Adakah Guru Besar yang Berotak Kecil (Ocil) dan Bersikap Rasis?


TintaSiyasi.com -- Viral status FB seorang profesor yang dinilai netizen rasis dan fasis, bahkan Ismail Fahmi menyebutnya xenophobic (benci pada orang asing). Prof Budi Santosa Purwokartiko merupakan Rektor ITK (Institut Teknologi Kalimantan). Apakah kita berani menduga bahwa guru besar yang demikian juga dapat disebut guru besar berotak kecil (ocil)? 

Guru besar berotak kecil sempat menjadi perbincangan hangat pada tahun 2020 ketika ada debat panas antara akademisi Rocky Gerung dengan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Profesor Henry Subiakto. Saya kebetulan juga melihat langsung debat itu di Acara Dua Sisi TvOne, Kamis (27/8/2020). 

Titik krusial perdebatan ini terletak pada adanya serangan terhadap pribadi dalam perdebatan, misalnya dari percakapan sebagai berikut: 

"Supaya orang seperti Rocky ini tahu fakta. Dia hanya bicara secara imajinasi dan teori-teori yang kadang-kadang di kampus saya sudah ketinggalan zaman," ungkap Henry Subiakto. "Saya guru besar Universitas Airlangga," tambahnya. Ucapan profesor itu justru mendapat sindiran dari Rocky Gerung dengan pernyataan: "Mudah-mudahan otakmu besar juga," sindir Rocky Gerung. Lalu ditimpali oleh Prof Henry Subiakto: "Minimal saya profesor beneran, kalau Anda 'kan belum tentu," balas Henry. 

Dalam khasanah ilmu pengetahuan, sebenarnya dalam suatu perdebatan argumentatif orang dilarang untuk melakukan serangan terhadap pribadi (argumentum ad hominem). Boleh menyerang, tetapi yang diserang adalah logika berpikirnya atau argumentasinya, bukan orangnya, jabatan yang disandang. Istilah yang paling gampang, argumentum ad hominem itu melumpuhkan lawan debat dengan menyerang pribadinya. 

Guru Besar berotak kecil tampaknya akan terus ada, kemarin, kini dan coming soon ketika sang gubes tidak memiliki sense of crisis karena sudah merasa enak di zona nyaman (comfort zone) dengan cara menikmati jabatan yang disandangnya. 

Jika demikian, jangan berharap sang Guru Besar akan menjadi Guru Bangsa bahkan ia akan menjadi Guru Besar Hanya Nama (GBHN) dengan otak kecil yang tidak akan membantunya menjadi the agent of change baik dalam keilmuan di universitasnya, ataupun di kehidupan politik bangsanya. 

Ada satu pertanyaan saya yang perlu ajukan: "Apakah benar jika seorang Guru Besar itu keluar dari kampusnya, dan atau bergabung dengan rezim penguasa cenderung "lemah analisisnya", diksinya tidak tajam, lidahnya kelu jika bicara kebenaran dan keadilan, dan juga mudah "baperan" sehingg mudah "ngegas"? Mungkinkah memang otak Sang Guru Besar telah berubah menjadi otak kecil (Ocil)? Mudah-mudahan tidak! 

Kini, kita dihebohkan dengan kabar adanya seorang Guru Besar yang diduga banyak orang juga berotak kecil, yakni Guru Besar Budi Santosa Purwokartiko, yang masih menjabat sebagai Rektor ITK. Dalam status akun Facebook-nya dia menceritakan bahwa ia mewawancarai mahasiswa yang ikut program beasiswa LPDP, namun menjadi aneh saat sampai pada kalimat: "tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati, pilihan kata-katanya jauh dari kata-kata langit, insyaallah, barakAllah, syiar, qadarullah, dan sebagainya." Sampai pada kalimat: "Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satupun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar open minded". 

Sebagai seorang guru besar yang beragama Islam, saya merasa sedih, rasisme dan xenophobic tampaknya telah masuk ke ruang akademis, bahkan kalimat jahat itu keluar dari ketikan jari rektor. Kalau melihat track record-nya, Prof Budi Santosa Rektor ITK ini sudah sering ke luar negeri, studi di luar negeri tapi mungkin juga dia menjadi pelajar kupu-kupu. Kuliah pulang-kuliah pulang, tidak suka berorganisasi yang 'ekstrem' memperjuangkan kebenaran dan keadilan. 

Istilahnya kurang jauh mainnya. Mestinya ketika ke luar negeri ia sudah terbiasa melihat keragaman dan lebih demokratis serta tidak anti orang asing, atau yang berbeda asal muasal sekaligus tidak primordial, rasis dan fasis ataupun xenophobia yang cenderung ke islamophobiaa. 

Sementara itu menurut saya, manusia hidup membutuhkan ideologi, tetapi tidak semua ideologi mampu menuntun manusia mencapai visi hidup yakni hidup setelah mati (kampung akherat). Hanya Islam sebagai ideologi (mabda) yang mampu mewujudkan visi tersebut. Oleh karena itu, ideologi yang tidak mengandung kebenaran objektif cenderung akan ditinggalkan oleh pendukungnya dan menggantinya dengan ideologi lain. Religi adalah jawabnya. 

Lebih tepatnya Religi Islam yang sekaligus ditempatkan sebagai ideologi yang paripurna, bukan ciptaan manusia melainkan ideologi yang langsung diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya. 

Ideologi Islam yang dijamin mampu mengatasi segala permasalahan hidup manusia ternyata justru dicampakkan oleh umat manusia itu sendiri dan memilih ideologi yang rapuh, baik kapitalisme maupun komunisme. Akhirnya sistem kekhalifahan yang nota bene didasarkan pada ajaran Islam kaffah yang berdiri kokoh selama 1300 tahun, kini kita saksikan telah runtuh sejak 101 tahun yang lalu. 

Atas pernyataannya di akun FB-nya tersebut, secara tidak langsung Prof. Budi Santosa Purwokartiko merendahkan muslimah berjilbab dan taat seolah kalah jauh, tertinggal. Sikap ini sudah termasuk islamphobia. Saya kira hal sungguh aneh, bagaimana seorang rektor bisa sangat 'kurang paham' dalam menarasikan pemikiran dan perasaannya. Apakah dia tidak membaca dan memahami apa tujuan Pendidikan Nasional kita (UU Sisdiknas), Pendidikan Tinggi kita (UU PT) semua menyebutkan bahwa pendidikan nasional kita tidak hanya mengejar IQ, EQ bahkan SQ yakni menghasilkan peserta didik yang bukan hanya pintar dalam nalarnya tetapi juga beriman dan bertakwa. 

Kalau Prof ini membaca UUD NRI 1945 dan UU HAM pasti yang keluar dari pemikirannya dan perasaannya tidak mungkin mendeskreditkan salah satu suku, ras, aliran dan agama dengan segala atribut yang dimilikinya, apakah pakaian, bendera, bahasa dan geografinya. 

Yang aneh sebaliknya yang dinarasikan justru yang mengindikasikan profesor ini mengalami Islamophobia yang seharusnya diberantas karena Amerika pun yang dahulu menderita islamophonia akut dan PBB telah menerbitkan kebijakan untuk memerangi antiislamophobia. 

Menurut saya, ada latar belakang yang telah menjadi faktor lahirnya akademisi seperti Prof Budi Santosa ini. Model akademisi ini lahir karena kompleksitas lingkungan dan kepentingan serta misi yang diusung. Lingkungan keluarga, pendidikan, dan masyarakat serta kantornya. 

Ia hidup seperti katak dalam tempurung lalu keluar pun ke kolam katak yang keruh. Lingkungan pendidikan juga demikian, dia mungkin dikelilingi teman-teman yang hanya mengejar dan bersaing soal score tanpa core value khususnya nilai spiritual. Hidupnya sangat hedonis dan sekuler dan berorientasi jangka pendek, hanya dunia fana tidak memikirkan tentang tujuan hidup sesungguhnya. 

Jika diteliti satu persatu, kalimat di statusnya Prof Budi ini cukup berbahaya. Dari kalimat pembuka hingga kalimat penutupnya berbahaya karena didasarkan pada: 

(1) Ketakutan "manusia gurun" lebih tepatnya kadrun yang sangat irrasional, khususnya terhadap simbol-simbol syariah Islam, misalnya jilbab, kerudung, jenggot, celana cingkrang, salam dan ucapan khas Muslim seperti InsyaAllah, qadarullah dan lain-lain yang kemudian dia sebut bahasa langit yang tidak pas jika dipakai oleh manusia yang real masih berada di bumi. 

Lha apa dia tidak tahu bahwa yang dia sebut bahasa langit itu memang diperuntukkan bahkan diperintahkan Allah kepada manusia di bumi? Apa dia tidak tahu kalau manusia yang di bumi itu wajib menutup aurat? Apa dia tidak tahu kalau konstitusi menjamin tiap warga negara untuk bebas beragama dan menjalankan agama sesuai dgn keyakinannya? Kenapa dia takut secara irrasional? Kita sebut ini sekuler dan islamophobia. 

(2) Misi yang diemban Prof ini adalah memimpikan manusia (pelajar, dosen, pemimpin masa depan) yang berpola pikir membumi dengan hedonis, rasis, fasis dan xenophobia. Karakter ini justru bertentangan dgn sistem internasional yang konon kini diyakini terbaik oleh pendukungnya yakni demokrasi. Ironis demokrasi tapi diktator, anti keragaman, rasis dan fasis. 

Lalu di mana ideologi Pancasila, Konstitusi kita? Apa Pancasila mau diperas jadi Ekasila bernama gotong royong? Tidak perlu berketuhanan, berperikemanusiaan, berkerakyatan dan berkeadilan sosial? Yang penting persatuan dan tercapai tujuan hedonis dengan menghalalkan segala cara. Tanpa orientasi kerohania apalagi spiritualitas. Ini yang kita sebut pemikirannya sudah mengalami disorientasi. 

(3) Tulisan Profesor Budi Santosa Purwokartiko juga menunjukkan adanya ketidakselarasan pemenuhan kebutuhan hakikat hidup manusia, di samping sebagai mahluk berbadan jasmani juga berjiwa rohani. Mahluk individu tetapi juga mahluk sosial. Selain mahluk mandiri juga sebabagai mahluk Tuhan Allah.  Pemikirannya menyimpang dari konsep Prof Notonagoro tentang Manusia Indonesia sebagai mahkluk monopluralitas. Keadaan ini kita sebut disharmoni. 

(4) Narasi yang dibuat oleh Prof Budi Santosa Purwokartiko ini justru bisa memecahbelah bangsa baik secara vertikal maupun horizontal. Dia mengkotak-kotakan mahasiswa, secara diametral antara yang moderat dengan yang radikal, antara yang suka demo dengan yang tidak suka demo, antara yang melangit dan membumi. Jadi tulisan itu justru tidak menyatukan keragaman tetapi memecah belah anak bangsa. Berarti pemikirannya bersifat disintegratif. 

Sikap Prof Budi Santosa Puwokartiko juga menunjukkan kebencian terhadap ras tertentu, khususnya manusia Arab dan kelompok muslim. Dan ini berarti bertentangan dengan upaya penghapusan diskriminasi atas ras dan etnik. Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di atur mengenai tindakan yang dimaksud diskriminatif yakni: 

Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa : 

a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau 

b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan: 

1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;

2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain; 

Kita sudah tahu, apa saja tindakan yang termasuk ke dalam tindakan diskriminatif atas dasar ras dan etnis. 

Berikut ini, adalah hukuman yang bisa menjerat pelaku rasisme seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis: 

Pasal 15 

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 

Pasal 16 

Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00  (lima ratus juta rupiah). 

Ada pernyataan netizen terkait dengan usulan sanksi yang seharusnya diterapkan untuk Prof Budi Santosa Purwokartiko, misalnya: 

"Dia pewawancara/team seleksi LPDP @LPDP_RI, sudah berapa banyak siswi berjilbab atau siswa yang islami yang pintar yang harusnya mendapatkan beasiswa disingkirkan oleh dia?! Kalau di negara Barat, yang rasis terbuka begini sudah langsung dipecat.", cuit pengguna Twitter @RPPang**. 

Selanjutnya juga ada netizen yang cuitannya bernada protes kepada pihak institusi pemberi beasiswa LPDP, misalnya: 

"kenapa Pewawancara yang bernama Budi Santosa Purwokartiko ini begitu Rasis kepada Islam? Apakah kebijakan LPDP memang rasis kepada Muslim/muslimah yang taat?", cuit pengguna Twitter lain @azw***. 

Aspek hukum lainnya yang dapat dikaitkan dengan pernyataan Prof Budi Santosa Purwokartiko adalah terkait dengan dugaan adanya tindak pidana yang diatur dalam KUHP Pasal 156, 156a dan 157. UU ITE terkait dengan ujaran kebencian berunsur SARA. Apakah Aparat Penegak Hukum (APH) akan segera bertindak untuk melakukan langkah penyelidikan dan penyikan mengingat deliknya termasuk delik biasa, bukan delik aduan sehingga POLISI tidak perlu menunggu laporan dari masyarakat. Ataukah masyarakat akan segera melaporkan Prof Budi Santosa Purwokartiko kepada Polisi? Lebih baik kita tunggu kabar selanjutnya pasca Lebaran Iedul Fitri 1443 H. 


Happy Iedul Fitri 1443 H 

Tabik...!!! 

Semarang, Ahad: 1 Mei 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki., S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar