Ayam Kampus: Fenomena Pelanggaran Seksual dalam Dekapan Syahwat Liberalisme Kapitalistik


TintaSiyasi.com -- Habis ‘jatah mantan’, terbitlah kembali ‘ayam kampus’. Seolah tak ada habisnya, degradasi moral khususnya pelanggaran seksual terus melanda generasi muda. Sungguh mengejutkan, video pengakuan seorang ayam kampus yang open BO (booking online), dibooking dosen dengan dibayar pakai nilai. Video berdurasi 34 menit 57 detik itu mengungkap sedu-sedannya melayani pelanggan dan awal ia terjun ke lembah nista tersebut (tribunnews.com, 25/5/2022). Ayam kampus juga kembali marak di Semarang berkedok hunian indekos namun disalahgunakan untuk ajang mesum (semarangkota.go.id, 14/10/2021).

Ayam kampus bukanlah fenomena baru. Diksi ‘ayam’ digunakan karena karakternya dalam masalah seksual adalah asal tubruk. Jika ia mau kawin, tidak peduli dengan siapa pun berhubungan asal puas dan hasratnya tersalurkan tanpa memikirkan dampak atau risikonya. Jadi ayam kampus adalah pelaku free sex (prostitusi) berstatus mahasiswi di sebuah perguruan tinggi yang pelanggannya dari kalangan kampus maupun luar kampus. 

Merebaknya ayam kampus di berbagai perguruan tinggi tentu meresahkan. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi salah satu pilar the guardian of morality, tercoreng oleh perilaku sesat mahasiswinya. Tak hanya soal ayam kampus, komunitas cendekiawan ini pun dihadapkan pada tingginya angka kekerasan seksual di kampus dan maraknya seks bebas di lingkungan sekitarnya seperti indekos. Jika sivitas akademika tak lagi menjunjung nilai moral, mampukah ia bertugas merohanikan ilmu yaitu pencarian terhadap kebenaran?

Fenomena ayam kampus yang telah lama berlangsung mengisyaratkan bahwa ini bukan problem klasik nan kasuistik, namun perkara sistemis. Sebuah keniscayaan di tengah bergulirnya sistem hidup liberalisme kapitalistik saat ini. Kala manusia dididik dengan paham kebebasan nyaris tanpa batas dan menempatkan materi (uang) sebagai tolok ukur kesuksesan, maka perilaku keji ini akan terus terjadi. Hingga idealisme mahasiswa sebagai leader of change bak jauh panggang dari api.
    
Kampus dalam Pelukan Syahwat Liberalisme Kapitalistik

Praktik prostitusi telah berlangsung lama, mungkin setua umur manusia. Di Indonesia, perilaku bejat ini banyak ditemukan, baik yang sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Pelacur yang menjajakan dirinya demi memenuhi nafsu hidung belang, dari usia remaja hingga nenek-nenek yang merenta. Merebaknya fenomena ayam kampus menjadi bukti tersebarnya pelacuran hingga ke lingkungan intelektual yang selama ini dibanggakan sebagai garda terdepan kehormatan bangsa.

Sungguh ironis. Kalangan terdidik seperti mahasiswi banyak menjadi pelaku bisnis esek-esek. Kampus sebagai the guardian of morality justru menjadi kandang ayam kampus, di samping pelanggaran seksual lainnya. ‘Sang ayam’ lebih diminati daripada pelacur ‘reguler’ karena menurut penuturan beberapa pelanggannya, pelayanan lebih profesional, ramah, dan berkelas. Tak melulu soal hubungan badan, tapi juga attitude dan variabel lainnya. Perbedaan ayam kampus dengan pelaku prostitusi lainnya adalah tarif lebih mahal dan dipasarkan melalui media online seperti Twitter dan Facebook.

Ada beberapa hal yang membuat seorang mahasiswi memilih ‘berprofesi’ sebagai ayam kampus:

1. Sakit hati atas tindakan sang kekasih. Akibat rasa kecewa dikhianati sang kekasih, mahasiswi tersebut menyalurkannya dalam bentuk hubungan intim dengan lawan jenis.  

2. Kurang kasih sayang keluarga. Keluarga yang tidak harmonis dan kurang perhatian pada anak, terlebih kurangnya sosok ayah dalam mencurahkan kasih sayang kepada anak gadis, mendorongnya mencari kompensasi meski dengan cara sesat ini.

3. Faktor ekonomi. Berasal dari keluarga tak mampu atau pas-pasan, mereka mencari dana tambahan dengan menjual diri demi memenuhi kebutuhan pribadi maupun perkuliahan.

4. Gaya hidup hedonis (mewah). Menurut Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Musni Umar, ada faktor corruption greed yaitu mahasiswi tersebut pada dasarnya tidak bermasalah keuangan dan dari keluarga mampu, namun ia ingin hidup mewah dengan cara instan. Misalnya untuk membeli barang-barang branded seperti tas, sepatu, HP, dan seterusnya.

5. Just for having fun. Tak lagi soal ekonomi, tapi demi meraih kepuasan/kesenangan dalam memenuhi hasrat seksual.

Adapun jika ditelisik, maraknya ayam kampus dan pelanggaran seksual lainnya ialah akibat penerapan liberalisme kapitalistik. Sebuah sistem hidup yang lahir dari rahim sekularisme, ideologi yang mengabaikan ajaran agama (Islam), dan menempatkannya sebatas aspek ritual saat manusia berhubungan langsung dengan Tuhannya. Sementara dalam ranah publik (termasuk dalam dunia kampus), manusia membuat aturan sendiri untuk memandu aktivitas di seluruh lini kehidupan. 

Akibatnya, manusia merasa bebas mengekspresikan keinginan dan nafsu serta bertindak sesukanya, meski bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta. Kala hasrat seksualnya bergejolak, karena tak terikat hukum agama, ia bebas melampiaskannya kepada siapa pun, kapan pun ia kehendaki, dengan cara apa pun, serta di mana pun tempatnya. Meski itu di kawasan terhormat seperti kampus.

Pemikiran kapitalistik juga telah mengajari generasi muda bahwa tujuan hidup adalah mengejar kesenangan material dengan manfaat sebagai tolok ukur perbuatan, bukan halal haram. Dengan prinsip ekonomi sekecil-kecilnya upaya demi meraih sebanyak-banyaknya hasil, menjadikan mereka berdaya pikir pragmatis dan berperilaku hedonis. Tuhan mereka adalah materi. Pertama adalah uang, kedua adalah uang, ketiga adalah uang, dan seterusnya.

Saat ini, berkembangnya ideologi sekularisme menjadikan generasi Muslim kehilangan gambaran nyata tentang kehidupan Islam hakiki. Terlebih dengan makin gencarnya upaya Barat melancarkan perang pemikiran dan kebudayaan ke dunia Islam. Kaum Muslimin makin jauh dari Islam, baik pemikiran maupun hukum-hukumnya. 

Posisi Islam sebagai landasan berpikir dan bertingkah laku digantikan oleh sekularisme. Sehingga, tidak aneh jika corak kehidupan sekulerlah yang mendominasi umat saat ini. Corak inilah yang memandu interaksi laki-laki dan perempuan, termasuk memenuhi naluri seksualnya ketika bergejolak. Namun ini sekaligus membuat kaum Muslimin bingung dalam menyelesaikan permasalahannya. Mengapa? Karena corak hidup sekuler tidak memiliki standar baku sebagai pijakan menilai segala sesuatu. Hanya mengagungkan nilai kemanusiaan semu dan bersifat relatif.

Jika kita mau jujur, maraknya ayam kampus dan pelanggaran seksual lainnya merupakan cermin kegagalan bangunan sosial politik berbasis sekularisme liberalistik kapitalistik. Pun rapuhnya tatanan moral masyarakat akibat tidak adanya standar baku pengatur tingkah laku manusia.

Dampak Fenomena Ayam Kampus terhadap Citra Kampus sebagai Pengemban Ilmu

Peran dan fungsi mahasiswa tak hanya belajar dan sukses kuliah. Sebagai kaum muda intelektual, mahasiswa didorong agar tak hanya berguna bagi diri sendiri, namun mampu menjadi sosok berguna bagi agama, masyarakat, dan bangsa. Secara umum, mahasiswa berfungsi sebagai: agen perubahan (the agent/leader of change), kekuatan moral (moral force), pengontrol sosial, penerus bangsa, serta penjaga nilai kebenaran dan keadilan. 

Dan secara mendasar, kampus bertugas sebagai penjaga moral dan pengemban ilmu. Namun ketika ada mahasiswi terjebak dalam pusaran ayam kampus yang berlumur kemaksiatan, sanggupkah ia menjalankan tugas mulia itu? Jika pun ia lakukan tak lebih sebagai aktivitas seremonial tanpa jiwa. Maraknya ayam kampus dan pelanggaran seksual lainnya telah mencoreng fungsi kampus tersebut. 

Selanjutnya dampak femonena ayam kampus terhadap citra kampus sebagai pengemban ilmu adalah:

1. Menurunkan citra positif kampus sebagai pengemban ilmu dan penjaga moral. 

Maraknya pelanggaran seksual di kampus akan menurunkan trust masyarakat terhadap konsistensi kampus menjalankan fungsi strategisnya. Hingga bisa jadi publik merasa pesimis kampus mampu mewujudkan fungsi tersebut.

2. Akan kehilangan critical thinking. 

Yaitu cara insan kampus berpikir kritis terhadap realitas buruk yang terjadi di sekitarnya. Mahasiswi yang terjebak ayam kampus dan sejenisnya, mungkinkah memelihara sikap tersebut? Apalagi akan tergerak memberikan kritik atas kekeliruan kebijakan rezim penguasa. 

3. Terjadi kelumpuhan intelektualitas. 

Ketika seorang ilmuwan telah: terinjak kakinya lantaran masalah besarnya, terbujuk janji manis, tersibukkan dengan perilaku bejat, maka tunggulah kelumpuhan intelektualitasnya, hingga tak lagi dapat diharapkan ada perubahan ilmu yang ideologis apalagi keberkahannya. 

4. Memandulkan peran mahasiswa sebagai agent (leader) of change.

Lumpuhnya intelektualitas akan mengantarkan pada mandulnya peran strategis mahasiswa sebagai agent (leader) of change.

5. Menjauhkan sivitas akademika dari pencapaian tujuan pendidikan tinggi.

Adapun tujuan ini tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pada poin 1 Pasal 5 disebutkan tujuannya adalah berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa. 

Demikianlah dampak fenomena ayam kampus terhadap citra kampus sebagai pengemban ilmu. Merebaknya perilaku bejat ini akan mencoreng eksistensi kampus sebagai kawah candradimuka yang melahirkan intelektual berimtak dan berakhlak mulia.   
 
Strategi Kampus Menghilangkan Fenomena Ayam Kampus

Sivitas akademika bertugas merohanikan ilmu pengetahuan, yakni pencarian kebenaran. Searching the truth, nothing but truth. Rohani di sini berarti bicara tentang cipta, rasa, dan karsa. Ini yang kita sebut dengan akal. Namun fenomena ayam kampus dan pelanggaran seksual lainnya tentu menghambat pelaksanaan tugas tersebut. Situasi ini mencerminkan ilmu tanpa praktik. Seonggok kata tanpa makna, sebatas syair atau jampi yang meninabobokkan. 

Sementara praktik tanpa ilmu hanya akan menggiring manusia ke arah kehancuran karena kehidupan yang dijalani nir ideologi, nir akal sehat. Maka tugas utama kampus/universitas adalah merohanikan ilmu sehingga mampu menuntun kehidupan manusia menjadi lebih baik. 

Oleh karena itu, kampus perlu membuat strategi kebijakan yang mampu menghilangkan fenomena ayam kampus hingga tugas perohanian ilmu terlaksana baik. Strategi tersebut antara lain:

1. Menguatkan tujuan pendidikan tinggi yang tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 5 poin 1.  

Visi kampus harus diselaraskan dengan tujuan tersebut, demi menghasilkan lulusan berkepribadian mumpuni (beriman takwa, berakhlak mulia, berilmu, dan seterusnya). Tak hanya menjadi pepesan kosong, langkah-langkah riil menuju pencapaian tujuan mulia tersebut harus dirancang dan diterapkan secara optimal.

2. Membina sivitas akademika dengan wawasan keislaman.

Melalui kegiatan kajian keislaman sebagai sarana menanamkan akidah, landasan berpikir dan bersikap Muslim. Pun upaya memperluas pengetahuan Islam sebagai filter terhadap ajaran/ide rusak, khususnya di era globalisasi yang sarat dengan perang pemikiran antara haq dan batil.  

3. Mengingatkan dan menguatkan sivitas akademika sebagai sosok ilmuwan. 

Mereka bertugas: menyuarakan kebenaran sebagai kewajiban pokok ilmuwan, menampilkan keindahan sebagai tugas mulia ilmuwan, dan mendukung kebaikan sebagai sikap santun seorang ilmuwan. Bukan justru atas nama kebebasan dan kepuasan duniawi, lebih menyibukkan diri pada aktivitas bejat yang akan mengeluarkannya dari sosok ilmuwan sejati.

4. Mengokohkan peran yang seharusnya dijalani mahasiswa sebagai the leader of change.

Yaitu memiliki akidah keagamaan kokoh, kuat ibadahnya, pecinta ilmu pengetahuan, tidak boleh hedonis (zuhud), berjuang demi kemajuan bangsa, merawat kemajemukan adat dan budaya yang sesuai religiusitas bangsa, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, serta berani membela keadilan dan kebenaran. 

5. Memberikan tindakan kepada sivitas akademika yang terlibat dalam praktik ayam kampus. 

Bagi yang terlibat baik sebagai penjaja seksual maupun penikmatnya (seperti kasus mahasiswi dibooking dosen dan dibayar dengan nilai), diberikan tindakan dengan menggunakan aturan, SOP, dan organ kampus yang sesuai.

6. Sinergi dengan beberapa pihak terkait pencegahan agar perilaku ini tidak meluas dan penindakan terhadap pelaku ayam kampus. 

Demikian beberapa strategi kebijakan kampus untuk menghilangkan fenomena ayam kampus hingga tugas perohanian ilmu terlaksana baik. Mengutip pendapat Prof. Sulistyowati Irianto yang menyoroti kondisi intelektual kampus saat ini, beliau memandang tampaknya mereka lebih suka berada di zona nyaman (comfort zone) sembari menikmati remah-remah dunia yang tidak pernah mengenyangkan. Mereka sulit sekali untuk berani beringsut ke zona ketidaknyamanan/ketakutan (fear zone). 

Sementara ketika kaum intelektual takut ‘sedih, sengsara, sakit’, mereka tidak akan pernah sampai pada tahap zona pembelajaran dengan kecerdasannya (learn zone). Akhirnya para ilmuwan itu akan stagnan, garis depan ilmu mandheg, dan tidak akan menikmati zona pertumbuhan (growth zone) menuju peradaban baru yang lebih baik.

Mengingat dari sisi apa pun (agama, moral, hukum), fenomena ayam kampus (prostitusi) merupakan aktivitas terlarang, pun dampak buruknya sangat banyak khususnya bagi sivitas akademika, maka perilaku bejat ini harus ditolak dan dihilangkan hingga ke akar-akarnya. Tak cukup dengan kebijakan kampus, namun juga sinergi dengan berbagai pihak terkait. 

Penting pula untuk dipahami, selama sistem sekularisme liberalistik kapitalistik masih mendominasi ruang gerak manusia, maka selama itu pula fenomena ayam kampus dan berbagai pelanggaran seksual akan senantiasa ada. Oleh karena itu, hilangkan perilaku sesat sekaligus sistem hidup sesat yang melandasinya. Lantas ganti dengan sistem Allah SWT yang menjaga kehormatan manusia.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar