Politik Dinasti dan Korupsi: Kelindan Abadi dalam Demokrasi


TintaSiyasi.com -- Bak dua sisi mata uang. politik dinasti dan korupsi adalah kelindan tak terpisahkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap praktik rasuah dilakukan oleh mereka yang mempunyai hubungan keluarga.

Terbaru adalah operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Bupati Bogor Ade Yasin yang diduga terlibat kasus suap. Rachmat Yasin (kakak Ade) pun menjadi terpidana kasus suap Rp 4,5 miliar dalam tukar-menukar kawasan hutan PT Bukit Jonggol Asri pada 2014, perkara gratifikasi untuk kepentingan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bogor 2013, serta Pemilu 2014.

Praktik korupsi yang melibatkan anggota keluarga tak hanya terjadi di kalangan politikus. Juga merambah ke kalangan pengusaha hingga aparat penegak hukum. Selain Ade Yasin dan Rachmat Yasin, sejumlah kasus korupsi yang pelakunya kakak dan adik yaitu: mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias Wawan, mantan Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus dan sang adik, mantan Bupati Banggai, Sulawesi Tengah, Zainal Mus, serta Bupati Mesuji Khamami dan adiknya, Taufik Hidayat (kompas.com, 28/4/2022). 

Korelasi politik dinasti dengan korupsi tak terbantahkan lagi. Terkait ini, peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai, dinasti politik bisa mengarah kepada oligarki, korupsi, dan rusaknya demokrasi. Ya, dinasti politik berikut efek sampingnya telah menambah buram wajah politik di negeri ini. Wajah oligark dalam demokrasi nepotis.

*Dinasti Politik: Keniscayaan Demokrasi*

Bagi politikus, membentuk dinasti politik adalah pilihan rasional. Umumnya, mereka ingin mempertahankan kursi kuasa selama mungkin. Saat hasrat tersebut terbentur aturan pembatasan masa jabatan, memperpanjang umur kekuasaan melalui kerabat adalah cara paling masuk akal. 

Sejumlah politikus memanfaatkan situasi tersebut untuk memperluas kekuasaannya dengan 'naik kelas' ke tingkat pemerintahan lebih tinggi. Atau 'pindah kamar' menguasai lembaga legislatif jika sebelumnya berada di eksekutif. Makin panjang umur dan jangkauan kekuasaan dinasti politik, makin lama keluarga tersebut menikmati berbagai keuntungan.

Menurut Yoes C. Kenawas, ada empat penyebab politik dinasti tumbuh subur. Pertama, Pemilu di Indonesia memberi ruang bagi kerabat elit politik turut dalam kompetisi elektoral.

Tidak ada larangan keluarga politikus dan pejabat publik menggunakan hak konstitusionalnya berpartisipasi dalam pemilihan legislatif, presiden, dan kepala daerah. 

Kedua, lemahnya institusionalisasi partai politik. Seolah menjadi konvensi, kepala daerah biasanya merangkap petinggi partai. Mereka bebas menunjuk kerabatnya menduduki jabatan strategis di tubuh partai dan mencalonkannya dalam ajang kompetisi elektoral. 

Ketiga, kecenderungan petahana menyalahgunakan kekuasaan guna memenangkan keluarga mereka dalam pemilihan. Mobilisasi aparatur sipil negara dan penyelewengan anggaran belanja daerah adalah dua modus operandi yang jamak ditemui dalam Pilkada yang diikuti anggota dinasti keluarga. 

Keempat, segmen pemilih yang tidak menganggap hadirnya dinasti politik sebagai masalah. Mereka berpendapat setiap orang berhak berpartisipasi dalam kompetisi elektoral. Sebagian lain memang ‘dipelihara’ kesetiaannya oleh jaringan dinasti politik melalui berbagai program khusus untuk para loyalis.

Satu hal yang sering disorot dari politik dinasti adalah rawan korupsi. Realitasnya, pengadaan dan pembahasan anggaran mendominasi sektor yang paling banyak dikorupsi kepala daerah sepanjang 2016. Sementara enam dari sebelas kepala daerah pelaku korupsi diketahui berkaitan dengan dinasti politik di daerahnya. Fenomena ini mengkonfirmasi politik dinasti turut melanggengkan korupsi. 

Jika ditelisik, politik dinasti merupakan konsekuensi logis penerapan demokrasi. Berkredo Vox Populi Vox Dei (suara rakyat suara Tuhan), demokrasi 'menghargai' suara mayoritas rakyat. Dalam praktik Pemilu maupun Pilkada, pemimpin terpilih oleh suara terbanyak, ia menjadi pemenang. 

Demi meraih suara terbanyak, berbagai upaya dilakukan. Menonjolkan ketenaran ala selebritis, mengeluarkan dana besar untuk iklan diri hingga serangan fajar, serta mengandalkan efek jabatan yang diemban kerabatnya. Peraihan suara lazim diwarnai praktik menghalalkan segala cara ala Machiavelli. Berbagai kecurangan biasa dipertontonkan.

Dalam demokrasi, tujuan politik adalah meraih kekuasaan. Bahkan kekuasaan untuk kekuasaan itu sendiri. Saat seseorang mencapai tahta kuasa, tak hanya mengamalkan prinsip ‘jika sudah duduk lupa berdiri,’ ia berupaya memperluas kekuasaan dengan menempatkan kerabatnya pada posisi jabatan strategis. 

Tak salah jika berbagai kalangan menyebut fenomena ini sebagai aji mumpung. Mumpung berkuasa, mumpung memiliki segenap kekuatan untuk menggurita kekuasaan, mengapa tidak? Maka, politik dinasti dalam demokrasi adalah keniscayaan. Bukan anomali. Demokrasilah yang memberi ruang politik dinasti. 

Secara teori, demokrasi tegak dengan pilar kebebasan. Dalam praktiknya, ia berkelindan dengan liberalisme dan kapitalisme. Prinsip ini mengandalkan kebebasan tanpa batas dan mendasarkan segala sesuatu pada keuntungan material. Jadilah demokrasi mengantar pada pragmatisme politik. Yang utama dari politik adalah kekuasaan, kemenangan, dan kekuatan. Dan ketiganya akan mudah diraih dengan model politik dinasti.

Islam Mewujudkan Kekuasaan Tanpa Nepotisme

Pragmatisme politik adalah aspek menonjol dalam praktik demokrasi. Sungguh berbeda dengan penerapan politik Islam. Islam memandang, politik merupakan aktivitas mengatur urusan rakyat berlandaskan syariat Islam. Jadi tujuan berpolitik bukanlah kekuasaan. Kekuasaan hanya sarana agar hukum Allah SWT bisa diterapkan.

Begitu pula pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam. Ia mesti bervisi melayani, karena pemimpin adalah khadimatul ummah (pelayan umat), yaitu mengatur urusan dan memenuhi kebutuhan (pokok) rakyat, serta menghilangkan perselisihan di antara mereka. 

Jabatan kepemimpinan bukan dambaan sebagaimana kehendak manusia masa kini yang rela menempuh cara apa saja demi meraihnya. Kepemimpinan adalah amanah, bahkan musibah. Tak heran, saat Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah pada masa Bani Umayyah, beliau menangis terisak-isak sambil mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. 

Pemimpin Islam menyadari, kekuasaan adalah amanah berat yang dipertanggungjawabkan.Tak hanya di hadapan rakyat, tapi juga kelak dihisab di hadapan Sang Maha Penguasa Jagat Raya. Inilah pengendali utama yang membuatnya berhati-hati agar proses politik senantiasa berada di jalur ilahi. 

Pemimpin dalam sistem Islam diangkat bukan karena aji mumpung. Pun bukan berdasarkan nepotisme, jalur keturunan, dan kekerabatan. Pemimpin diangkat berdasarkan syarat in’iqad (sah/wajib): Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu. 

Kemampuan ini merupakan keharusan. Karena jika lemah, tentu tak sanggup menjalankan urusan rakyat berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mahkamah madzalim berwenang untuk menetapkan jenis-jenis kelemahan yang tidak boleh ada pada diri pemimpin, sehingga ia dinilai sebagai orang yang mampu dan berkemampuan. 

Demikian pula, seorang pemimpin hendaknya merdeka yaitu terlepas dari pengaruh dan dikte orang atau bangsa lain. Bagaimana ia mampu mengatur urusan rakyat yang berpihak pada hajat mereka jika ia disetir dan dikendalikan pihak lain? Apalagi jika pengendalinya justru memusuhi umat dan syariat Islam.

Pengangkatan pemimpin dalam Islam juga tidak bertele-tele, dengan prinsip birokrasi sederhana dan berbiaya minimal. Jika ia berposisi sebagai calon khalifah, maka mutlak baginya untuk memperoleh ba’iat sebagai tanda ketaatan rakyat. Kalau dalam posisi pemimpin (kepala) daerah, maka khalifah berwenang mengangkatnya.   

Sebagai kepala negara, Rasul SAW telah mencontohkan pengangkatan pemimpin daerah. Hal yang sama dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dan telah menjadi ijma’ sahabat. Berdasarkan dua dalil ini, wali (gubernur) dan ‘amil (setingkat bupati/walikota) ditunjuk dan diangkat oleh kepala negara (khalifah). Jadi, kepala daerah tidak dipilih baik langsung oleh rakyat atau oleh wakil mereka.

Perlu diingat, hal mendasar dari kepemimpinan daerah bukan apakah pemimpin daerah itu dipilih rakyat atau tidak. Yang mendasar adalah pengaturan urusan dan kepentingan rakyat benar-benar terwujud. 

Sebagaimana kepala daerah diangkat oleh kepala negara, maka demikian pula pemberhentiannya. Para wali dan ‘amil bisa diberhentikan karena ada pelanggaran, penyimpangan, kezaliman, ketidakmampuan atau karena faktor lain. Mereka juga bisa diberhentikan tanpa sebab dan kesalahan tertentu. Rasul SAW pernah memberhentikan Muadz bin Jabal dari jabatan Wali Yaman tanpa sebab. Khalifah Umar ra. juga pernah memberhentikan Ziyad bin Abi Sufyan tanpa sebab tertentu.

Dengan itu masyarakat dan pejabat paham bahwa jabatan kepala daerah adalah jabatan biasa dan pemangku jabatan bisa diberhentikan kapan saja. Sehingga jabatan ini tidak akan diagungkan dan orang tidak berlomba-lomba mengejarnya bahkan menghalalkan secala cara.

Jadi, politik dinasti tidak diakui dalam sistem pemerintahan Islam. Kekuasaan dihadirkan pada pundak seseorang bukan karena keturunan (kerabat) tapi karena orang tersebut berkemampuan. Di samping syarat-syarat wajib lainnya.  

Dengan demikian, mana sistem pemerintahan dan karakter peminpin yang layak mengatur urusan umat dengan baik? Tentu sistem dan pemimpin Islam yang mendasarkan aktivitas politik bersumber pada ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya.[]

Oleh: Puspita Satyawati
Analis Politik dan Media

Posting Komentar

0 Komentar