TintaSiyasi.com -- Manusia adalah mahluk sosial yang senantiasa berinteraksi secara terus menerus dengan lingkungannya. Yang biasa menjadi alat penghubung antar manusia satu dengan manusia lainnya salah satunya adalah melalui interaksi mereka pada media informasi dan berita.
Dengan adanya pertukaran informasi dan berita, mereka bisa senantiasa menyamakan persepsi, berkalibrasi serta saling berbagi informasi demi menjaga keberlangsungan kehidupan bermasyarakatnya. Hal ini disebabkan adanya instinc atau naluri untuk mempertahankan jenis yang dimiliki oleh manusia demi menjaga eksistensinya.
Selain itu, manusia memang diciptakan untuk cenderung berbicara dan saling bertukar pemikiran serta rasa. Bahkan potensi manusia untuk berbicara inilah yang menunjukkan bahwa manusia dikaruniai pula akal pikiran. Hal inilah yang membuat mereka menjadi mahluk yang istimewa, dibandingkan dengan hewan yang hanya memiliki naluri semata. Senada dengan sebuah ungkapan bahwa manusia adalah hewan yang berbicara.
Kebutuhan akan informasi dan berita tersebut terlihat dari banyaknya media massa yang dibangun dengan semangat jurnalistik demi terjaganya eksistensi masyarakat yang baik. Biasanya, netralitas dan objektivitas media tersebut menjadi ukuran kredibilitas bagi sebuah media massa dimata masyarakat.
Hari-hari ini telah terjadi berbagai peristiwa politik besar yang menggelitik akal pikiran serta menarik-narik rasa dengan sangat kuatnya. Salah satunya adalah demo mahasiswa yang baru-baru ini terjadi di Jakarta.
Bagaimana tidak merangsang akal kita dengan berbagai pertanyaan, ketika secara logika hutang negara yang sudah berada di angka 7000 T, pemerintah masih nekad untuk memindahkan ibukota negara? Sumber dananya pun akan dicari lagi dari hutang pula. Dimana logikanya?
Proyek infra struktur yang mangkrak dengan turnkey project yang menjadikan hutang kita makin membengkak, bagaimana pengelolaan APBN oleh penyelenggara negara yang sudah diberi amanat oleh rakyat untuk menjalankannya?
Bagaimana rasa kemanusiaan kita tidak teragitasi ketika marak kezhaliman dan ketidak adilan yang diportontonkan secara vulgar didepan mata rakyatnya. Sementara kekuasaan yang diberikan adalah berasal dari rakyat pula. Bagaimana rakyat tidak sakit hati?
Dewan Perwakilan Rakyat yang sejatinya adalah dewan perwakilan kepentingan oligarki meminta penambahan dan perbaikan falisitas, sementara gaji pegawai honorer sangat rendah dan tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Apakah empati mereka sudah mati?
Ketika mahasiswa menjalankan fungsinya sebagai agen perubahan, berita ini seolah-olah tidak pernah diperdengarkan. Ketika jeritan kepedihan disuarakan oleh mahasiswa, teriakan mereka seolah-olah hendak dibungkam. Aktivitas mereka yang mulia tidak pernah diberitakan.
Kebanyakan sumber berita yang kita terima adalah aktivitas jurnalistik yang dilakukan para netizen dan diunggah di media sosial dengan berbagai platformnya. Itupun harus menghadapi tindakan banned dari para pengelola lokalnya. Berbagai akun yang mencoba mengkritisi pemerintah untuk menjaga eksistensi masyarakat dibokir, ditangguhkan, bahkan dihapus dari dunia maya. Inilah
Pertanyaannya kemudian adalah kemana media massa? Hilangkah semangat Jurnalistik yang selama ini mereka agung-agungkan itu? Kemana pembelaan mereka terhadap ketidak adilan, kesewenang-wenangan, dan kezaliman yang diterima rakyat mereka? Bukankah mereka adalah benteng dan perimeter rakyatnya? Akankah mereka diam saja?
Ketika media massa sudah menjadi media penguasa, sudahlah biarkan saja! Biarlah rakyat yang akan mengabarkan semua peristiwa secara sukarela. Demi kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan keberlangsungan hidup kita di akhir zaman. Karena pertolongan Allah akan tetap datang, dengan atau tanpa kalian. Berharap lah kalian akan aman ketika terjadi perubahan. Wallahu a'lam bishshawwab.
0 Komentar