Kritik terhadap UU Sumber Daya Air 2019: Mengapa Masih Berpolitik Hukum yang Sama dengan UU No. 7 Tahun 2004 yang Dibatalkan oleh MK?


TintaSiyasi.com -- Kini bangsa Indonesia telah memiliki UU Sumber Daya Air (UUSDA) yang baru, menyusul dibatalkannya UUSDA No. 7 Tahun 2004. Undang-Undang (UU) Sumber Daya Air (SDA) 2019 masih perlu dikritisi karena, menurut UU SDA No. 17/2019 mengandung esensi sama dengan UU SDA No. 7/2004 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 18 Februari 2015. Penulis sendiri sempat memberikan keterangan Ahli pada saat judicial review kedua atas UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air hingga akhirnya UUSDA 2004 dibatalkan secara kesuluruhan dan berarti kembali ke UU No. 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan. 

Melalui UU SDA 2019 Pemerintah dapat dinilai membuka ruang seluas-luasnya kepada korporasi untuk melakukan privatisasi usaha air yang sejak awal menjadi isu paling krusial sehingga UU SDA 2004 dibatalkan oleh MK. 

Dalam UU SDA 2019 Hak Guna Usaha (HGU) air bermetamorfosis kepada diksi penggunaan sumber daya air untuk usaha dan bukan untuk usaha. Dalam hal pola perolehan perizinan, masih dapat kita simpulkan juga masih sama. Jadi, nafas privatisasi air tetap mewarnai UU SDA 2019 ini. 

Kalau demikian maka, judicial review atau uji materiil maupun gugatan warga negara (citizen lawsuit) seperti yang dilakukan terhadap Pengelolaan PDAM DKI Jakarta, penulis juga sempat menjadi Ahli dalam perkara gugatan CLS di DKI Jakarta ini tetap berpotensi dilakukan oleh komunitas masyarakat sipil, terlebih setelah PDAM juga didorong untuk turut memproduksi air minum dalam kemasan.  

Perlu dicatat di sini bahwa ternyata ada perbedaan menyolok dalam hal perhatian DPR dan masyarakat pemerhati lingkungan hidup khususnya air. Meskipun esensi UU SDA versi 2004 dan 2019 sama-sama sarat dengan kontroversi, namun konflik politik yang tercermin dalam proses pembahasan di DPR RI sangat berbeda. Untuk penyusunan UU SDA 2019 ini, penulis juga sempat diundang oleh MPR bersama Prof. Dr. Irman Putra Sidin untuk memberikan masukan terhadap pola pengelolaan SDA. Namun memang terasa sekali perbedaan dinamika politiknya. 

Dinamika akademik dalam proses penyusunan UU 17/2019 hampir bisa dikatakan tidak terjadi. UU SDA ini sepi dari konteks perdebatan publik. Tidak disangka, tiba-tiba sudah disahkan DPR RI pada September 2019 lalu tahun lalu. 

Mengapa hal ini terjadi? Penulis yang sempat juga bicara perihal privatisasi air di forum seminar Pengelolaan SDA di Universitas Brawijaya Malang bersama Menteri PUPR Basuki mendugq adanya sikap apatis masyarakat terhadap UU SDA 2019. Mereka capek berpolemik sehingga pembicaraan terkait dengan RUU SDA terkesan sepi dari perdebatan publik. 

Sementara itu, secara esensi UU SDA 2019 masih senada seirama dengan UU SDA 2004, yang notabene sudah dibatalkan lewat putusan MK 2015. Oleh karena itu, UU SDA 2019 berpotensi akan mengalami hal yang sama dengan UU SDA 2004 untuk diuji materi, bahkan dibatalkan. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan dari sisi konten, perbedaan dari kedua UU SDA di antaranya hanya terletak pada diksi yang dipakai. 

UU SDA 2019 tidak menggunakan diksi privatisasi atau Hak Guna Usaha, tapi esensinya justru lebih terbuka dari UU SDA 2004 yakni dengan klausul-klausul yang lebih banyak mengatur tentang keterlibatan ataupun peran swasta. 

Dengan demikian, ketika kita mencoba menghubungkan dengan politik hukum pengelolaan SDA, maka pengesahan UU SDA 2019 maupun 2004 dasarnya dibingkai oleh kepentingan yang sama, yakni kapitalisme khususnya tentang terbukanya terlalu luas dalam pengelelolaan SDA oleh swasta padahal air merupakan res commune yang seharusnya dikelola oleh negara melalui BUMN atau BUMD. Keterlibatan swasta harus dibatasi sebagaimana diputuskan dalam Putusan MK 2015. 

Ke depan Indonesia perlu memiliki tata kelola sumber daya alam terpadu untuk menghindari krisis lingkungan. Krisis lingkungan pada dasarnya berasal dari krisis tata kelola sumber daya alam, termasuk di dalamnya pengelolaan sumber daya air, sehingga pengelolaan sumber daya air pun sudah didesain pada paradigma pengelolaan sumber daya alam yang pro-ekologi bahkan deep ecology. 

Negeri ini telah mendeklarasikan diri sebagi negara yang berdasar atas hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945),  maka untuk pencapaian paradigma itu tetap dibutuhkan perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk lebih pro-ekologi. Namun, bisakah kita lakukan jika UU pendukungnya justru tidak pro-ekologi tetapi sebaliknya justru lebih pro-pasar dengan landasan privatisasi pengelolaan sumber daya alam, termasuk air? Kita memang tidak bisa berusaha sendiri. 

Pengelolaan lingkungan tidak dapat dilepaskan dari konteks politik dan ekonomi global. yang melibatkan aktor-aktor berkepentingan baik pada tingkat lokal, regional, maupun global. 

Krisis Air 2025 

Forum Air Dunia memprediksi, krisis air di Indonesia akan mulai terasa pada 2025. Tanda-tanda menuju krisis itu jelas nampak di depan mata.  

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut sedikitnya 102 kabupaten dari 16 provinsi di Indonesia mengalami kekeringan karena ketersediaan air yang tidak mencukupi serta dampak dari musim kemarau. Kekeringan paling banyak terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Selatan dan Bali dan NTT. 

Dalam Country Report for the 3rd World Water Forum Kyoto Japan, dinyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya air di Indonesia menghadapi problema yang sangat kompleks, mengingat air mempunyai beberapa fungsi baik fungsi sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan yang masing-masing dapat saling bertentangan. 

Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas kegiatan ekonomi, telah terjadi perubahan sumber daya alam yang sangat cepat.  

Pembukaan lahan guna keperluan perluasan daerah pertanian, pemukiman dan industri, yang tidak terkoordinasi dengan baik dalam suatu kerangka pengembangan tata ruang, telah mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, erosi, tanah longsor, banjir. 

Di Pulau Jawa saja, wilayah yang hanya memiliki 4,5 persen potensi air tawar nasional, harus menopang kebutuhan 60 persen jumlah penduduk Indonesia, hampir 70 persen daerah irigasi Indonesia, dan harus melayani 70 persen kebutuhan air industri nasional.  

Fenomena tersebut tentunya mengakibatkan terjadinya peningkatan konflik antara para pengguna air, baik untuk kepentingan rumah tangga, pertanian dan industri, termasuk penggunaan air permukaan dan air bawah tanah di perkotaan. 

Melihat kondisi terkini, pemerintah tidak bisa berdiam diri. Yang harus segera dilakukan adalah konservasi sumber daya air.  

Konservasi air pada prinsipnya adalah memanen dan meningkatkan jumlah air hujan dan aliran permukaan yang masuk ke dalam tanah, memanfaatkan air secara efisien serta memelihara kualitas air yang ada untuk memenuhi berbagai kebutuhan secara berkelanjutan. 

Tujuan utama konservasi air adalah meningkatkan volume air tanah, meningkatkan efisiensi pemakaian air, dan memperbaiki kualitas air sesuai peruntukannya. 

Strategi  konservasi air diarahkan untuk mengupayakan peningkatan cadangan air tanah melalui pemanenan aliran permukaan, peningkatan infiltrasi dan juga mengurangi evaporasi.

Jakarta - diperkirakan sekitar 321 juta jiwa penduduk Indonesia akan mengalami kelangkaan air bersih pada tahun 2025. Pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan ketersediaan air dan perilaku masyarakat yang boros air menjadi penyebab utamanya. 

Berdasarkan data dari Indonesia Water Institute, pada tahun 2013, pemakaian air per hari rata-rata rumah tangga di perkotaan di Indonesia untuk golongan ekonomi menengah ke bawah adalah 169,11 liter/orang, sedangkan untuk golongan ekonomi menengah ke atas adalah 247,36 liter/orang untuk kegiatan sehari-hari seperti mencuci tangan, menggosok gigi, mandi, toilet, mencuci baju, mencuci piring, memasak, menyiraam tanaman, dan mencuci kendaraan. 

Firdaus Ali, Pendiri dan Ketua Indonesia Water Institute memaparkan tentang kondisi air bersih di Indonesia, "Sebenarnya, sejak tahun 2000 telah terjadi kelangkaan air bersih di beberapa kawasan di Indonesia. Data memperlihatkan bahwa Pulau Jawa telah mengalami defisit air sebesar 2,809 miliar meter kubik, Sulawesi 9,232 miliar meter kubik, Bali 7,531 miliar meter kubik dan NTT 1,343 miliar meter kubik". 

"Di Jakarta sendiri, sampai tahun 2013, cakupan layanan air bersih baru mampu menjangkau sekitar 38 persen dari total jumlah populasi (10,1 juta jiwa). Jika sepersepuluh dari warga Jakarta dapat mengubah perilakunya untuk menghemat air, maka dapat bantu memperlambat laju krisis air." 

Tabik...!!!


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar