnologi saat ini malah menghinggapi generasi tua. Istilah dunia dalam genggaman tangan terealisir karena keberadaan gadget.

Platform medsos dari Intagram, Tiktok,Youtube, Twitter, bahkan Fb yang mulai ditinggalkan kawula muda pun masih penuh dengan kiprah generasi milenial. Kasus RSUD Wonosari misal yang trending beberapa saat yang lalu, kecaman netizen yang mencela dengan hastag #RSUD Wonosari memaksa rumkit melakukan upaya minta maaf juga secara instansi.Oppa-oppa Korea yang ditangkap dan menghapus platform medsosnya. Tangisan kecewa para fans bisa juga sampai masuk trending. Belum lagi perang buzzer di medsos. 

Paparan di atas bisa menjadi gambaran untuk kita terkait kualitas generasi ini menerima derasnya tehnologi. Segi positifnya tentu saja derasnya arus informasi dan isu-isu kekinian. Tapi lantas bisakah membuat generasi muda melek politik? Pengguna media sosial secara realitas dikuasai generasi muda. Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M Ramli menyampaikan dilihat berdasarkan usia rata-rata jumlah pengguna media sosial di Indonesia berkisar antara usia 25 – 34 tahun (MediaIndonesia, 7/3/2021). 

Laporan “Digital Civility Index” yang dirilis Microsoft, akhir Februari 2021 lalu menjadi salah satu alasan, pentingnya pendampingan anak dalam berinteraksi dengan internet. Indonesia ditempatkan sebagai negara dengan tingkat kesopanan pengguna internet terendah di Asia Tenggara. Laporan ini harus menjadi cerminan bagi pemerintah untuk mulai menata ekosistem pengguna internet yang baik. Selain infrastruktur, pemerintah juga perlu membangun ekosistem internet yang sehat.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh paham liberalisme di kalangan generasi muda adalah rusaknya tata nilai dan moral dalam kehidupan. Dipinggirkannya aturan agama dari kehidupan, menghasilkan kebebasan perilaku di kalangan kaum muda. Paham ini semakin mendapat ruang bebas dengan munculnya paham moderasi beragama yang diaruskan pemerintah secara massif. Moderasi beragama yang pada hakikatnya adalah deislamisasi, makin membuat generasi muda muslim tak mengenal agamanya. Identitas Islam ditanggalkan, sebaliknya bangga membawa nilai-nilai barat yang liberal. Proyek ini menjadi mulus ketika diaruskan di sektor pendidikan. Dengan balutan narasi  Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), mengikis identitas Islam dari para mahasiswa.

Standar kehidupan ala Barat  teraihnya sesuatu yang bersifat materi menjadi standar mereka. Tak mau susah dalam hidup. Prinsipnya, jika bisa mendapatkan sesuatu secara mudah, mengapa harus bersusah-susah ? Maka tak heran jika  mereka menjadi geneasi instan. Demi teraihnya materi sebanyak-banyaknya, mereka ambil jalan pintas rela menjual diri, menjadikan aurat sebagai komoditas. Jenis-jenis kerusakan moral yang dilakukan di kalangan generasi muda makin beragam. 

Kerusakan makin massif seiring dengan kemajuan teknologi. Penjajahan baru justru menemukan bentuknya melalui teknologi. Penencapan pola pikir, gaya hidup Barat masuk hingga kamar-kamar remaja hari ini melalui media sosial yang mereka akses dari gadget.Maka tak heran jika kalangan muda cepat sekali mencerna dan mempraktekkan perilaku idola mereka di dunia maya. Bahkan mereka bisa baku hantam di dunia nyata untuk membela idola yang mereka saksikan di dunia maya. Padahal sang idola pun tak mengenal mereka. Sungguh ini merupakan kegilaan akut terjadi kalangan muda.

Di sisi yang lain., kalaupun kalaupun kaum muda bukan termasuk para pelaku  pelanggaran moralitas. Dalam pandangan masyarakat hari ini, mereka adalah generasi yang masih baik. Namun mereka juga mempunyai masalah, yakni generasi yang lembek menyuarakan kebenaran. Generasi yang tak mempunyai keberanian berteriak keras di saat kemungkaran tampak di depan matanya. Menjadi generasi yang permissif terhadap tindak kemaksiatan maupun pemikiran yang sesat dengan dalih toleransi dan menghormati pilihan setiap orang. Senyatanya mereka dididik menjadi generasi yang individualis. Hanya berpikir di seputar studi dan urusan pribadi, bersikap tak peduli, gagap dan kelu menyikapi kondisi.Sungguh sebuah kesia-siaan hidup, potensi akal, tenaga dan semangat muda dipasrahkan mengikuti kemauan sistem kapitalisme liberal hari ini.


Gambaran dan Solusi Islam untuk Kebijakan Generasi

Realitas kemajuan tehnologi peradaban barat yang tidak ditopang iman dan tsaqofah memadai menuai masalah yang beruntun mengintai generasi. Maka butuh adanya supplemen ide yang harus dibentuk pada generasi saat ini. Jelaslah ini bagian dari benturan peradaban Islam dengan peradaban kapitalisme yang melanda dunia Islam. Semakin lamanya peradaban Kapitalisme salah tersebut ada akan membawa kerusakan yang pasti terjadi. Dan ini tidak bisa dengan solusi tambal sulam.

Pemuda digambarkan dalam sejarah Islam dan tersebut dalam Al Quran sebagai generasi pendobrak kejumudan. Sosok pemuda Ibrahim as menjadi teladan sepanjang jaman, disebutkan di dalam al Quran, "Mereka menjawab, 'Kami mendengar seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini, yang bernama Ibrahim" (QS Al-Anbiya [21]: 60). Generasi yang berani menghadapi tantangan dan menyuarakan pendapat yang diyakininya benar, meski melawan tatanan masyarakat dimana mereka tinggal, sebagaimana kisah Ashabul Kahfi. "Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Tuhannya, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka" (QS Al-Kahfi [18]: 13).

Para pemuda  pula yang  pertama menyambut dakwah Rasulullah saw. Ini digambarkan dalam wasiat beliau : Aku pesankan agar kalian berbuat baik kepada para pemuda, karena sebernarnya hati mereka lembut. Allah telah mengutus aku dengan agama yang lurus dan penuh toleransi, lalu para pemuda bergabung memberikan dukungan kepadaku. Sementara para orang tua menentangku.

 Dan tidak dipungkiri, Allah mengangkat para Nabi di kalangan pemuda, bukan kakek-kakek jompo. Sahabat Ibnu Abbas pernah menyatakan, ''Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan pemuda. Dan seorang alim tidak diberi ilmu pengetahuan oleh Allah melainkan di waktu masa mudanya.''Oleh karena itu, segenap potensi pemuda, baik kekuatan fisik, ketajaman berpikir, emosi, semangat, keberanian mengahadapi tantangan harus dikelola oleh para guru hebat dan dengan cara yang smart. Agar seluruh potensi tersebut membawa kebaikan bagi diri dan umat. Bukan justru dibajak oleh kapitalisme liberal. Sekedar dimanfaatkan menjadi sekrup-sekrup ekonomi kapitalisme, atau yang lebih parah terjebak menjadi generasi hedon, konsumtif, permissif dan kembali primitif.

Generasi hebat dalam Islam bukanlah sekedar generasi yang sholih, yang sebatas membawa kebaikan untuk dirinya sendiri. Di tengah kerusakan yang massif dan dirancang sedemikian rapi, tak cukup  mencetak generasi yang sholih. Dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali menyatakan, bahwa orang sholeh adalah kualitas kebaikannya hanya untuk diri sendiri, sedangkan muslih kualitas kebaikannya bisa merambah dan menjadi petunjuk orang lain atau masyarakat luas. Generasi muslih lebih nyinyir terhadap kemaksiatan yang ada di depannya. Bisa jadi keberadaannya tak disuka dan dianggap sebagai pengusik tatanan yang sudah tenang.

Oleh karenanya bentukan generasi muslih  ini menuntut bentukan yang kokoh. Terbentuk dari aqidah Islam yang matang dari proses berpikir yang benar. Generasi muslih yang tertanam kokoh pada akal dan jiwanya akan persepsi kemuliaan dan kehormatan. Generasi yang sadar akan jati dirinya, tidak akan rela kecuali menjadi umat yang mulia dan tinggi. Kesadaran tersebut akan mendorongnya menyiapkan segala kemampuan dan keahlian demi melayakkan dirinya menjadi generasi pembebas.


Kesimpulan

Berbagai alasan melakukan aktivitas dalam platform akan menjadi tidak tepat jika melakukan hanya untuk sensasi, mencari tambahan penghasilan dan menambah pertemanan. Utamanya perlu menggunakan alasan yang penting sebagai amal.

Kualitas generasi yang minim moralitas dan etika nampak sebagai bukti kerusakan pembentukan generasi dan pengaturan gadget dalam kehidupan sehari hari

Akar masalah media digital untuk generasi muda adalah pada kurangnya pengawasan, pengaturan dan tidak adanya ide untuk menjadikan dunia medsos aman digunakan. Padahal dalam Islam medsos hanyalah media / salah satu sarana semata. []


Oleh: Retno Asri Titisari (Enno)
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar