Islamofobia Kaum Akademisi: Rasis, Tendensius dan Intoleran


TintaSiyasi.com -- Pernyataan yang menista kerudung bagi muslimah sebagai manusia gurun adalah pernyataan rasis, tendensius dan intoleran. Mungkin orang yang menyatakan rasisme itu tengah terpapar islamophobia hingga terbentuk dalam dirinya sikap sekuler radikal. Pernyataan itu sangat menyakiti hati umat Islam mayoritas di negeri ini dan sebagian besar muslimahnya telah memakai kerudung sebagai bentuk ketaatan kepada perintah Allah dalam menutup aurat. 

Sejak tahun 1980 an, kesadaran memakai kerudung semakin marak dan menggelombang di negeri ini. Kerudung bukan lagi menjadi khas muslimah di perkampungan, namun sudah menggelombang juga di muslimah perkotaan. Penggunaan kerudung kini telah menjadi femonena luar biasa di negeri ini. Dari anak-anak PAUD hingga istri pejabat telah menggunakan kerudung ini. Apakah semua muslimah yang memakai kerudung dikatakan sebagai manusia gurun? 

Pernyataan rasis itu juga merupakan pelanggaran HAM karena dia telah ikut campur urusan ajaran agama Islam. Kaum muslimin punya agama Islam yang mengatur segala urusan, dari persoalan akidah, muamalah dan syariah. Islam agama sempurna yang menjelaskan dengan sempurna dari mulai cara berpakaian hingga cara mendirikan negara. 

Beragama dan meyakini ajarannya adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi negara ini. Ikut campur urusan agama orang lain adalah melanggar hak asasi manusia. Orang yang tak jelas agamanya tidak berhak ikut campur urusan agama orang lain. Maka, jika ada orang ikut campur urusan syariah agama Islam, maka itu melanggar hak asasi manusia. 

Urusan agama adalah hubungan seorang hamba kepada TuhanNya. Dalam Islam seluruh perbuatan manusia ditimbang oleh hukum-hukum seperti wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sebagaimana shalat lima waktu, menutup aurat adalah sebuah kewajiban yang datang dari Allah. Untuk muslimah, memakai jilbab adalah kewajiban dari Allah.  

Ada beberapa ayat berikut yang menunjukkan akan hal ini :
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al Ahzab : 59) 

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS Al-A’raf :26) 

Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS An-Nur : 31). 

Sebagai umat Islam tidak boleh ikut campur ajaran agama lain yang tidak mewajibkan menutup aurat, sebab itu telah menjadi keyakinan mereka sesuai ajaran agamanya masing-masing. 

Begitupun umat agama lain tidak berhak ikut campur atas syariah yang telah Allah tetapkan bagi seorang perempuan. Termasuk mengajarkan memakai jilbab sejak usia dini adalah hak setiap umat Islam kepada anak-anaknya yang perempuan. 

Islam dengan indah telah mengajarkan toleransi yang sempurna, sebagaimana firman Allah : Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS Al Kafirun : 1-6).

Secara hukum, bisa jadi pernyataan rasis itu melanggar hukum yakni penistaan agama dan ujaran kebencian. Tulisan Prof Budi Santoso Purwokartiko yang patut diduga melanggar hukum adalah :  “Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai tidak satupun yang menutup kepala ala manusia gurun,” “Mereka mencari Tuhan di negara-negara maju seperti Korea Selatan, Eropa dan Amerika Serikat bukan ke negara orang-orang pandai bercerita tanpa karya teknologi”. 

Frasa ‘mahasiswi’ dan frasa ‘menutup kepala ala manusia gurun’ dapat dimaknai seorang wanita timur tengah dalam hal ini adalah muslimah yang mengenakan jilbab dan kerudung. Pernyataan ini dapat dinilai mengandung perasaan kebencian SARA. Sedangkan frasa selanjutnya “….bukan ke negara orang-orang pandai bercerita tanpa karya teknologi” Pernyataan ini dapat dinilai mengandung penghinaan.

Pernyataan di atas menimbulkan kebencian dan penghinaan terhadap SARA. Palakunya dapat dijerat Pasal 156 dan/atau Pasal 157 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Sedangkan letak unsur pidananya adalah menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan kebencian atau penghinaan berdasarkan, golongan, suku, agama dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum. 

Paradoks memang di rezim Jokowi ini. Di satu sisi pemerintah gencar berbicara soal toleransi antar umat beragama, namun disisi lain justru penghinaan atas Islam ini semakin marak dan menggila. Lebih ironis lagi seringkali pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Misal gerombolan buzzeRp yang justru sengaja melakukan berbagai tindakan dan ucapan yang mengarah kepada ujaran kebencian, pecah belah bangsa, intoleransi dan penistaan atas Islam dan ajarannya. Namun, sayangnya mereka seolah kebal terhadap hukum. mereka terus melenggang tanpa ada sentuhan hukum, meski telah dilaporkan ke pihak kepolisian. 

Paradoks kedua adalah di saat dunia Barat telah menyatakan anti Islamophobia yang oleh PBB telah dinyatakan dengan tegas bulan Maret 2022, namun ironisnya di negeri ini seolah baru mulai dan semakin meninggi tensinya. Padahal negeri ini adalah negeri mayoritas muslim, namun Islam dan ajarannya selalu dianggap sebagai masalah. Umat Islam yang mencoba menjalankan agamanya dengan kaffah justru dituduh dengan berbagai tuduhan yang menyakitkan seperti radikal, fundamnetalis dan bahkan teroris. Sangat menyedihkan memang. 

Secara genealogis, islamophobia memang berawal dari dunia Barat yang memang anti Islam, lantas menjalar sampai negeri-negeri pembebeknya, seperti Indonesia. Islamophobia bisa dikatakan sebagai kejahatan politik Barat dikarenakan permusuhan kepada Islam disatu sisi, dan disisi lain, umat Islam juga tengah mengalami kebangkitan dimana-mana. Narasi Islamophobia itu muncul di Barat yang nyata-nyata anti kepada Islam. 

Berbagai tindakan Barat yang anti Islam terus dilakukan melalui berbagai strategi. Narasi Islam moderat atau moderasi agama justru dibuat sebagai pertanda bahwa Barat anti Islam. Islam anti Islam karena melihat gejala kebangkitan Islam dimana-mana. Program moderasi beragama disetting Barat sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam.
Dunia Barat tidak menginginkan kebangkitan Islam dengan cara selalu memojokkan Islam dan menfitnah Islam. 

Indonesia sendiri sebagai negara bukan utama seringkali mengikuti narasi yang dibangun oleh negara adi daya. Alhasil, Indonesia meski mayoritas muslim, namun ajaran Islam selalu diframing berbahaya bagi bangsa ini, bahkan para ulama banyak yang dikriminalisasi. Narasi islamophobia itu lahir dari ideologi sekulerisme. Negara-negara yang menerapkan sistem sekulerisme selalu menempatkan Islam sebagai halangan dan ancaman. Itulah mengapa, kebijakan rezim jokowi periode kedua dengan tegas mengusung program utama deradikalisasi. 

Program deradikalisasi yang diusung sebagai kebijakan politik kekuasaan Jokowi inilah yang menjadi pemicu munculnya Islamophobia di negeri ini. Terlebih ketika penguasa didukung oleh para buzzeRp yang secara intelektual sangat rendah namun memiliki sentimentalitas tinggi. Akibatnya ucapan-ucapan mereka sering sangat rasis, intoleran, tendensius dan berpotensi memecah belah bangsa. 

Allah sendiri sebenarnya telah memberikan sinyal peringatan bahwa upaya kebencian atas Islam itu terjadi sejak dulu hingga nanti : ……..Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya [QS 2 : 217] 

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya (QS As Saff : 8) 

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (QS Al Baqarah : 120) 

Dalam teori Psikoanalisa Freud, phobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan dipindahkan ke suatu objek atau situasi yang memiliki koneksi simbolik dengannya.

Begitulah pula dengan kata Islam yang dijadikan sebuah obyek untuk menakut-nakuti masyarakat akhir-akhir ini. Islam  yang justru merupakan ajaran mulia dikonstruk sedemikian rupa seolah sesuatu yang menyeramkan, buruk dan membahayakan terus ditanamkan melalui impuls-impuls id masyarakat tanpa memberikan kesempatakan kepada pikiran rasional untuk mengkajinya, maka lahirlah kondisi kejiwaan yang abnormal berupa Islamophobia. 

Dalam konteks penyakit kejiwaan, maka yang salah bukanlah Islam, namun ketakutan dan kecemasan yang berlebihan [irasional] inilah yang menjadi masalah dan harus disembuhkan. Sebab phobia adalah penyakit kejiwaan yang bisa disembuhkan.

Psikologi abnormal American Psychological Association menerbitkan panduan referensi untuk psikologi abnormal, yang dikenal sebagai psikologi abnormal yang dijadikan sebagai definisi internasional. Manual referensi ini mendefinisikan psikologi abnormal sebagai “respons abnormal terhadap rangsangan eksternal yang mungkin berbeda secara signifikan dari norma-norma yang diamati di lingkungan orang tersebut”. Perilaku yang dianggap abnormal dibagi menjadi dua kategori utama. Kategori ini termasuk gangguan mental dan kondisi kesehatan mental lainnya. 

Secara etimologi, kata fobia/fo·bia/ n dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti suatu ketakutan yang sangat berlebihan atau irasional terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya [an anxiety disorder characterized by extreme and irrational fear of simple things or social situations]. Phobia adalah rasa ketakutan kuat (berlebihan) terhadap suatu benda, situasi, atau kejadian, yang ditandai dengan keinginan untuk menjauhi sesuatu yang ditakuti itu. 

Umumnya psikologi abnormal islamoiphobia ini diderita oleh masyarakat umum yang belum memahami dan menyadari akan kesempurnaan Islam. 

Namun, ironi, kasus yang kini sedang jadi perbincangan beberapa hari ini justru memapar kaum akademisi yang bergelar profesor. Apakah profesor itu tidak paham Islam atau memang telah menumpuk kebencian dan kedengkian kepada Islam? Entahlah, tanya aja ke rumput yang bergoyang, maksudnya tanya ke orang yang bersangkutan.



Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Ketua FDMPB 

Posting Komentar

0 Komentar