Holywings Gratiskan Minuman Alkohol bagi Pemilik Nama 'Muhammad dan Maria': Ini Jelas Penistaan Agama


TintaSiyasi.com -- Ada yang menarik pada kasus ini, khususnya dalam perspektif hukum. Pada banyak peristiwa dalam masyarakat, hukum positif Indonesia tidak menjangkau persoalan halam haram karena dasarnya lebih kesepakatan yang sekuler meskipun kita tahu ini negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (religious nation state). 

Hukum positif kita hanya mengenal boleh, tidak boleh, berizin atau tidak berizin. Sekalipun hal yang menurut agama dan moral dilarang tapi kalau hukum positif tidak melarang, semua dianggap baik-baik saja dan boleh dilakukan. 

Alkohol, protitusi, perjudian dan lain-lain. Namun, untuk kasus dugaan adanya penistaan terhadap agama (tuhan, ajaran, kitab suci, rasul dan simbol-simbol lainnya) ini dapat dipotret bukan saja dari sisi hukum, namun tampaknya semua terpenuhi, yakni aspek moral dan agama. 

Pengaturan promosi miras/minuman alkohol di Indonesia ini sebagai negara bangsa religious, mestinya dilarang bukan hanya dibatasi. Terkait dengan promosi bir, atau jenis minuman beralkohol lain perlu diketahui bahwa importir terdaftar minuman beralkohol (“IT-MB”), distributor, sub distributor, penjual langsung, dan pengecer dilarang mengiklankan minuman beralkohol dalam media massa apapun. Ini berarti promosi tidak boleh dilakukan di media massa, akan tetapi jika dipromosikan di tempat hiburan atau tempat makan, maka hal ini diperbolehkan. 

Polisi sudah menetapkan sekitar 6 tersangka atas kasus Holywings ini. Para tersangka kemudian dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 14 Ayat 1 dan Ayat 2 UU RI No 1 Tahun 1946 dan juga Pasal 156 atau Pasal 156 a KUHP. Kemudian Pasal 28 Ayat 2 UU RI No 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE. 

Adapun ancaman maksimal 10 tahun kurungan penjara. Apa yang dimaksudnya? Tersangka berarti melakukan perbuatan yang patut diduga memenuhi unsur tindak pidana menyiarkan berita sesat, hoaks dan berpotensi mencemarkan nama baik serta menodai agama (ajaran dan rasulnya, dan keluarga Nabi). 

Mereka melakukan tindak pidana biasa di mana APH dapat langsung bertindak tanpa hrs menunggu laporan dari masyarakat. Apalagi kalau sdh ada laporan, maka APH harus gerak cepat (gercep) untuk menghindari masyarakat muslim khususnya melakukan eighenrichting (main hakim sendiri). Beruntung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sangat sigap menyikapi keadaan dengan tindakan menutup 12 gerai Holywings di Jakarta. 

Belum lama ini viral rendang babi, dan sekarang promosi miras menggunakan nama nabi. Mengapa bisa terjadi fenomena seperti ini berulangkali? Menurut saya, warga negara itu patuh atau tidak pada hukum atau kebijakan sangat dipengaruhi oleh 2 hal, yakni dari sisi instrumental perspective (aturan, sanksi dan APH) serta sisi normative perspective (kesadaran hukum dan rasa memiliki terhadap aturan yang ada, soal budaya hukumnya). 

Fenomena seperti ini akan terus berulang jika pemerintah tidak tegas menghukum para pelaku dan budaya hukum masyarakat rendah bahkan buruk. Islam semakin dipinggirkan, yang benar-benar ber-Islam justru dinilai radikal sedang yang merusak agama tidak memperoleh ancaman dan sanksi yang keras, sehingga tidak ada efek jera. Ini bukan cara berhukum yang adil. Maka, jika ingin dikatakan bahwa hukum itu adalah sebenar hukum, maka ia harus mampu menghadirkan keadilan di tengah umat manusia, sebab lex iniusta non est lex. Hukum yang tidak adil, bukanlah hukum. 

Tabik..!!!
Semarang, Selasa: 28 Juni 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 

Posting Komentar

0 Komentar