Benarkah Penetapan Idulfitri Hari Ini Keliru Karena Hilal Belum Mungkin Dirukyat?



Tanya:
Bagaimana menyikapi pendapat bahwa penetapan Idulfitri hari ini (Ahad 1 Mei 2022) keliru dengan alasan hilal belum mungkin dirukyat, karena menurut perhitungan astronomis, hilal belum mungkin dirukyat dan pasti keliru perukyatnya, mengingat ijtimak baru terjadi 03.28 WIB pada hari Ahad 1 Mei 2022?

Jawab:

Sesungguhnya kita menetapkan datangnya Idulfitri itu dasarnya adalah perbuatan kita melakukan rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk hilal Syawal, bukan berdasarkan fakta hilalnya itu sendiri di langit. 

Sekali lagi kami ulangi, yang menjadi dasar penetapan Idulfitri itu adalah perbuatan kita (af'aal al 'ibad) ntuk merukyat hilal, bukan fakta hilalnya itu sendiri secara objektif di langit.

Perhatikan sabda Rasulullah SAW: 

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).

Jika misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawal karena tertutup awan, maka kita menyempurnakan puasa sampai 30 hari, meski pun hilal itu secara fakta scientific sebenarnya memang sudah benar-benar wujud (ada) di balik awan yang menutupi pandangan kita. 

Syekh Atha Abu Rasyta dalam kaitan ini menyatakan bahwa:

من هذا يتبين أننا لا نصوم ونفطر لحقيقة الشهر بل لرؤية الهلال فإذا رأيناه صمنا وإن لَم نره: لا نَصُمْ حتى وإن كان الشهر قد بدأ فعلاً بالحساب.

“Dari sini jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak berhari raya karena hakikat bulan (syahr) itu sendiri, melainkan karena rukyatul hilalnya. Maka jika kita melihat hilal, kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak berpuasa hatta meskipun bulan (syahr) benar-benar telah mulai berdasarkan hisab (perhitungan astronomis)."
(Atha Abu Rasyta, Al-Hisab Al-Falaki fi Ash-Shaum, 2 Syawal 1423 (25 Nopember 2003), www.hizb-ut-tahrir.info).

Nah, jadi walaupun secara scientific hilal Syawal sudah benar-benar ada di langit , tetapi karena perbuatan kita merukyat hilal tidak membuahkan hasil (yakni kita tidak melihat hilal), maka kita putuskan keesokan harinya masih puasa (istikmal).

Apakah keputusan istikmal itu "keliru"? Secara scientific ya, keliru. Tetapi secara syariah, tidak masalah dan tetap sah, karena kita sudah menempuh prosedur wajib yang ditetapkan syariah, yaitu rukyatul hilal.

Demikian juga, sesungguhnya tidak masalah jika Sabtu tanggal 30 April 2022 kemarin pada waktu matahari terbenam ada sebagian kaum Muslimin yang melakukan rukyatul hilal, katakanlah di Yaman dan Afghanistan, dan mengklaim berhasil melihat hilal, padahal secara scientific mustahil hilal bisa dirukyat di Yaman atau Afghanistan saat Maghrib karena ijtimak-nya saja belum terjadi (baru ijtimak pukul 03.28 WIB hari Ahad 1 Mei 2022). 

Apakah keputusan Idulfitri yang jatuh hari Ahad 1 Mei 2022 itu "keliru"? 

Secara scientific ya, mungkin keliru. Tetapi secara syariah, tidak masalah dan tetap sah, karena kita sudah menempuh prosedur wajib yang ditetapkan syariah, yaitu rukyatul hilal. Selain itu, perukyat yang mengklaim melihat hilal dipastikan sudah memberikan kesaksian (syahadah) telah melihat hilal yang dikuatkan dengan sumpah atas nama Allah di hadapan hakim syar'i. Maka kesaksian dan sumpahnya dapat diterima, sepanjang tidak terdapat alasan-alasan syar'i untuk menolak kesaksian atau sumpah dia.

Jadi, satu hal penting yang sangat perlu dipahami adalah, bahwa ketika prosedur syar'i yang sifatnya wajib sudah ditempuh, lalu diputuskan fatwa atas dasar prosedur itu, maka fatwa itu sudah sah menurut syarak walaupun fatwa itu sendiri sesungguhnya tidaklah sesuai dengan fakta yang ada.

Sebagai contoh, ada seorang saksi melihat laki-laki dan perempuan berzina, dan keduanya memang benar berzina, tapi saksinya hanya dia sendiri, tak ada orang lain. Jika dia mengadukan perkara ini ke hakim syariah, kesaksian dia pasti ditolak, karena nishab jumlah saksi untuk perzinaan itu adalah empat orang laki-laki. Satu orang saksi tidak cukup.

Firman Allah SWT: 

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ

"Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS An Nuur : 4).

Jadi, ketika hakim syariah menolak kesaksian tunggal itu, apakah berarti fakta perzinaan itu tidak ada? Tidak, bukan? Mungkin bisa dikatakan bahwa penolakan hakim itu tidak "ilmiah", atau, singkatnya keliru. Tetapi meski demikian, penolakan hakim itu memang sah secara hukum Islam, karena dia berpegang dengan prosedur pembuktian yang diwajibkan syarak, yaitu adanya empat orang saksi.

