Masihkah Urgen Menemukan Ghost Rider pada Unlawfull Killing KM-50 Pasca-siaran Deplu AS?


TintaSiyasi.com -- Diberitakan di berbagai media massa bahwa melalui rilis praktik Hak Asasi Manusia, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyoroti sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kasus tewasnya enam laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek beberapa waktu lalu termasuk salah satu yang disorot. 

Amerika menyebut hal ini merupakan perampasan nyawa secara sewenang-wenang dan pembunuhan melawan hukum atau bermotif politik. Hal ini dapat dilihat dari 2021 Country Reports on Human Rights Practices: Indonesia yang dilihat dari situs Deplu AS, Sabtu (16/4). AS membahas soal unlawful killing yang terjadi di KM 50. 

Ketika KM 50 menjadi sorotan Amerika, maka seluruh elemen masyarakat dan bangsa Indonesia harus lebih banyak berbuat untuk mendesak Pemerintah agar tidak merekayasa dan menutupi fakta sebenarnya. Kasus serius ini jika disederhanakan maka sama saja dengan kebijakan yang terang-terangan menginjak-injak HAM dan Demokrasi. Siaran Deplu AS menyatakan: 

“Informasi yang terkandung dalam laporan ini sangat penting dan mendesak mengingat pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di banyak negara, kemunduran demokrasi yang terus berlanjut di berbagai benua, serta otorianisme yang merayap mengancam HAM dan Demokrasi”. 

Secara jujur saya menilai bahwa dalam penanganan atas tragedi KM 50 sebenarnya telah terjadi rasa ketidakadilan hukum yang muncul bila dikaitkan antara vonis 4 tahun Habib Rizieq Shihab (HRS) dan nasib 6 Pengawal nya. Ketidakadilan itu tampak dalam beberapa hal sebagai berikut: 

Pertama, sejak awal para ahli telah menyarankan agar dilakukan investigasi oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Independen. Ini awal mula tragedi ini tidak segera terungkap secara fair atau adil. 

Kedua, terlalu berlebihan jika soal pelanggaran prokes kemudian disikapi dengan penguntitan terhadap HRS. Ancaman pidana hanya 1 tahun atau denda 100 juta rupiah. Tetapi, mengapa disikapi oleh polisi seperti pengejaran terhadap teroris? 

Ketiga, petugas tidak jelas, sehingga tidak jelas pula rombongan penguntit itu dari unsur mana? Polisi, TNI atau BIN atau aparat negara lainnya ataukah ada mafia pembunuh bayaran layaknya ghost rider? 

Keempat, tindakan polisi atau pihak lain dalam pembunuhan secara extraordinary adalah tindakan yang overacting, bertentangan dengan kepatutan, etika penegakan hukum dan bersifat sadis, kejam tanpa rasa kemanusiaan, khususnya terhadap 6 anggota laskar EPI pengawal HRS. 

Atas fenomena ketidakadilan penanganan kasus tragedi KM 50 ini, muncullah usaha untuk mengungkap peristiwa serta mengawal penyelesaian tragedi unlawfull killing. TP3 dibentuk untuk kepentingan tersebut. TP3 sesungguhnya mempunyai misi yaitu melakukan pengawalan. Adapun yang dilakukan dalam menjalankan misinya tersebut antara lain TP3 menguji kebenaran langkah dan pernyataan pemerintah maupun penegak hukum sehubungan dengan terjadinya pembunuhan atas enam warga negara Indonesia (WNI) yang kebetulan merupakan pengawal H4ERS. 

Sebagai contoh, ketika TP3 pada tanggal 9 Maret 2021 beraudiensi dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. Menko Polhukam Mahfud MD yang pada waktu itu mendampingi Presiden RI menyatakan di depan TP3 bahwa untuk dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat harus memenuhi unsur terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). 

Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD seperti itulah yang perlu diuji kebenarannya. TP3 menggunakan “batu uji” undang-undang, yang dalam hal ini adalah UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hasil pengujian TP3 menunjukkan bahwa pernyataan Mahfud MD ini sama sekali tidak berdasarkan hukum, karena ternyata menurut undang-undang terjadinya pelanggaran HAM berat adalah jika dilakukan secara sistematis atau meluas. 

Jadi Undang-undang merumuskannya secara alternatif, yaitu sistematis atau meluas. Bukan seperti yang disampaikan oleh Menko Polhukam yang mengharuskan syarat kumulatif atas unsur Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) yang secara yuridis nomenklatur kumulatif seperti yang disampaikan Mahfud MD tidak dikenal. 

Buku Putih TP3 ini saya juluki Buku Putih Setengah Hati. Saya katakan demikian karena komentar Pak Amien Rais (anggota TP3) terakhir yang menyatakan bahwa:  Polisi-TNI tidak terlibat dalam dugaan pelanggaran HAM berat atas extrajudicial killings atas 6 anggota laskar EFPeI. Saya katakan ucapan itu ibarat panas setahun tersapu oleh hujan sehari. Ambyar, kontra produktif dan justru akan diplintir oleh pihak tertentu untk semakin meneguhkan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus tersebut. 

Kabar terakhir menyatakan bahwa TP3 melalui Pak Marwan Batubara menyampaikan Keterangan Pers yang berisi klarifikasi pernyataan Pak Amin Rais. Patut disayangkan pula, mengapa bukan Pak Amin Rais sendiri yang memberikan klarifikasi. 

Apapun ada banyak sisi yang terungkap dalam Buku Putih TP3, secara prinsip dapat disimpulkan bahwa telah terjadi extrajudicial killings atau unlawfull killings atas 6 anggota laskar EFPeI dan ini tentu bertentangan dengan asas hukum presumption of innocent dan prosedur penangkapan, sekaligus terjadi pelanggaran HAM (ketegori berat atau tidak harus di kroscek dengan UU HAM 1999 dan Pengadilan HAM 2000). Buku Putih ini mendalilkan: telah terjadi pelanggaran HAM berat. 

Dugaan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, Pasal 8 dan 9 UU No. 26 Tahun 2000 menjelaskan jika (1) Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara (a) membunuh anggota kelompok; (b) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; atau (2) Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa, antara lain (a) pembunuhan. 

Dalam Buku Putih TP3, upaya pembuktiannya lebih ditekankan pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat yang kedua, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dengan cara melakukan pembunuhan secara langsung kepada penduduk sipil secara sistematis. 

Extrajudicial killings sebagai pelanggaran HAM berat patut diduga telah terjadi.
Lalu, siapa pelaku extrajudicial killings? Jelas sesuai dengan keterangan pers Kapolda Metro Jaya pasca tragedi adalah Polisi. Adakah Pihak lain yang terlibat? Buku Putih ini mendalilkan di pengantar hlm 6-7: bukan polisi pelakunya. Lalu siapa? Buku Putih ini menjawab: aparatur negara. Namun tidak menyebutkan siapa sebenarnya aparat negara yang dimaksud. 

Ada fakta hukum yang telah diketahui publik sebagaimana tercantum dalam Laporan Investigasi Komnas HAM, yaitu: 

"Bahwa didapatkan fakta juga telah terjadi upaya pengintaian dan pembuntutan terhadap MRS yang dilakukan oleh petugas yang dinyatakan bukan dari kepolisian oleh polisi sejak dari Kawasan Markaz Syariah Mega Mendung hingga ke Kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat pada Tanggal 04 Desember 2020." 

Siapakah aparat penegak atau petugas yang bukan berasal dari kepolisian itu? Ini sisi gelap tabir tragedi KM 50 yang juga belum diungkap dalam Buku Putih TP3. 

Hal tersebut juga dapat dirunut melalu kegagalan TP3 untuk mengungkap ghost rider dalam 3 mobil hantu seperti yang diungkap oleh M Rizal Fadillah (15 Juli 2021) dalam artikel "Mobil Mana Mobil?" 

Terkait dengan ghost rider, pada tahun 2007, ada sebuah film bergenre supranatural yang berbalut superhero asal Amerika Serikat. Film ini digarap sesuai arahan dari seorang sutradara bernama  Mark Steven Johnson. Film ini berkisah tentang Johnny Blaze yang diperankan oleh Nicolas Cage yang kemudian dikenal sebagai Ghost Rider. 

Adegan dalam Film Ghost Rider bermula ketika Iblis Mephistopheles menemui Johnny Blaze yang saat itu berusia 17 tahun. Mephistopheles menawarkan bantuan untuk menyembuhkan kanker yang diderita oleh ayah Johnny. Bantuan tersebut tentu tidak gratis, Mephistopheles meminta bayaran berupa imbalan jiwa Johnny. Tawaran tersebut pun disetujui oleh Johnny karena ia sangat ingin sang ayah sembuh. 

Singkat cerita, Jhonny Blaze yang telah menjadi Ghost Rider adalah pemburu hadiah Iblis yang bertugas membunuh musuhnya yaitu malaikat bumi (Gressil), air (wallow) dan udara (Abigor). 

Film ini sebenarnya berisi kisah kenekadan seseorang (Johnny Blaze) untuk mengintai, menyiksa, membunuh pihak lain lantaran adanya kontrak imbalan yang disepakati (Mephistopheles) meskipun dilakukan secara tidak adil terhadap pihak yang sebenarnya tidak bersalah (Grissel, Wallow dan Abigor). Ghost Rider dipengaruhi dan dikendalikan oleh dalang pembunuhan secara unlawfull killings, yakni iblis Mephistopheles. 

Apa hubungannya dengan tragedi unlawfull killing di KM 50? Rizal Fadilah dalam artikel tanggal 15 Juli 2021 tersebut menyatakan bahwa dalam kasus PPKM-50 (Peristiwa Pembantaian KM-50) persoalan mobil misterius mengemuka. Ada tiga mobil yang semestinya muncul menjadi tersangka, tetapi orang atau pejabat yang sebenarnya bersalah tetap sembunyi. Penunggang mobil-mobil itu adalah "pembunuh" lain dari enam anggota pengawal HRS. Ketiga mobil yang dimaksud adalah: 

(1) Avanza hitam B 2739 PWQ, 
(2) Avanza silver B 1278 KJD, dan 
(3) Mobil "komandan" Land Cruiser hitam. 

Kisah drama tembak menembak (tepatnya penembakan mobil Chevrolet Spin) terjadi di jalan internasional menuju gerbang tol Karawang Barat. Itu dilakukan oleh penumpang mobil Avanza B 2739 PWQ dan Avanza B 1278 KJD yang sangat mudah untuk diidentifikasi. Merekalah yang patut diduga kuat membunuh dua orang anggota laskar yaitu  di area menuju Km 50 atau dibunuh di rest area Km 50 itu sendiri. 

Kedua mobil Avanza tersebut tidak diakui sebagai mobil Kepolisian karenanya inilah bukti nyata akan keterlibatan institusi lain itu. Mobil ketiga adalah Land Cruiser hitam. Banyak saksi menyatakan merekalah komandan operasi yang menewaskan keenam anggota laskar pengawal H4ERS. Setelah menerima arahan dari komandan inilah maka masing masing unit bergerak dan pembantaian pun terjadi. Meninggal dengan luka penganiayaan yang selayaknya dilakukan di satu tempat tertentu, bukan di mobil yang sedang bergerak. 

Menurut Rizal Fadilah, semestinya pengusutan dimulai dan diutamakan pada aparat penumpang tiga mobil yang maha penting ini, bukan hanya aparat yang mengendarai mobil B 1519 UTI yang kini ditetapkan sebagai tersangka. Apalagi satu di antaranya kini telah dinyatakan tewas dalam sebuah kecelakaan yang  misterius. 

Komnas HAM dinilai oleh Rizal tidak mampu menguak hal mudah ini, atau sebenarnya Komnas HAM mengetahui tetapi takut mengemukakan, dengan alasan kasus ini bukan soal penegakan hukum melainkan operasi intelijen, kepentingan politik kekuasaan. Adapun mobil-mobil itu adalah bukti operasi. Jika tetap menutup para penumpang tiga mobil penting tersebut, maka ketiga mobil tersebut akan menjadi mobil hantu. 

Atas dasar analisis singkat Rizal, dapat disimpulkan bahwa kendatipun pihak kepolisian, Komnas HAM dan TP3 telah bekerja, namun ternyata masih menyisakan misteri 3 mobil yang diduga kuat terlibat secara langsung atas tragedi unlwafull killing di KM 50. Jika 3 mobil tersebut tidak terungkap, lalu bagaimana bisa mengungkap pengendara (Rider) nya? Maka, tidak aneh pula hingga sekarang pun mereka itu pantas dijuluki sebagai ghost rider (s). Dan ketika Ghost Rider-nya tidak dapat "diungkap" maka sangat sulit untuk bisa mengungkap pula tabir misteri dugaan pelanggaran HAM berat pada KM-50 Tol Jakarta-Cikampek. 

Lalu bagaimana prospek penanganan tragedi kemanusiaan di KM-50 yang terindikasi adanya pelanggaran HAM berat? Terkait dengan permasalahan ini, ada 2 hal catatan saya: 

Pertama, meskipun sudah ada bahan pembanding hasil investigasi (Polisi, Komnas HAM dan TP3), APH akan cenderung pasif karena ada conflict of interest. Mengapa? Karena ada indikasi terjadi pelanggaran HAM oleh penguasa. 

Buku Putih TP3 hanya sekedar curcol dari para saksi yang tidak diambil keterangannya di bawah sumpah sehingga tidak berarti dalam pembuktian secara hukum. Namun, bisa sebagai pressure factor sehingga membuat TP3 menjadi buzzer yang diharapkan menciptakan bising Penguasa. 

Sebenarnya, ketika kasus ini diangkat masuk dalam proses SPP atau HAM, Buku Putih ini dapat dipakai sebagai legal opinion dari amicus curiae dalam hal ini TP3. Memang amicus curiae ini biasanya lazim dilakukan dalam negara dengan sistem hukum Common Law seperti Amerika, namun juga pernah dilakukan di negara Indonesia yang lebih cenderung menganut sistem hukum Civil Law. Misalnya dalam hal kasus Prita Mulyasari (Jakarta) dan Upi Asmaradana (Makassar). 

Amicus Curiae sebagai bentuk partisipasi masyarakat terhadap suatu perkara yang ada yang merupakan sebagai bentuk pengawasan masyarakat terhadap penegakan hukum yang sedang berlangsung dalam perkara tersebut. Sesuai dengan prinsip Negara hukum yang bersifat demokratis, bahwasanya prinsip ini mensyaratkan setiap keputusan kenegaraan haruslah menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilannya. 

Kedua, prospek penyelesaiannya dapat diprediksi sangat SURAM dan ternyata benar. Hal ini mengingat Pemerintah, c.q. APH (Polisi dan Jaksa) serta KomNas HAM kurang memiliki political will untuk menuntaskan segera tragedi kemanusiaan KM 50. Apalagi, sekarang ini Pemerintah tengah dan masih bergelut menanggulangi pandemi Covid-19 yang belum jelas kapan akan berakhir. Tahun 2021 memang saya memprediksi, kasus ini akan cenderung di-peti es-kan. Namun, ternyata kasus pembunuhan 4 anggota laskar FPI terus diperiksa dan berujung pada Putusan PN Jakarta Selatan 18 Maret 2022 yang melepaskan kedua polisi terdakwa dari segala tuntutan dengan alasan melakukan pembelaan diri atas serangan membahayakan yang dilakukan oleh 4 tersangka. Banyak pihak yang tidak setuju dan tidak puas atas putusan yang tidak adil ini. Namun, jangan khawatir kasus pelanggaran HAM itu tidak mengenal kadaluarsa. 

Mengenai daluarsa pelanggaran HAM diatur secara lex specialis menyimpang dari ketentuan KUHP yaitu dalam Pasal 46 UU 26/2000 sebagai berikut: 

"Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa." 

Jadi, bagi para pecinta keadilan dan kebenaran, harapan untuk menemukan Ghost Rider tetap masih ada sepanjang rezim memiliki political will untuk menyibak misteri dugaan pelanggaran HAM berat pada kasus unlawfull killing di KM-50 Tol Jakarta-Cikampek. Jika tidak sekarang ya nanti, jika tidak di dunia, pasti akan ada pengadilan akherat. Anda percaya, bukan? 

Tabik...!!!
Semarang: Senin, 18 April 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar