Cari-Cari Pinangan dan Saingan Jelang 2024: Di Mana Politik Identitas dalam Kontestasi Demokrasi?



TintaSiyasi.com -- Tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Itulah gambaran perpolitikan demokrasi kapitalisme. Datang tak diundang, pulang tak diantar, demi mendulang dukungan, kunjungan-kunjungan antar tokoh parpol tak jauh dari makna pencaplokan suara demi kontestasi jelang pemilu 2024. Sebagaimana yang dikabarkan dalam Tribunnews.com (12 Juni 2022), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memulai langkah awal membentuk poros ketiga untuk menyambut pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Begitu juga, Partai Golkar-PAN-PPP yang membangun Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan PDI Perjuangan yang memiliki golden tiket untuk mengusung calon presiden (capres), sendiri.

Demi meraup suara, sudah menjadi hal biasa para partai politik (parpol) menanggalkan identitasnya. Identitas yang mencirikan ciri atau pandangan hidup parpol tersebut sengaja ditinggalkan demi meraih suara. Sebagaimana yang diketahui sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Seolah-olah parpol terbagi menjadi dua kubu. Kubu pembela Al-Qur'an dan kubu penghina Al-Qur'an. Istilah kadrun dan cebong menggejala dan viral sampai hari ini.

Sebenarnya sejak saat itu di negeri Indonesia sudah terbagi menjadi dua kubu, kubu pembela Islam atau penghina Islam. Para pendukung penghina Islam biasanya menggunakan landasan kebebasan bersuara dalam demokrasi. Mereka anggap semua bebas berpendapat, sekalipun itu menghina. 

Sampai tulisan ini dibuat. Penghinaan terhadap Islam makin gencar. Dari penghinaan terhadap Al-Qur'an yang viral dilakukan oleh Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), dibakarnya bendera tauhid karena dituduh bendera HTI, monsterisasi khilafah, dan pernyataan-pernyataan para influencer hingga buzzer yang menghina Islam. Bikin tambah geram lagi, ketika hukum tumpul pada penghina Islam dan tajam kepada para kritikus oposisi serta ulama. 

Jelang pilpres 2024, seluruh parpol sudah ancang-ancang membangun koalisinya. Tak sedikit yang lupa identitas dirinya. Parpol pembela Islam koalisi dengan parpol yang dulu menjadi pendukung penghina Islam. Atas nama persatuan, riwayat-riwayat politik masa lalu tak digubris lagi. Yang penting koalisi dan dapat posisi di ajang kontestasi politik 2024. 

Dikutip dari Wikipedia, politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.

Sebenarnya jika mengacu pada makna politik identitas, sebagai parpol Islam harus memiliki posisi tawar yang jelas dalam membawa identitas Islamnya. Hal itu seolah luntur jelang pemilu 2024. Parpol-parpol yang didirikan oleh para tokoh-tokoh Islam mulai kehilangan identitas keislamannya. Rona-rona Islam yang mereka bawa dilepaskan demi meraup suara, Islam hanya dibajak dan akhirnya mereka menunjukkan wajah aslinya. Yakni, wajah parpol sekuler. 

Akhirnya, mereka bermetamorfosis menjadi parpol sekuler, alih-alih menguatkan syiar Islam, terkadang mereka justru ikut arus untuk menghadang kebangkitan Islam. Inilah yang terjadi saat ini. Bahkan nanti yang paling miris parpol pembela Islam pun tak malu-malu lagi koalisi dengan parpol penghina Islam. Hilang urat malunya, tanggalkan kepentingan Islam demi kepentingan golongan dalam merai kursi-kursi kekuasaan. 

Begitu bengis politik dalam naungan demokrasi kapitalisme dan sejatinya politik identitas mereka adalah sekularisme. Islam hanya dipolitisasi dan umat Islam hanya dimanfaatkan untuk mengeruk suara, tetapi hak-hak mereka sering diabaikan setelah kepentingan mereka tercapai.

Safari Politik

Sungguh miris melihat tingkah pola para pejabat negeri hari ini. Di saat rakyat menjerit merasakan kesulitan hidup akibat ekonomi makin sulit, mereka seolah buta dan tuli dengan kondisi yang ada. Mereka justru sibuk menyiapkan pencalonan diri, dukung mendukung dan mengatur koalisi demi kemenangan pemilu di 2024. Sejumlah tokoh dan partai politik mulai rajin melakukan penjajakan dengan parpol lain, menimbang kemungkinan rekanan yang paling menguntungkan. Sejumlah Menteri Kabinet Indonesia maju mulai terlihat melakukan safari politik ke sejumlah tokoh sebut saja di antaranya Menko Perekonomian sekaligus Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Tak hanya itu, ada juga Menteri Pertahanan sekaligus Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kompas.com, 13/5/2022).

Berita lain datang dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang sebelumnya telah mendeklarasikan diri siap maju dalam Pilpres 2024. Ridwan juga menyatakan bakal masuk partai politik pada tahun ini guna memuluskan langkahnya maju di kontestasi politik nasional. Dan masih banyak lagi agenda Safari politik menjelang Pilpres 2024 (Tempo.co, 15/5/2022). 

Beberapa parpol bahkan mengaku telah berhimpun untuk kepentingan Pilpres 2024 meski belum menentukan nama calon Presiden yang akan diusung. Tampaknya safari politik terkait persiapan Pilpres 2024 tersebut sangat ramai di agendakan oleh tokoh-tokoh yang seharusnya bertanggung jawab mengurus agenda rakyat.

Mereka ingin bertahan di kursi kekuasaan, padahal kapasitas menyelesaikan persoalan umat sangat diragukan. Ingat jawaban asal dari pemimpin negeri saat umat menghadapi kesulitan. Tidak sekali dua kali rakyat disakiti ucapan para pejabat rezim hari ini, semisal terkait mahalnya harga cabai, rakyat disuruh menanam sendiri.

Daging mahal, rakyat disuruh makan keong sawah,  listrik mahal rakyat disuruh cabut meteran, BPJS naik rakyat  disuruh jangan sakit. Dan ketika minyak goreng langka, ada yang tega mengejek para ibu tidak kreatif mengolah masakan.

Fenomena demikian akan senantiasa ada, selama sistem demokrasi yang berbiaya mahal dalam meraih tapuk kekuasaan masih bercokol. memang sulit menjadikan para politisi untuk lepas perhatian dari kursi kekuasaan. Padahal pada hakikatnya mereka adalah pelayan umat. Tugasnya meriayah rakyat, bukan berlagak seperti penguasa yang tiran, menindas, abai dan menyakiti hati rakyatnya.

Jargon demokrasi, "Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat" berhasil menjebak rakyat untuk mendukung kekuasaan yang dikendalikan oleh para kapital. Rakyatpun tertipu dengan janji-janji palsu. Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya," (HR. Muslim). 

"Tiga orang yang Allah enggan berbicara dengan mereka pada hari kiamat kelak, Dia tidak sudi memandang muka mereka, Allah tidak akan membersihkan mereka dari dosa, Allah juga akan mempersiapkan siksa yang sangat pedih bagi mereka, salah satunya adalah penguasa yang suka berdusta." (HR. Muslim)

Alhasil, tidak akan pernah dijumpai satu pun sahabat Rasulullah SAW yang berebut kekuasaan. Mereka sadar akan tanggung jawab yang besar dalam kepemimpinannya. 

Perhatikan pidato Abu Bakar ra. ketika diangkat menjadi khalifah. Beliau menyampaikan, "Wahai manusia, aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kamu, maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah, ikutilah aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah. Maka hendaklah kamu taat kepadaku, selama aku taat kepada Allah dan rasulNya. Namun bilamana aku tiada mematuhi Allah dan rasulNya, maka kamu tidak perlu mematuhi."

Sungguh kita rindu hadirnya pemimpin seperti Abu Bakar ra., Umar bin Khattab ra., dan yang lainnya. Pemimpin tersebut tak lahir dalam sistem demokrasi, tapi mereka hanya lahir dari sistem Islam, yakni Khilafah Islamiah.[]

Oleh: Nabila Zidane (Analis Mutiara Umat Institute) dan Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute)

Posting Komentar

0 Komentar