Kaum Pelangi Makin Eksis, Happy atau Ngeri?

TintaSiyasi.com -- "Kami happy loh,” begitulah potongan judul video tentang kehidupan Ragil-Fred sebagai pasangan homoseksual yang diunggah di kanal Youtube pada Sabtu (07/05). Video itu pun jadi sensasi. Pasalnya, Ragil sendiri bisa dibilang seorang influencer. Dia menyebarkan semangat dan motivasi di media sosialnya, khususnya kepada sesama gay bahwa pasangan homoseksual pun berhak bahagia (papanskor.com, 8 Mei 2022). Dirinya aktif berbagi di Tiktok dengan 3,8 juta pengikut, juga memiliki akun YouTube dengan sekurang-kurangnya 141 ribu pelanggan. Tak ketinggalan, akun instagramnya pun diikuti sekitar 186 ribu orang. Tak mengherankan pasangan gay ini viral saat tampil di kanal YouTube Deddy Corbuzier yang memiliki 18,6 juta pelanggan. 

Sejak video tersebut diunggah, perbincangan terkait LGBTQ di Twitter meningkat pesat. Berdasarkan temuan analis media sosial sekaligus pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, terdapat sekitar 70.000 kicauan di Twitter dan 2.000 konten di media terkait LGBTQ sejak Minggu (08/05). Cuplikan-cuplikan dari video yang kini telah dihapus tersebut masih kerap muncul di halaman FYP Tiktok. Ini mengindikasikan bahwa secara algoritma, banyak pengguna media sosial yang mencari konten tersebut. Muncullah Streisand Effect yang menyebabkan informasi terkait pasangan gay yang oleh mayoritas warganet tidak ingin tersebar, justru malah menjadi populer dan diketahui secara luas (bbc.com,12 Mei 2022).

Ini salah satu fakta yang menegaskan bahwa kaum pelangi makin eksis. Mereka tak malu-malu lagi menunjukkan orientasi seksualnya. Mereka bahkan menjadi influencer agar orang bangga menjadi seperti dirinya dan agar masyarakat menerima keberadaan mereka. Namun, eksisnya kaum pelangi ini tentu tak sekonyong-konyong, melainkan tersebab berbagai upaya sistemis di seluruh dunia untuk menormalisasi, mendukung, dan melindungi eksistensi mereka.  


Eksis karena Sistemis

Di antara upaya sistemis dalam rangka mewujudkan inklusivitas kaum pelangi ini dilakukan WHO pada tahun 1990 dengan menghapus LGBT dari daftar penyakit mental (Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders). Ini tentu bagian dari upaya menghilangkan stigma masyarakat terhadap orientasi seksual kaum pelangi. Hak-hak mereka pun telah diakui PBB sejak 2008 melalui UN Declaration on Sexual Orientation and Gender Equality. UNDP meluncurkan program “Being L68T in Asia” dengan pendanaan sebesar AS$8 juta dari USAID di tahun 2014-2017 untuk mewujudkan inklusivitas bagi kaum LGBT yang difokuskan di  Tiongkok,  Filipina, Thailand, dan Indonesia.

Selain itu, bulan Juni dirayakan sebagai bulan Kebanggaan LGBTQ tuk memperingati perjuangan jaminan hak-hak sipil dan keadilan setara di bawah hukum untuk komunitas LGBTQ. Ditetapkan pula Hari Internasional Melawan Homofobia, Bifobia, dan Transfobia setiap 17 Mei dalam rangka meningkatkan kesadaran akan pelanggaran hak-hak LGBT, mempromosikan, dan melobi pengakuan atas kaum LGBT di seluruh dunia. Pada 2016 peringatan ini telah berlangsung di 132 negara (dayagainsthomophobia.org, 17 Mei 2016). 

Sebanyak 31 negara sudah melegalkan pernikahan sesama jenis (www.hrc.org). Sejumlah perusahaan multinasional juga telah terang-terangan menyatakan dukungannya, sebut saja Starbucks, Apple, Microsoft, Google, Coca-Cola, eBay, Amazon, Instagram, Visa, Mastercard, Johnson & Johnson, Uber, dan Nike (huffpost.com, 6 Desember 2017). Industri hiburan turut berpartisipasi dalam mempromosikan LGBT. Sebuah studi baru yang dilakukan oleh kelompok advokasi GLAAD dan Procter & Gamble, pengiklan terbesar di dunia menyimpulkan bahwa film, acara televisi, dan iklan dapat membantu mengubah sikap dan menghapus prasangka terhadap komunitas LGBTQ. 

Studi tersebut menyurvei lebih dari 2.000 orang dewasa Amerika non-LGBTQ dan ditemukan bahwa 48% orang non-LGBTQ menjadi lebih bisa menerima orang gay dan lesbian dalam beberapa tahun terakhir karena kemunculan mereka di media. Ditemukan pula bahwa 45% responden yang telah terpapar LGBTQ pada media mengatakan bahwa mereka lebih bisa menerima orang biseksual dalam beberapa tahun terakhir, sementara 41% lebih bisa menerima orang bergender nonbiner. Selain itu, 80% responden mengatakan menjadi lebih mendukung kesetaraan hak bagi kaum LGBTQ setelah mereka terpapar LGBT di televisi atau di bioskop (nbcnews.com, 28 Mei 2020). 

Totalitas dukungan sistem sekuler terhadap kaum pelangi sebenarnya tidak mengherankan. Sebagai konsekuensi menolak nilai-nilai agama mengatur masyarakat, sistem ini memandang manusia berhak menetapkan nilai-nilai dalam kehidupannya sendiri. Manusia dianggap paling tahu apa yang terbaik tuk dirinya. Karenanya, sistem ini menjamin kebebasan individu untuk mengejar definisi kebahagiaannya masing-masing. Sekalipun menyalahi fitrah, orientasi seksual kaum pelangi harus dipandang sebagai perbedaan yang diakui dan ditoleransi karena merupakan perwujudan kebebasan individu mencapai kebahagiaan.


Kaum Pelangi Makin Eksis di Negeri Muslim, Ngeri!

Indonesia nyata tak luput dari efek kampanye global promosi hak-hak kaum pelangi ini. Sebagai sesama negara sekuler yang menolak diterapkannya hukum agama dalam negara, Indonesia dengan jumlah Muslim terbanyak di dunia tidak berdaya menghentikan masuknya ide HAM, toleransi dan budaya liberal ala Barat, termasuk perilaku LGBT ini. Tengoklah, sampai hari ini tak ada tindakan hukum apa pun terhadap Deddy Corbuzier. Begitu pula terhadap tokoh publik/pelaku LGBT yang go public, alias terang-terangan dengan penyimpangan orientasi seksualnya atau terang-terangan mendukung kaum pelangi.

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, "Ini negara demokrasi. Negara tak berwenang melarang Deddy Corbuzier menampilkan LGBT di podcast miliknya. Rakyat pun berhak mengkritik Deddy, seperti halnya Deddy berhak menampilkan video wawancara dengan LGBT." (nasional.sindonews.com, 11 Mei 2022). Demikianlah, dalam negara demokrasi, bermaksiat dalam hal ini menjadi pelaku LGBT atau mendukung eksistensi mereka, adalah hak asasi manusia yang tidak boleh diintervensi negara. 

Pembiaran negara dalam masalah ini seolah jadi indikasi persetujuan atau bahkan perlindungan terhadap eksistensi perilaku keji dan gerakan mengkampanyekannya. Pengesahan UU TPKS dan Permendikbud PPKS nomor 30/2021 lalu juga tidak mendefinisikan perilaku LGBT sebagai kekerasan dan kejahatan selama suka sama suka. Kedua regulasi ini berpotensi besar menjadi celah kian suburnya perilaku LGBT. Di tahun 2018 lalu Ketua MPR Zulkifli Hasan pernah mengungkapkan bahwa DPR sedang membahas soal UU LGBT atau pernikahan sesama jenis dan sudah ada lima fraksi di DPR RI yang dianggap "menyetujui perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)" (kumparan.com, 20 Januari 2018).  

Ngeri. Ternyata di negeri Muslim terbesar sedunia ini makin nyata tampak kekuatan dan dukungan politik yang berpihak kepada eksistensi kaum pelangi. Bila umat lengah bahkan diam, keberadaan mereka lambat laun akan dianggap normal dan diterima, sementara ajaran Islam dan Muslim yang teguh menolaknya akan tersisih. Na’udzubillahi min dzalik. 

Solusi Agar Kaum Pelangi Tersisih dan Muttaqin Kian Eksis

Telah digambarkan di atas totalitas upaya sistemis berbagai negara, lembaga internasional, industri hiburan, dan perusahaan multinasional untuk mengeksiskan kaum LGBT ini. Sayangnya, saat ini umat Islam harus berhadapan dengan upaya global tersebut tanpa dukungan sistemis yang sebanding kekuatannya.

Orang-orang yang berusaha bertakwa dengan berdakwah diredam suaranya dengan stigma mabuk agama, intoleran, radikal, atau ekstremis saat menegaskan keharaman dan penolakan terhadap perilaku LGBT. Saat para influencer seperti Ragil dan para pendukungnya bebas bersuara di media sosial, konten-konten dakwah justru tak sedikit dihapus sepihak karena “melanggar panduan komunitas” mereka yang pro LGBT. Umat yang awam pun sangat rentan disesatkan opini pro LGBT yang secara lancang mencatut ayat suci Al-Qur'an dengan penafsiran yang ngawur untuk membenarkan penyimpangan seksual ini. 

Maka, agar orang-orang bertakwalah (muttaqin) yang makin eksis, segala bentuk ketakwaan harus diberi dukungan sistemis berskala negara. Negara macam apa yang mendukung bahkan memaksa masyarakat bertakwa? Hanya khilafah berdasarkan metode kenabian. Khilafah adalah negara yang berstandarkan halal-haram, bukan negara yang mengagungkan kebebasan individu seperti sistem demokrasi sekuler saat ini. Khalifah sebagai kepala negaranya akan menerapkan hukum Islam secara total sehingga semua pintu maksiat tertutup dan masyarakat mudah dalam bergegas mengerjakan perintah Allah. 

Keharaman perilaku LGBT (liwath) terang benderang dalam Islam. Melanggarnya termasuk salah satu dosa besar. Karenanya, dalam khilafah, kampanye, propaganda atau seruan apa pun yang mengarah pada penyimpangan seksual diharamkan. LSM, influencer, penulis buku, atau siapapun yang terlibat dalam gerakan mendukung dan menyebarkan paham LGBT akan dijatuhi sanksi keras. Para pelaku homoseksual diancam dengan sanksi keras berupa hukuman mati bagi kaum gay yang masih bujang ataupun yang sudah menikah, kecuali bagi para korban kekerasan seksual para gay tersebut. Adapun lesbianisme dikenai sanksi ta’zîr, yang bentuk hukuman dan kadarnya diserahkan kepada qâdhi (hakim) bisa dicambuk, dipenjara, atau bahkan dihukum mati jika sudah sangat keterlaluan. 

Jelaslah, di dalam sistem Khilafah Islamiyah, kaum pelangi tidak akan diakui dan akhirnya tersisih, sementara para muttaqin akan kian eksis. Inilah definisi ‘happy’ yang sesungguhnya, yakni saat masyarakat berbondong-bondong, berlomba-lomba mengerjakan ketakwaan; mereka terhindar dari murka Allah, ridha serta rahmat Allah pun tercurah atas mereka. Allahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Arif Susiliyawati, S.Hum
Sahabat TintaSiyasi

Posting Komentar

0 Komentar