Khilafah Bukan Ideologi (Berbahaya): Singapura dan BNPT Gagal Paham dan Menodai Ajaran Islam?


TintaSiyasi.com -- Ramai dibicarakan soal daftar penceramah radikal 2022, versi illegal. Dalam daftar itu ada nama Prof. Suteki dan ada nama Ustadz Abdul Shomad (UAS). UAS kini menjadi perbincangan hebat di semua lini media massa lantaran pada tanggal 16 Mei 2022 dicekal oleh Singapura untuk masuk meskipun hanya untuk berlibur, bukan berdakwah dengan tabligh akbar. Terkhir terdapat penjelasan dari Kementerian Dalam Negeri Singapura tentang alasan UAS dicekal, antara lain menganut ideologi berbahaya dan ekstremis. Ideologi apa gerangan yang dimaksud? Apakah komunisme? Apakah liberalisme? Tentu keduanya tidak. Saya duga pasti terkait dengan ideologi Islam yang antara lain menurunkan konsep sistem pemerintahan Islam yang disebut khilafah dan karakteristik lain yang memang berasal dari sumber Al-Qur'an, misalnya soal penyematan kata kafir bagi non muslim. Hal itu antara lain yang menyebabkan UAS disebut sebagai orang yang berbahaya. Ini saya kira sebuah fitnah yang keji. 

Terkait dengan penceramah radikal Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwahid, menyebut ada lima ciri penceramah radikal. Salah satunya, BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Kreteria pertama ini tendensius dan rawan dijadikan alat gebuk pada ajaran Islam Khilafah. 

Apakah khilafah itu sebuah ideologi? Ataukah hanya sistem pemerintahan sebagaimana monarki, demokrasi, teokrasi? Untuk menjawab hal ini, kita perlu flashback ke belakang. Tahun 2020 pernah santer isu penyusunan HIP--yang sekarang sudah dihapus RUU-nya. 

Untuk apa sebenarnya RUU HIP ini dibuat? 
Kecurigaan saya ternyata terbukti ketika fraksi-fraksi pengusungnya sengaja menolak dimasukkannya Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan larangan menganut ideologi komunisme dan marxisme-leninisme. Protes umat Islam menggema menolak RUU HIP karena penolakan Tap MPRS tersebut sebagai politik hukumnya. Perkembangan terakhir inisiator RUU HIP setuju memasukan Tap MPRS tersebut dengan syarat agar paham lain yang mengancam dan bertentangan dengan Pancasila dicantumkan juga sebagai ideologi terlarang. Seperti saya sebutkan di muka, Sekjen PDIP menyebut ada dua ideologi yang dimaksud, yaitu Khilafahisme dan Radikalisme. 

Khilafahisme hendak disejajarkan dengan ideologi terlarang komunisme. Hal ini dapat dipandang pelecehan dan penistaan ajaran Islam. Khilafah bukan isme tapi sistem pemerintahan yang berbasis pada ideologi Islam. Mengkriminalkan ajaran Islam adalah tindakan gegabah dan menistakan agama. Jika Indonesia menyatakan belum menerima sistem kekhalifahan sebagai sistem untuk mengatur penyelenggaraan negara, tentu tidak serta merta menempatkan ajaran Islam ini sebagai isme yang dilarang dan bertentangan dengan Pancasila. Ini bukan apple to apple. 

Khilafah adalah bagian dari ajaran agama Islam di bidang politik (siyasah). Dalam hal ini ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah setelah beliau. Oleh karena  itu ajaran agama maka Ia tak layak disejajarkan dengan paham lain buatan manusia yang bukan ajaran agama. Maka khilafah tak pantas ditambahi isme sebagaimana paham buatan manusia seperti Kapitalisme, komunisme, radikalisme, dll. 

Jika kesesatan berfikir tentang khilafah dibiarkan, maka bisa saja nanti ajaran Islam yang lain akan juga disejajarkan dengan ajaran atau isme buatan mausia. Bisa saja mereka akan melecehkan kesucian ajaran haji dengan haji-isme, jihad-isme, zakat-isme, jilbab-isme, dll. Padahal itu jaran islam yang pasti baik buat manusia karena datang dari Allah SWT, sang Pencipta alam semesta. 

Narasi khilafahisme disejajarkan dengan komunisme jelas sangat menodai ajaran agama Islam. Dampak buruknya penyamaan ini adalah menyamakan pendakwah khilafah (HTI) disamakan dengan pengusung komunisme (PKI). Jika sengaja menyejajarkan ajaran agama dengan paham lain buatan manusia, maka itu merendahkan bahkan melecehkan ajaran agama. Menyamakan Khilafah dengan paham komunisme, radikalisme dan paham lain yang negatif adalah termasuk merendahkan ajaran agama Islam. Bahkan dapat dikategorikan menodai ajaran agama islam. Jadi dapat dinilai sebagai penistaan agama. 

Dalam hal ini dapat dinilai sebagai bentuk permusuhan atau kebencian terhadap ajaran agama Islam. Dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran Pasal 156a KUHP bahwa harus diingat unsur utama untuk dapat dipidananya Pasal 156a adalah unsur sengaja jahat untuk memusuhi, membenci dan/atau menodai ajaran agama (malign blasphemies). Sedangkan menyatakan terkait khilafah sebagai ideologi kemudian dikampanyekan dan dibuat opini seolah-olah sesuatu kejahatan dihadapan dan/atau ditujukan kepada publik, artinya dapat dinilai unsur sengaja, terpenuhi. 

Pasal 156a KUHP berbunyi : 

"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: 

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia". 

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa khilafah itu betul-betul bagian dari ajaran Islam yang dipelajari dalam kitab-kitab fikih terkait dengan Bab Siyasah. Tidak tepat disejajarkan dengan komunisme, kapitalisme, marxisme-leninisme yang secara formal memang sudah dilarang di Indonesia. Kita mesti fair terhadap ajaran Islam ini, tidak boleh menistakannya dengan cara mengkriminalisasikan. Persoalan khilafah itu tidak atau belum dianggap sesuai dengan alam demokrasi di Indonesia itu persoalan pilihan dan memang tidak boleh dipaksakan apalagi penggunaan kekerasan seperti makar. Namun, siapapun juga tidak boleh menyatakan khilafah itu ajaran terlarang dan harus diperangi dan memburu pendakwahnya seperti seorang penjahat. Ini termasuk penistaan terhadap agama yang dapat dijerat dengan Pasal 156a KUHP sebagaimana telah dibahas di muka. 

Perlu diketahui bahwa ternyata masih banyak pejabat negeri ini yang tidak menginsyafi tindakannya karena menyatakan bahwa khilafah adalah sebagai isme dan disejajarkan dengan komunisme yang jelas sebagai ideologi terlarang. Bahkan, ada pejabat yang menyatakan bahwa ASN yang terbukti menganut ideologi khilafah akan diberhentikan tidak dengan hormat dengan tuduhan melecehkan Pancasila berdasarkan Pasal 87 UU ASN. Meskipun pelaku mungkin mengklaim tidak ada niat melecehkan ajaran Islam,  namun akibat yang tidak diinginkan pasti terjadi. Yakni, adanya perasaan keagamaan umat Islam yang tercederai oleh tindakan para pejabat tersebut. 

Untuk itulah jika kita ada kejujuran intelektual, maka perbuatan pejabat itu seharusnya dapat dihindari dan jika tetap pada pendiriannya maka pernyataannya itu dapat dikategorikan sebuah penistaan terhadap agama. 

Bagaimana, adakah keujuran intelektual Anda dalam hal penyejajaran sistem pemerintahan Islam khilafah dengan ideologi komunisme? Patutkah kita menduga orang yang menyejajarkan khilafah dengan komunisme dan menyatakannya berbahaya dan merupakan bencana bagi umat Islam telah melakukan penodaan terhadap agama? Pertanyaan besarnya adalah: Mengapa di tengah slogan gerakan anti-islamofobia tetap dipelihara sikap islamofobia? Lalu buat apa polisi dunia mempropagandakan kebijakan Anti-Islamofobia yang diamini oleh PBB dengan menetapkan tanggal 22 Maret 2022 sebagai Hari AntiIslamofobia? Tampaknya kita tidak dapat percaya begitu saja kepada mereka. Itu program hanya lamis alias just lips service. Tetaplah Radikal, ramah terdidik dan berakal. Tabik![]


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat)

Parigi Moutong Sulteng, Rabu: 18 Mei 2022

Posting Komentar

0 Komentar