Contoh lain, jika seseorang merekam perzinaan, apakah video hasil rekaman itu dapat dijadikan bukti perzinahan di hadapan hakim syariah? 

Jawabannya, rekaman video tidak sah dijadikan bukti dalam kasus perzinaan.

Hal itu dikarenakan dalam kasus perzinaan, hanya ada 3 (tiga) macam pembuktian (al-bayyinat) tidak ada yang lain.

Ketiga macam pembuktian tersebut adalah: 

Pertama, pengakuan (al-iqrar), yaitu pengakuan dari pelaku zina dengan pengakuan yang jelas (tanpa kesamaran) minimal sekali, tanpa penarikan pengakuan. Untuk kemantapan (tatsabbut) pengakuan dapat sampai empat kali;

Kedua, kesaksian (asy-syahadah), yaitu kesaksian dari 4 (empat) orang laki-laki muslim yang adil dan merdeka, dalam satu majelis yang mempersaksikan perzinaan dengan jelas.

Ketiga, hamilnya seorang wanita yang tak bersuami, tanpa pengingkaran darinya. (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hal. 17-19; Ahmad Ad-Da’ur, Ahkamul Bayyinat, hal. 19; Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami, hal. 395-440).

Setelah menerangkan tiga macam pembuktian zina tersebut, Syekh Abdurrahman al-Maliki menegaskan tidak ada pembuktian yang lain untuk kasus zina selain yang tiga itu, misalnya kesaksian seorang dokter kandungan bahwa seorang perempuan sudah tidak perawan lagi. (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hal.19).

Nah, jika hakim syariah menolak bukti video itu, apakah berarti fakta perzinaan itu tidak ada? Tidak, bukan? 

Mungkin bisa dikatakan bahwa penolakan hakim itu keliru alias tidak ilmiah. Tetapi meski demikian, penolakan hakim itu memang sah secara hukum Islam, karena dia berpegang dengan tiga macam prosedur pembuktian yang diwajibkan syara' untuk kasus perzinaan.

Bahkan ekstrimnya, andai kata hakim itu sendiri meyakini seratus persen bahwa seorang perempuan telah berzina, dia tak boleh menjatuhkan vonis jika tidak didukung salah satu dari tiga macam pembuktian tersebut.

Dalam masalah ini terdapat hadis shahih bahwa Rasulullah SAW pernah suatu saat yakin bahwa seorang perempuan telah berzina. Tapi Rasulullah SAW tidak menjatuhkan hukuman bagi perempuan itu, karena tidak cukup bukti.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, "Kalau saja aku boleh merajam seseorang tanpa bukti, pasti sudah kurajam si Fulanah, karena telah nampak gelagat zina dari cara bicaranya, gerak tubuhnya, dan orang yang pernah menggaulinya." (HR Ibnu Majah, no 2559). (Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, hal. 1471, hadis sahih). (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hal.19; Ahmad Ad-Da’ur, Ahkamul Bayyinat, hal. 26).

Walhasil, seperti sudah kami katakan di atas, kami ulangi lagi bahwa ketika prosedur syar'i yang sifatnya wajib sudah ditempuh, lalu diputuskan fatwa atas dasar prosedur itu, maka fatwa itu sudah sah secara syariah, walaupun bisa jadi fatwa itu sendiri memang tidak sesuai dengan fakta yang benar-benar ada.

Ketika mufti mengeluarkan fatwanya, atau ketika hakim syariah (qadhi) menetapkan putusannya (vonis), selama mereka sudah menempuh proses pendalaman fakta dan pembuktian yang diwajibkan syariah, seperti meminta keterangan saksi, dsb, maka sudah sah fatwa atau vonis mereka, meski pada hakikatnya fatwa atau vonis itu tidak sesuai dengan fakta. Artinya, kemungkinan keliru tetap ada.

Sabda Rasulullah SAW : 

إِنَّمَا أَنَا بشَرٌ، وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ؛ فأَقْضِي لَهُ بِنحْوِ مَا أَسْمَعُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بحَقِّ أَخِيهِ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

"Saya hanyalah manusia biasa, dan kalian mengadukan sengketa kepadaku, bisa jadi sebagian diantara kalian lebih pandai berbicara daripada yang lainnya sehingga aku putuskan seperti yang kudengar. Maka barang siapa yang kuputuskan (menang) dengan mengambil hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya, sebab itu seakan-akan aku memberikan potongan api neraka untuknya." (Muttafaq alaihi).

Kesimpulannya, penetapan Idulfitri 1443 yang jatuh hari Ahad 1 Mei 2022 bisa jadi dikategorikan keliru menurut sains. Akan tetapi penetapan tersebut sudah sah secara hukum Islam, selama penetapannya sudah melalui prosedur syar'i yang diwajibkan syarak, yaitu perbuatan kita melakukan rukyatul hilal (yang mungkin saja tak sesuai dengan fakta objektif hilal yang sebenarnya di langit), serta berpegang dengan syarat-syarat kesaksian perukyat secara syar'i di hadapan hakim syariah.

Allah SWT berfirman:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan." (QS Al Baqarah: 286).

Wallahu a'lam.

Oleh: K.H. M. Shiddiq Al Jawi
Ahli Fiqih Islam

Yogyakarta, 1 Syawal 1443/1 Mei 2022 07.45 WIB

Posting Komentar

0 Komentar