Kontraproduktif: Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Berbasis Islamofobia


TintaSiyasi.com -- "Kelompok NII Sumbar ingin gulingkan Jokowi sebelum Pemilu 2024." Demikian tudingan Densus 88 Antiteror Polri pasca mengklaim penemuan bukti sebilah golok panjang dan dokumen tertulis yang disebut bervisi misi sama dengan NII Kartosuwiryo, yakni mengganti ideologi Pancasila dan sistem pemerintahan Indonesia dengan syariat Islam, sistem khilafah, dan hukum Islam (liputan6.com, 19/4/2022). Sebelumnya, narasi sejenis dilontarkan oleh KSAD Jenderal Dudung Abdurrachman yang meminta mewaspadai PKI dan bahaya ekstrem kanan (radikalisme) yang lebih aktual, terlebih isu khilafah.

Jika dalih menindak NII dan gerakan lain yang distigma radikal/ekstrem karena mengganggu keamanan, persatuan, dan kesatuan NKRI, bukankah KKB di Papua adalah gangguan dan ancaman riil bagi bangsa ini karena terbukti meneror dan membunuh? Menkopolhukam Mahfud MD membeberkan, selama tiga tahun terakhir, jumlah korban KKB mencapai 110 orang, masyarakat sipil tewas 59 orang, TNI 27 orang, Polri 9 orang (tribunnews.com, 3/5/2021). Sepanjang Januari-Maret 2022 KKB melakukan 7 tindak pidana dengan 13 korban tewas (bisnis.com, 8/3/2022).

Mengapa beda perlakuan? KKB di Papua yang terang-terangan brutal dibiarkan, dirangkul sebagai saudara, sementara kelompok yang dinilai radikal (baca: kritis terhadap kebijakan penguasa dan atau yang memperjuangkan penerapan hukum Islam dalam konteks negara) ditarget, dikejar, hingga dibubarkan. Adilkah? 

Wajar jika diduga kuat pemerintah terjangkit islamofobia, sebuah ketakutan yang berlebihan terhadap Islam. Beberapa penegakan hukum dan pembuatan kebijakan menjadi indikasi islamofobia. Ironis, penyakit ini justru menghinggapi penguasa Muslim di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. 

Padahal Majelis Umum PBB telah menetapkan Hari Internasional Memerangi Islamofobia pada 15 Maret 2022. Tujuan resolusi PBB ini meningkatkan kesadaran internasional tentang meningkatnya fenomena islamofobia dan kebencian anti-Muslim. Pun mengirim pesan bahwa dunia menentang segala bentuk rasisme, diskriminasi rasial, xenofobia, stereotif negatif, dan stigmatisasi (viva.co.id, 17/3/2022). Realitas ini menyisakan pertanyaan, sampai kapan islamofobia menyelubungi kebijakan punggawa negeri ini dan mampukah resolusi PBB mengatasinya.

Islamofobia, Bentuk Perlawanan Barat terhadap Kebangkitan Islam

Terkait dugaan pemerintah terjangkit islamofobia, Menkopolhukam Mahfud MD menjawab tidak ada islamofobia dalam pemerintahan di Indonesia. Ia beralasan, sebagian besar pejabat adalah Muslim yang tidak mungkin bisa menjadi pemimpin jika ada islamofobia di sini, serta banyak petinggi TNI/Polri yang pandai mengaji bahkan menjadikan markasnya sebagai tempat pengajian dan sema’an Al-Qur’an. Ia pun membantah adanya kriminalisasi ulama, sebab selain ikut mendirikan Indonesia, saat ini para ulamalah yang banyak mengatur, memimpin, dan ikut mengarahkan kebijakan di Indonesia (antaranews.com, 24/12/2020).

Mahfud MD boleh membantah tudingan tersebut. Namun, ada banyak indikasi dan bukti yang mengarah bahwa pemerintah mengidap islamofobia. Hal ini tampak dari berbagai pembuatan kebijakan dan penegakan hukum, yaitu: 

Pertama, mengkriminalisasi ulama, ustaz, dan aktivis Islam. 

Penahanan Ha-eR-eS bukan semata-mata atas tuduhan melakukan tindak pidana umum, begitu pula Munarman yang dituduh terlibat terorisme. Aroma politik balas dendam sangat menyengat. Ali Baharsyah (aktivis Islam) ditahan dengan tuduhan penghinaan terhadap penguasa gegara unggahan media sosial, pun dituduh makar karena video dakwah khilafah. Despianoor keluar masuk penjara atas tuduhan melanggar ITE, padahal postingan kritiknya tak lebih dari dakwah dan bentuk kecintaan pada negeri ini. 

Kedua, membubarkan ormas Islam yang dinilai radikal dan mengawasinya. 

HTI dibubarkan dengan landasan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Pembubaran ini dinilai bentuk kediktatoran konstitusional karena pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan. 

Adapun FPI dibubarkan melalui SKB Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung RI, Kapolri dan Kepala BNPT tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI, Rabu (30/12/2020). 

Pendakwah kedua “ormas terlarang” ini pun dilarang tampil di stasiun televisi berdasarkan SE KPI Nomor 2 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Siaran pada Bulan Ramadhan. Selain itu, eks HTI dan FPI juga dilarang ikut Pemilu. 

Ketiga, membiarkan penista agama Islam tanpa pemeriksaan/hukuman. 

Para buzzer istana yang sering melontarkan narasi menghina Islam: Abu Janda, Ade Armando, Deni Siregar, seolah kebal hukum. Terkesan aparat penegak hukum berat sebelah. Pelaku dari kelompok oposisi cepat diproses, sebaliknya yang masih satu lingkaran penguasa terkesan dibiarkan.    

Keempat, berupaya membatasi syiar Islam. 

Menag mengeluarkan Surat Edaran No. 5 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. SE ini menuai polemik karena terkesan membatasi syiar Islam di masjid. Apalagi setelahnya Menag justru melontarkan statement membandingkan azan dengan gonggongan anjing. Ini menjadi bukti bahwa SE ini dikeluarkan secara otoriter, tidak merupakan good law (proses pembentukan hukum yang baik) dan good substance. 

Kelima, monsterisasi ajaran Islam seperti jihad dan khilafah.

Jihad dan khilafah dicitrakan sebagai ajaran kekerasan yang harus dijauhi. Termasuk ‘tabu’ diajarkan pada anak didik. Pada Desember 2019, Kemenag mengeluarkan SE agar merevisi konten ajaran terkait khilafah dan jihad dalam pelajaran agama Islam di madrasah. Selain itu, akan menarik materi ujian di madrasah yang mencantumkan dua konten itu. Khilafah dan jihad tak lagi dimasukkan dalam pelajaran fikih dan masuk pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, berdalih khilafah memang bagian dari sejarah Islam namun tak cocok diterapkan untuk konteks Indonesia.

Keenam, gencar mengarusutamakan program moderasi beragama. 

Ini telah menjadi program nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Istilah moderasi sering dilawankan dengan radikalisme. Radikalisme seolah diposisikan sebagai virus atau permasalahan utama negeri ini, dan moderasi digadang sebagai penawar/solusi bagi radikalisme. Padahal hingga kini definisi radikalisme tidak jelas. Ia lebih sebagai nomenklatur politik, bukan nomenklatur hukum. Program moderasi menyasar PAUD hingga perguruan tinggi, hingga ke desa.     

Islamofobia tidak terjadi baru-baru ini, namun memiliki akar historis sejak abad pertengahan. Perang Salib I telah menanamkan benih islamofobia. Islam digambarkan sebagai aliran sesat, Muslim dicitrakan sebagai manusia bar-bar nan kejam. Penggambaran ini menggiring umat Kristen di Barat untuk melakukan perang Salib I hingga tanah Palestina jatuh ke tangan mereka.

Dengan demikian, islamofobia lahir dari kebencian Barat terhadap Islam. Pandangan hidup Barat adalah ideologi kapitalisme sekularistik yang secara diametral bertentangan dengan ideologi Islam. Lebih jauh, ideologi Islam menjadi musuh kapitalisme. Hingga kini, mereka sangat khawatir kebangkitan Islam. Diduga, mereka sengaja menciptakan narasi kebencian terhadap Islam yang kemudian dikenal dengan istilah islamofobia. Marak terjadi di negeri kaum Muslim, khususnya yang mengekor pada Barat.

Kini islamofobia kian terstruktur dan masif karena secara global kapitalisme nyaris tumbang. Di sisi lain, agama Islam terus berkembang karena sesuai fitrah manusia. Jadilah Islamofobia narasi yang diciptakan untuk menyerang Islam dengan harapan orang membenci dan memusuhi Islam. 

Sayangnya, kesalahan diagnosis akar masalah islamofobia menjadikan umat Islam seakan euforia oleh dukungan semu. Banyak yang menyambut baik adanya Hari Peringatan Melawan Islamofobia 15 Maret. Perwakilan Indonesia di PBB, H.E. Mohammad Kurniadi Koba menyambut baik dan sepakat menyuarakan pesan toleransi, moderasi, dan pluralisme, sebagai aspirasi rakyat Indonesia terkait hari tersebut. 

Hal ini menunjukkan kekaburan memahami akar masalah islamofobia. Yang dominan adalah sikap defensive apologetic, yakni membela Islam dari tuduhan radikal, keras, benih teroris, dengan menyodorkan alternatif Islam ramah, toleran, yang mereka sebut Islam moderat. Padahal tuduhan ini ngawur karena fakta penindasan justru dialami umat Islam minoritas di sebuah negara. Menawarkan Islam moderat pun tak tepat sebab justru akan menjauhkan umat dari Islam kaffah.

Palsunya dukungan dunia dalam perang melawan islamofobia tampak saat terjadi kekerasan etnis Muslim minoritas, yang dilakukan PBB sekadar mengecam atau embargo sementara. Berdalih menghormati kedaulatan negara dan larangan intervensi urudan domestik suatu negara. Namun bila yang nenjadi korban kekerasan non-Muslim, seperti Ukraina yang berkonflik dengan Rusia, dunia berlomba mencari muka menunjukkan dukungannya. Sementara di saat sama, umat Islam di berbagai belahan dunia: Palestina, Suriah, Myanmar telah lama mengalami kekerasan dan diskriminasi.

Diduga, penentuan Hari Antiislamofobia hanyalah lip service demi menyembunyikan permusuhan Barat yang takut akan kebangkitan Islam yang kian nyata. Sebagai negara besar yang berasaskan ideologi kapitalisme nan eksploitatif, secara mendasar tidak mudah begitu saja bagi Barat (Amerika Serikat, pioner PBB) mengubah kebijakan luar negerinya. 

Politik luar negerinya tetap demi menyebarluaskan kapitalisme di dunia dan menjaga eksistensinya sebagai ideologi utama dunia. Di mana ia memiliki metode/strategi (thariqah) berupa penjajahan/imperialisme (isti’mar) fisik/pemikiran dalam berbagai bidang. 

Metode penjajahannya bersifat baku, yang berubah adalah cara (uslub) mewujudkan metode tersebut. Maka, pengubahan penggencaran islamofobia menjadi antiislamofobia bukan hal aneh. Diduga sebagai cara lebih halus untuk meraih dukungan dan simpati dunia, termasuk kalangan kaum Muslimin, di tengah kekhawatiran kebangkitan kembali Islam dan munculnya kekuatan Timur seperti China. Dulu Barat melontarkan islamofobia, kini ia menyuarakan antiislamofobia. Hakikatnya, antiislamofobia ala Barat ya islamofobia itu sendiri.

Dengan demikian, pemerintah Indonesia baik membuat kebijakan berbasis islamofobia maupun mendukung antiislamofobia sebagai peluang memasifkan Islam moderat, bagi umat Islam sama-sama merupakan bentuk serangan dan merugikan. Umat Islam hendaknya selalu memonitor dan mewaspadai cara-cara Barat menghadapi kaum Muslimin. 

Tidakkah kita ingat pesan Allah SWT, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al Baqarah: 120)   

Dampak Kebijakan Berdasarkan Islamofobia Termasuk dalam Penegakan Hukum Terkait Umat Islam

Islamofobia bukanlah fenomena baru dalam peta perlawanan terhadap perjuangan Islam. Perang Salib menjadi benih awal Islamofobia. Dan kembali menemukan momentumnya pasca peledakanWTC yang konon dilakukan mereka sendiri, telah menghasilkan proyek war on terrorism –kini lebih mengemuka dengan war on radicalism—yang dimaknai sebagai perang terhadap Islam. Dalam rangka perang, kata Islam dijadikan obyek untuk menakut-nakuti masyarakat. Islam yang sejatinya merupakan ajaran mulia dan damai dikonstruksi sedemikian rupa seolah menyeramkan, buruk, dan membahayakan. 

Upaya keji ini terus ditanamkan melalui impuls-impuls tanpa memberikan kesempatan kepada pikiran rasional untuk mengkajinya. Lahirlah kondisi kejiwaan abnormal berupa islamofobia. Dalam konteks penyakit kejiwaan, yang salah bukanlah Islam namun ketakutan, halusinasi, dan kecemasan berlebihan terhadap Islam. Psikoabnormal Islamofobia adalah kebodohan akut masyarakat modern yang tidak rasional.

Kini, meski resolusi PBB merilis Hari Antiislamofobia namun pemerintah Indonesia masih mendasarkan pembuatan kebijakan berbasis islamofobia. Dampak kebijakan berdasarkan islamofobia termasuk dalam penegakan hukum terkait umat Islam antara lain:

Pertama, terjadi unfairness (ketidakadilan) dalam penegakan hukum. 

Sebagaimana yang terjadi pada kasus Ha-Er-eS, ulama, dan aktivis Islam lainnya. Hukum ditegakkan berdasarkan suka/tidak suka, serta dekat tidaknya dengan penguasa (APH). Terjadilah diskriminasi hukum. Yang memperjuangkan Islam (apalagi kritis pada rezim sekuler) akan gercep ditangani. Sementara bagi pendukung rezim, akan diringankan hukumannya, dibuat pengadilan dagelan, hingga seolah kebal hukum.

Kedua, naiknya distrust masyarakat terhadap penguasa (APH) hingga potensi civil disobedience. 

Tindakan diskriminatif APH menyebabkan distrust publik meninggi. Jika kezaliman terus berlangsung, distrust bisa berkembang menjadi pembangkangan. Masyarakat menaruh curiga dan enggan menaati kebijakan pemerintah.

Ketiga, polarisasi dalam tubuh umat Islam.

Yang termakan narasi islamofobia akan merasa takut/khawatir terhadap ajaran hingga simbol Islam. Di sisi lain, ada kelompok yang ditakuti karena keberhasilan narasi tadi yang biasanya dilabeli dengan sebutan radikal, ekstrem, teroris. Saat ini, memungkinkan untuk terbelah lagi, antara pelaku dan supporter islamofobia dengan pendukung antiislamofobia.
  
Istilah-istilah ‘asing” seperti Islam garis keras, radikal, teroris, ekstrem, yang diversuskan dengan Islam moderat, liberal, dan seterusnya, adalah bagian proyek imperialisme epistemologis penjajah Barat di dunia Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslimin terpecah-belah dengan saling melontarkan tuduhan satu sama lain.  

Keempat, menyulut konflik vertikal dan horizontal. 

Umat Islam yang telah terbelah (terpolarisasi) akan mudah terpantik konflik. Baik sesama anak bangsa, maupun antara penguasa kaki tangan Barat dengan rakyat Muslim yang enggan tunduk aturan Barat.

Kelima, monsterisasi ajaran Islam. 

Ajaran seperti jihad dan khilafah menjadi hal menakutkan/mengerikan sehinga layak untuk dijauhi. Mereka mempertanyakan mengapa kembali pada khilafah, bukankah sejarah khilafah itu berdarah-darah, terjadi perebutan kekuasaan. Kini khilafah disamakan dengan komunisme bahkan dikatakan bahayanya lebih aktual sehingga harus diwaspadai. Sungguh, ini merupakan tuduhan keji terhadap ajaran Islam.

Keenam, umat Islam kian jauh dari pemikiran dan syariat Islam.

Saat sebagian umat Islam percaya bahwa yang berpegang teguh pada ajaran Islam dikategorikan radikal, teroris, hingga menakutkan, atau syariat kaffah dikatakan radikal, ini akan membuat mereka enggan berdekatan dengan syariat dan pejuangnya. Padahal merugilah seseorang jika ia menjauhkan diri dari syariat kaffah. 

Ketujuh, terjadi penyesatan hakikat problematika bangsa.

Mengalihkan hakikat problematika bangsa, dari kapitalisme sekuler menjadi Islamlah biang kerok kegaduhan di masyarakat. Pemerintah dan kaum sekuler menuding penerapan syariat Islam adalah tindakan berlebihan, menimbulkan disintegrasi, mengancam kebhinekaan, dan seterusnya. Padahal problematika negeri ini sejatinya berakar pada penerapan sistem kapitalisme sekuler.

Kedelapan, hegemoni Barat dan sistem kehidupannya kian eksis.

Keberhasilan islamofobia akan mengeksiskan hegemoni kaum Barat di negeri ini. Sistem hidup berikut pemikiran-pemikirannya kian kuat diikuti masyarakat. Hal ini akan menjadi batu sandungan perjuangan menegakkan syariat Islam.
 
Demikianlah, bila islamofobia dijadikan dasar kebijakan maka umat Islamlah yang pertama kali merasakan dampak buruknya. Umat Islam mesti waspada dan berupaya meminimalisasi bahaya yang ditimbulkannya.

Strategi Pembuatan Kebijakan Pemerintah dalam Penegakan Hukum Tanpa Islamofobia

Dahulu Fir’aun sangat takut dan membenci Islam yang dibawa Nabi Musa, sebab Fir’aun orang kafir yang mendurhakai Allah SWT. Puncak kecongkakan Firaun adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan. Abu Lahab dan Abu Jahal sangat takut dan membenci ajaran Islam yang dibawa Rasulullah SAW, sebab mereka adalah dedengkot kafir Quraisy penyembah berhala warisan nenek moyang mereka. Puncak kebencian mereka kepada Islam dan Rasulullah tampak pada upaya pembunuhan Rasulullah.

Hari ini, Barat dengan ideologi kapitalisme sekularistik sangat membenci dan memusuhi Islam, sebab mereka berupaya menghegemoni dunia dengan ideologinya. Puncak permusuhan Barat kepada Islam adalah dengan menyebarkan virus islamofobia sembari menuduh Islam sebagai ajaran radikal, ideologinya sebagai ideologi terorisme, dan stigma buruk lainnya. 

Mengingat dampak buruknya bagi umat Islam, diperlukan strategi pembuatan kebijakan pemerintah dalam penegakan hukum tanpa islamofobia yaitu:

Pertama, pemerintah menjiwai fungsi pemimpin sebagai pengurus dan pelindung rakyat. 

Hendaknya penguasa selalu ingat hadis Rasulullah SAW, “Imam (pemimpin) adalah ra’in (pengatur, pengelola) dan ia dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Muslim). 

Pun hadis berikut, “Imam itu bagai junnah (perisai), tempat umat berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR. Muslim). 

Kedua, memiliki independensi pemikiran dan sikap. 

Dalam membuat kebijakan, yang menjadi poros adalah memenuhi kemaslahatan rakyat (umat Islam) sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Tidak membebek pada arahan kelompok atau negara lain, terlebih jika justru merugikan atau membuat sengsara rakyat.

Ketiga, melakukan serangkaian kajian, baik aspek teoritis maupun realitas di lapangan. 

Hal ini untuk memastikan terkait masalah yang terjadi, faktor penyebab, serta solusi selama ini. Agar tidak ada yang merasa dijadikan kambing hitam sebagaimana yang terjadi saat ini ketika umat Islam sering dipersalahkan dalam berbagai perkara. 

Keempat, menimbang aspirasi publik.

Pemerintah membuka ruang dialog, khususnya dengan pihak-pihak yang selama ini mengusung Islam namun dinilai berseberangan dengan penguasa. Diharapkan terjadi kesepahaman hingga menghilangkan prasangka buruk dan permusuhan. Pemerintah merangkul, bukan memukul.

Kelima, mewujudkan kebijakan berasas keadilan. 

Tidak dipengaruhi rasa suka atau tidak suka, kawan atau lawan, dekat atau jauh. Kebijakan dibuat pemerintah tanpa diskriminasi atau tebang pilih, baik bagi kalangan Islam yang selama ini kritis terhadap jalannya pemerintahan, maupun terhadap kelompok orang dalam lingkaran kekuasaan.

Rasulullah SAW mengingatkan, “Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat pada ketakwaan.” (QS. Al Maidah: 8).

Namun, strategi di atas nampaknya sulit diterapkan ketika penguasa negeri ini tetap menginduk pada negara Barat yang selama ini mengarahkan berbagai kebijakan. Masih adanya islamofobia meski PBB menyerukan memeranginya menjadi bukti bahwa resolusi tersebut hanyalah lip service dan tak mungkin membasmi islamofobia hingga ke akarnya. Benarkah Barat mau menghancurkan sesuatu yang telah ia buat sendiri?

Maraknya islamofobia hanya bisa dihentikan kala umat Islam kembali pada junnah sejatinya. Inilah penjaga kehormatan dan darah kaum Muslimin. Bila umat Islam ingin melawan islamofobia, maka hilangkan akar penyebabnya yaitu dendam peradaban Barat kepada Islam. Di mana ideologi kapitalismenya telah menancap ke negeri-negeri Muslim. Oleh karena itu, negeri kaum Muslimin harus dibersihkan dari pengaruh ideologi kufur dan selanjutnya pemahaman Islam dikembalikan sebagai sistem kehidupan, hingga menjadi peradaban pemimpin dunia.[] 

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum Pakar Hukum dan Masyarakat dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar