Pemimpin Munafik, Penghalang Tegaknya Hukum Islam

TintaSiyasi.com -- Sifat munafik adalah sifat buruk yang tercela dan dicela dalam Islam. Dalam Al Qur’an, Allah mengungkap salah satu karakter kaum munafik, yakni selalu menghalangi penerapan hukum Allah. Mereka selalu menghalangi orang-orang beriman yang ingin beribadah, mendekat kepada Allah. Jika yang munafik adalah seorang pemimpin, maka dengan sekuat tenaga mereka akan menghalangi setiap usaha orang mukmin dalam perjuangan penegakan hukum Allah.
 
Allah menegaskan dalam firmanNya : Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu (QS An Nisaa’ : 61)
 
Dalam ayat lain, seorang pemimpin yang telah terpapar penyakit hati yang namanya munafik ini memiliki beberapa karakter, diantaranya : pertama, pelit, tak mau berkorban untuk Islam. Jika diminta mengorbankan harta bendanya di jalan Allah, dia enggan dan menolak. Apalagi, saat ada instruksi perang, mereka bersembunyi dan melarikan diri. Pemimpin munafik lebih senang mengumpulkan harta dari orang-orang kafir yang menjadi tuannya demi proyek merusak Islam.
 
Kedua, pemimpin munafik adalah pemimpin yang suka mencaci maki dan menghujat orang-orang beriman yang shalih. Mereka begitu membenci orang-orang mukmin yang gigih membela kebenaran (al-haq) demi menegakkan agama Allah. Memuncaknya kebencian dia adalah sesuatu yang lumrah karena prinsip dan worldviewnya berbeda. 

Misalnya, barisan mukmin sejati itu memiliki semangat tinggi dalam melakukan gerakan dakwah Islam amar makruf nahi mungkar. Pemimpin munafik akan menuduh para pejuang Islam yang gigih sebagai kaum radikal.
 
Karakter pemimpin diatas sejalan dengan firman Allah: mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (QS Al Ahzab : 19)
 
Sebagaimana orang pada umumnya, pemimpin munafik juga memiliki karakter pura-pura, yaitu watak menipu, ingkar janji, bohong, dan khianat. Apabila berada dalam situasi sulit dan bahaya, mereka meminta tolong kepada Rasulullah dan orang-orang mukmin dengan mata yang terbalik-balik, seperti orang pingsan karena takut akan mati. Namun, tatkala ditolong, rasa takut hilang dan situasi kembali normal, orang-orang munafik itu kembali kepada karakter aslinya. Mereka mencaci maki Nabi SAW dan orang-orang mukmin dengan kata-kata yang pedas dan sikap yang menyakitkan.
 
Perhatikan firman Allah : Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna" (QS An Nisaa’ : 62)
 
Selain dalam Al Qur’an, Islam juga menjelaskan karakter kemunafikan ini dalam hadist Nabi. Rasulullah SAW bersabda: tanda orang munafik tiga; apabila berkata ia berbohong, apabila berjanji mengingkari, dan bila dipercaya mengkhianati.” (HR Bukhari dan Muslim)
 
Salah satu karakter pemimpin munafik adalah tukang bohong. Jika kita ingin melihat para pemimpin dan calon pemimpin yang munafik adalah saat tiba pemilu demokrasi. Lihatlah betapa mereka dengan mudahnya berjanji dalam kampanye untuk membela dan mensejahterkan rakyat. Namun faktanya itu semua hanyalah pepesan kosong belaka. Setelah mereka jadi justru kerjanya menjadi cecunguk penjajah dan menyengsarakan rakyat. Demokrasi adalah sistem yang cocok untuk pemimpin munafik dan tidak cocok untuk pemimpin beriman.
 
Selain berbohong, pemimpin munafik juga senangnya ingkar janji atas apa yang mereka kampanyekan di depan rakyat agar mereka dipilih. Saat terpilih, mereka langsung lupa dengan janjinya sendiri. Hal ini sudah ribuan kali terjadi setiap kali pesta demokrasi. Hanya saja sayangnya umat Islam begitu mudah ditipu dengan janji-janji palsu para pemimpin munafik itu. Bahkan ada diantara kaum muslimin yang justru mendukung demokrasi sistem kufur ini. Ironis memang.
 
Pemimpin munafik berdasarkan hadis itu juga adalah mereka yang mengkhianati amanah rakyat. Kepemimpinan itu kan amanah rakyat bahkan amanah Allah SWT. Berkhianat adalah sifat tercela lainnya yang masuk kedalam golongan orang-orang munafik. Orang yang berkhianat ini adalah orang yang melanggar atau menghancurkan kepercayaan yang sudah diberikan padanya. Orang yang senang berkhianat seperti ini jika diberikan tanggung jawab dan amanat justru akan melakukan hal yang sebaliknya.
 
Masalah kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah perkara yang sangat penting. Saking pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam Islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu Bakar Asy Syidiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.
 
Fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur urusan manusia agar tertib sejalan dengan nash Al-Qur’an serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Rasulullah memerintahkan kaum muslim agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah  perjalanan. Jika dalam sebuah perjalanan saja harus diangkat seorang pemimpin, apa lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Islam mewajibkan umat Islam untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat  . Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS An Nisaa : 59).
 
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaatinya. 

Sebaliknya tidak wajib taat kepada kemimpin tidak memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT atau memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW laa thoata li makhluqin fii maksiatil kholiq tidak ada ketaatan kepada makhluk yang memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. (HR Ahmad). Dengan demikian ketaatan kepada pemimpin dalam  pandangan Islam hanya jika pemimpin tersebut terikat kepada hukum dan aturan Allah SWT dalam merumuskan hukum dan perundang-undangan.



Oleh : Ahmad Sastra
Ketua FDMPB

Posting Komentar

0 Komentar