Fiqih Iktikaf


TintaSiyasi.com -- Apa pengertian iktikaf?

Iktikaf adalah berdiam menetapi masjid untuk beribadah kepada Allah Taala (luzûm al-masjid li ‘ibâdatillah ta’âla).

Apa tujuan iktikaf?

Tujuan terbesar iktikaf adalah untuk berkhalwat (bersepi-sepi) dengan Allah, dan melakukan berbagai ketaatan kepada Allah, seperti shalat tahajud yang lama, mentadaburi (merenungkan secara mendalam) ayat-ayat Al-Qur`an, melakukan muhâsabah (instrospeksi) bagi diri sendiri, dan memperbaharui taubat kepada Allah. (M. Sulaiman Nashrullah Al Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 145).

Apa hukum iktikaf?

Iktikaf hukumnya mandub (sunah), boleh dilakukan pada setiap-tiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan. Namun yang lebih utama adalah mengerjakannya di bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, untuk mencari Lailatul Qadar.

Keutamaan iktikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan itu didasarkan pada hadis berikut ini :

عن عائشةَ رَضِيَ اللهُ عنها : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ , حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ بَعْدَهُ. أخرجه البخاري ومسلم

Dari ‘A`isyah RA, bahwa Rasulullah SAW telah beriktikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, hingga beliau diwafatkan Allah Azza wa Jalla, kemudian istri-istri beliau beriktikaf sepeninggal beliau.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Bahkan karena sangat dianjurkannya iktikaf, ketika Nabi SAW meninggalkan iktikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan itu karena suatu uzur atau hajat, Nabi SAW mengqadanya di bulan Syawal. (H.R. Bukhari dan Muslim). (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 145).

Berapa lama waktu iktikaf itu, baik waktu paling sebentar maupun waktu paling lama? 

Jumhur ulama mensyaratkan, sesedikit-sedikitnya iktikaf itu, dilakukan dalam waktu sekejab (lah-zhatan wahidatan), misalnya berdiam beberapa saat di masjid, yang kira-kira selama orang membaca surat Al-Fatihah. 

Adapun waktu selama-lamanya iktikaf, tidak ada batasannya, selama tidak menyebabkan suatu keharaman (mah-zhur syar’i) bagi orang yang beriktikaf, misalnya meninggalkan kewajiban mencari nafkah, meninggalkan kewajiban berdakwah, dan sebagainya.

Apakah tetap wajib berniat jika iktikafnya sebentar?

Atas dasar dua poin sebelumnya, yakni iktikaf itu boleh sebentar atau lama, maka bagi setiap orang yang beriktikaf, wajib meniatkan iktikaf di masjid, baik ia iktikaf sebentar maupun iktikaf lama. Sama saja apakah dia masuk masjid memang untuk beribadah, misalnya untuk shalat atau thalabul ilmi, ataukah untuk keperluan di luar ibadah, misalnya sekedar beristirahat atau janjian bertemu dengan teman.

Apa saja syarat-syarat iktikaf? 

Syarat-syarat iktikaf, yang terpenting adalah sebagai berikut :
(1) disyaratkan untuk orang yang beriktikaf: muslim, mumayiz, dan aqil (berakal).

Maka tidak sah iktikaf bagi non muslim (kafir), karena orang kafir bukan ahlul qurûbât (orang yang berhak beribadah). Tidak sah pula iktikafnya anak kecil yang belum mumayyiz, atau iktikafnya orang gila.

(2) disyaratkan untuk orang yang beriktikaf dalam keadaan suci (thâhir) dari hadas besar. Maka tidak sah iktikaf orang yang berhadats besar, seperti orang yang junub, wanita yang sedang haid, dan wanita yang sedang nifas.

(3) Iktikaf dilakukan di masjid yang dilakukan sholat lima waktu di situ. Hal ini sesuai firman Allah SWT :

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

Dan janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu), ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 187). 

Yang lebih afdal (utama), iktikaf dilakukan di masjid yang dilakukan sholat Jumat di situ.

Sebagian ulama membolehkan iktikaf di bagian-bagian masjid yang mengikuti pada masjid, seperti perpustakaan masjid (maktabah), tempat adzan (mi’dzanah), dan sebagainya. 

Menurut pendapat yang râjih (lebih kuat) bagi kami, tempat yang dikategorikan masjid itu hanya bagian-bagian masjid yang digunakan sholat. Jika tidak digunakan untuk sholat, misalnya perpustakaan masjid, maka tempat itu tidak dikategorikan sebagai masjid secara hukum syariah.

Maka dari itu, iktikaf di perpustakaan masjid, menurut pendapat kami, tidak sah. Karena perpustakaan masjid tidak termasuk masjid secara hukum Islam.

Dasar pendapat kami adalah definisi masjid itu sendiri. Dalam definisi masjid ini, disyaratkan masjid haruslah berupa tempat yang dapat digunakan untuk ibadah (shalat) khususnya untuk bersujud, sebagaimana definisi masjid berikut ini :

المَسْجِدُ هوَ كُلُّ مَوْضِعٍ يُمْكِنُ أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ فِيه وَيُسْجَدَ لَهُ , لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ : « جُعِلَتْ لِي الأَرْضَ مَسْجِدًا وَطَهُورًا » أخرجه البخاري (438)، ومسلم (521)

Masjid adalah setiap tempat yang dapat digunakan untuk beribadah [sholat] dan bersujud kepada Allah di dalamnya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”Telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid dan tempat yang suci.” (HR Bukhari, no. 438; Muslim, no. 521). (Lihat Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah, Juz 37, hlm. 154-155)

(4) disyaratkan orang yang beriktikaf untuk berniat (dalam hati), karena iktikaf itu ibadah, maka seseorang wajib berniat iktikaf bersamaan saat dia memulai berdiam di masjid untuk pertama kalinya. 

(5) disyaratkan iktikaf tidak boleh melalaikan suatu kewajiban dari orang yang beriktikaf, misalnya bekerja mencari nafkah, atau mengakibatkan orang yang beriktikaf itu melakukan yang haram atau mafsadat, misalnya melalaikan merawat ayah atau ibunya yang sedang sakit. Karena iktikaf itu sunah, maka tidak boleh mendahulukan yang sunah atas yang wajib, atau melakukan yang sunah tapi mengakibatkan yang haram atau mafsadat.
 
(6) disyaratkan menurut Imam Ibnu Juzai dari mazhab Maliki, orang yang beriktikaf itu hendaklah melakukan ketaatan atau ibadah, sesuai kemampuannya. Jika ini tidak dilakukannya, maka dia hanya mendapat bagian berupa memisahkan diri dari tempat tidur dan istri, atau meninggalkan makan dan minum (jika iktikaf di siang hari), tetapi tidak mendapat tujuan utama dari iktikaf, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT.
 
Apa hukum iktikaf bagi wanita?

Hukumnya boleh. Hadits ‘A`isyah RA di atas menunjukkan bolehnya iktikaf untuk laki-laki dan wanita, sebagaimana perkataan ‘A`isyah RA :

ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ بَعْدَهُ. أخرجه البخاري ومسلم

[setelah Rasulullah wafat], kemudian istri-istri beliau beriktikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hanya saja, ada dua syarat untuk iktikaf wanita :  
(1) bagi wanita bersuami, wajib minta izin kepada suaminya, karena hak suami itu wajib didahulukan daripada iktikaf, sedang bagi yang belum bersuami, wajib minta izin kepada ayahnya, atau wali terdekat jika ayah tidak ada.

(2) iktikaf yang dilakukan wanita tidak menimbulkan “fitnah” (keharaman), atau “mafsadat” (bahaya). 

Kapan seseorang yang beriktikaf 10 hari terakhir Ramadhan memulai iktikafnya?

Terdapat dalil hadis yang menunjukkan bahwa bagi yang hendak beriktikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, waktunya dimulai sejak sholat Shubuh, pada hari keduapuluh pada bulan Ramadhan.

Dalilnya adalah hadits dari ‘A`isyah RA, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ، وَأَنَّهُ أَمَرَ بِخِبَائه فَضُرِبَ لَمَّا أَرَادَ الِاعْتِكَافَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَأَمَرَتْ زَيْنَبُ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ، وَأَمَرَتْ غَيْرُهَا مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ؛ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْفَجْرَ نَظَرَ، فَإِذَا الْأَخْبِيَةُ، فَقَالَ: آلْبِرَّ يُرِدْنَ؟ فَأَمَرَ بِخِبَائِهِ فَقُوِّضَ، وَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الْأول مِنْ شَوَّالٍ. أخرجه البخاري ومسلم

Jika Rasulullah SAW hendak iktikaf, beliau shalat Shubuh terlebih dahulu, lalu masuk ke tempat iktikafnya dan beliau memerintahkan untuk dibuatkan bilik kecil (khibâ’), maka dibuatkanlah untuk beliau ketika beliau hendak beriktikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Zainab juga minta dibuatkan bilik kecil, maka dibuatkanlah untuknya. Istri-istri Rasulullah SAW yang lain juga minta dibuatkan bilik, maka dibuatkan untuk mereka. Ketika beliau hendak menunaikan shalat Shubuh, beliau melihat bilik-bilik itu, lalu Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kebaikan yang mereka inginkan?" Beliau lalu memerintahkan agar bilik-bilik itu dibongkar, lalu beliau membatalkan iktikaf di bulan Ramadhan itu hingga akhirnya beliau beriktikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Syawal.” (HR Bukhari dan Muslim).

Keterangan:
Yang dimaksud “bilik” (Arab: khibâ’, jamaknya adalah akhbiyah) adalah semacam kemah kecil yang ditutup dengan wool atau bulu, dengan dua tiang. Nabi SAW membuatnya dengan tujuan agar tidak diganggu oleh orang lain, atau agar bisa fokus ibadah, dan hal itu supaya iktikaf itu tidak dilakukan secara berjamaah, melainkan dilakukan secara sendiri-sendiri. (M. Sulaiman NashrullahAl Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 153).

Hadits ‘A`isyah RA di atas menunjukkan bahwa bagi yang hendak beriktikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, waktunya dimulai sejak shalat Shubuh. Hanya saja ulama berbeda pendapat, apakah sholat Shubuh itu, pada hari kedua puluh atau hari kedua puluh satu.

Penjelasannya ada pada 3 (tiga) poin berikut ini : 

(1) menurut pendapat yang râjih (lebuh kuat) dari jumhur ulama, iktikaf dimulai pada beberapa saat sebelum malam (yakni sebelum matahari terbenam) pada hari kedua puluh di bulan Ramadhan.

(2) maka dari itu, jika orang yang beriktikaf itu mulai masuk masjid (beriktikaf) pada hari keduapuluh satu, maka berarti dia telah luput dari malam kedua puluh satu (malam sebelumnya), padahal itu adalah malam ganjil.

(3) yang dimaksud “Jika Rasulullah SAW hendak beliau shalat Shubuh terlebih dahulu”, adalah waktu Shubuh pada hari keduapuluh.

Kapan orang yang beriktikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan itu keluar dari masjid?

Jawabnya, sejak terbenamnya matahari pada malam terakhir bulan Ramadhan, yaitu pada malam Idul Fitri. 

Dalam hadis di atas, Nabi SAW bersabda ketika melihat bilik-bilik istri beliau, ”Apakah kebaikan yang mereka inginkan?“ Apakah maksudnya? 

Sabda Nabi SAW tersebut merupakan pertanyaan dengan maksud mengingkari sesuatu, ada 4 (empat) poin pembahasan berikut ini :

(1) Bahwa Nabi SAW khawatir para istri beliau tidak beriktikaf untuk ibadah, melainkan cemburu kepada Nabi SAW.

(2) Bahwa Nabi SAW tidak senang para istri beliau ikut beriktikaf, karena di masjid banyak orang yang keluar masuk, dan ada di antara manusia itu adalah orang munafik atau orang yang dalam hatinya ada penyakit, sehingga Nabi SAW merasa cemburu kepada para istri beliau. 

(3) Bahwa Nabi SAW khawatir iktikaf yang dilakukan para istri di masjid dengan beliau, justru akan menghilangkan tujuan iktikaf itu sendiri, yaitu menjauhkan diri dari istri, dan fokus hanya pada ibadah saja.

(4) Bahwa Nabi SAW khawatir iktikaf para istri itu akan membuat ruangan masjid menjadi sempit bagi jamaah yang lain yang hendak shalat atau iktikaf, disebabkan oleh adanya bilik-bilik yang dibuat untuk para istri Nabi SAW. (M. Sulaiman Nashrullah, Al Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 154).

Apa saja pelajaran atau hukum yang dapat diambil dari hadits ‘A`isyah RA di atas?

Dalam hadits ‘Aisyah RA yang menjadi pokok pembahasan di atas, terkandung banyak hukum syara’, di antaranya :

(1) Memang sudah menjadi fitrah seorang wanita (sudah dari “sononya”), bahwa wanita itu pencemburu dengan para madunya. 

(2) Bahwa menolak mafsadat diutamakan daripada meraih manfaat (dar`ul mafâsid muqaddamun ‘ala jalbil manâfi’). Maka Nabi SAW menunda iktikafnya lalu diqadha` di bulan Syawal, bukan meneruskan iktikaf di bulan Ramadhan. Hal ini karena beliau khawatir iktikaf mereka itu dapat mengakibatkan terjadinya hal-hal mafsadat, misalnya membuat masjid menjadi sempit, atau adanya ikhtilath (campur baur) antara istri-istri beliau dengan orang-orang yang keluar masuk masjid, dan sebagainya.
 
(3) Hadis tersebut menunjukkan, jika seseorang sudah terbiasa melakukan ibadah sunnah, lalu ditinggalkan karena ada hajat atau uzur syar’i, maka hendaklah dia mengqada pada waktu yang lain. 

(4) Hadis tersebut menunjukkan, bahwa iktikaf boleh dilakukan di luar bulan Ramadhan, dan tidak disyaratkan iktikaf itu dilakukan dalam keadaan sedang berpuasa.

(5) Hadis tersebut menunjukkan, istri yang hendak beriktikaf wajib minta izin lebih dulu kepada suaminya. Jika istri tidak minta izin, suami berhak menyuruh istrinya keluar masjid. (M. Sulaiman Nashrullah Al Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 159).

Apa hukumnya seseorang yang sedang beriktikaf keluar dari masjid?

Pada dasarnya, ketika seseorang melakukan iktikaf, dia tidak boleh keluar dari masjid, kecuali ada suatu hajat yang dibenarkan syariat (seperti buang air kecil, dsb).

Dalilnya adalah hadits dari ‘A`isyah RA, dia berkata :

إنْ كُنْتُ لأَدْخُلُ البَيْتَ لِلْحاجَةِ، والْمَرِيضُ فِيهِ، فَما أسْأَلُ عنْه إلَّا وأنا مارَّةٌ، وإنْ كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وهو في المَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ، وكانَ لا يَدْخُلُ البَيْتَ إلَّا لِحاجَةٍ، إذا كانَ مُعْتَكِفًا. رواه البخاري ومسلم

Sesungguhnya aku pernah masuk ke rumah untuk suatu hajat. Dan ketika itu di dalamnya ada orang sakit. Aku tidaklah bertanya tentangnya melainkan aku sambil berjalan melintasinya. Dan Rasulullah SAW pernah memasukkan kepalanya ke dalam rumah, sedang beliau ada di masjid, dan aku pun menyisiri rambut beliau. Dan Rasulullah SAW tidak masuk rumah, kecuali ada hajat, jika beliau sedang melakukan iktikaf.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa ketika Rasulullah SAW melakukan iktikaf, beliau tidaklah keluar dari masjid, kecuali ada suatu hajat (seperti buang air kecil, dan sebagainya).

Hadis ini menunjukkan juga bahwa ketika ‘A`isyah RA sedang beriktikaf, beliau meneladani Rasulullah SAW, yaitu tidak keluar masjid kecuali ada hajat. ‘A`isyah RA tidak mengunjungi orang sakit, kecuali sekedar melintasinya saja. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 161).

Apa sajakah pembatal-pembatal iktikaf?

Pembatal-pembatal iktikaf adalah:
(1) Keluar dari masjid dengan seluruh badannya dengan sengaja, tanpa ada suatu hajat syar’i. 

(2) melakukan kabâ`ir (dosa besar) seperti ghîbah (menggunjing), namîmah (adu domba), menurut mazhab Maliki membatalkan iktikaf. Sedang menurut jumhur ulama, yang lebih kuat (râjih), melakukan kabâ`ir tidak membatalkan iktikaf, tetapi mengurangi atau menghilangkan pahala iktikaf itu.

(3) Jimak (berhubugan badan) dengan istri, dan mukadimah-mukadimah dari jima (seperti mencium, meraba, dan sebagainya). Firman Allah SWT :

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

Tetapi jangan kamu campuri mereka (istri-istrimu), ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (QS Al Baqarah : 187). 

(4) Nifas dan haid. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 162).

Apa saja hal-hal yang tidak tergolong pembatal-pembatal iktikaf?

(1) Mengeluarkan sebagian badan dari masjid.
(2) Jika orang yang beriktikaf keluar masjid karena dipaksa, atau karena lupa, tidak batal iktikafnya.
(3) Ihtilâm (mimpi hingga mengeluarkan mani), tidak membatalkan iktikaf. Tetapi dia wajib segera mandi junub, karena tidak boleh orang yang junub berdiam di masjid.
(4) Keluarnya mazi dari orang yang beriktikaf, tidak membatalkan iktikaf. Tetapi mazi itu najis dan membatalkan wudhu’. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 164).
 
Apa hukumnya keluar dari tempat iktikaf (mu’takaf)?

Hukumnya ada rincian (tafshîl) sebagai berikut :
(1) Jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang menafikan iktikaf, misalnya menggauli istri, melakukan jual beli, maka iktikafnya batal.
(2) Jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang menjadi hajat dan tidak boleh tidak harus dilakukan, misalnya buang air besar atau kecil, mencari makanan atau minum, dsb, maka iktikafnya tidak batal. Disunahkan orang yang beriktikaf minta bantuan orang lain untuk mencarikan makanan dan minuman.
(3) Jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang tidak menafikan iktikaf, tetapi dapat ditinggalkan, misalnya mengunjungi orang sakit, atau mengantar jenazah, maka itu tidak membatalkan iktikaf jika dia mensyaratkannya dalam niat itikaf. Jika dia tidak mensyaratkannya dalam niat iktikaf, batallah itikafnya.
Yang dimaksud “mensyaratkan” dalam niat iktikaf, adalah ketika seseorang berniat, dalam hati dia berkata, ”Aku niat iktikaf karena Allah, namun aku akan keluar masjid jika ada keperluan mengunjungi orang sakit atau mengantar jenazah.”
 
Bagaimanakah hukum itikaf untuk wanita yang mustahadhah dan orang yang mubtala (incontinence, tak mampu menahan kencing)?

Sah hukumnya melakukan iktikaf bagi orang yang bernajis secara permanen, seperti wanita yang mustahadhah dan orang mubtala, yaitu orang yang menderita incontinence (tidak mampu menahan kencing sehingga ngompol), sesuai hadis dari ‘Aisyah RA berikut ini :

اِعْتَكَفَتْ مَعَ رَسولِ اللَّهِ امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ مُسْتَحاضَةٌ ، فَكَانَتْ تَرَى الحُمْرَةَ والصُّفْرَةَ ، فَرُبَّمَا وَضَعْنَا الطَّسْتَ تَحْتَها وَهِيَ تُصَلّي

Salah seorang istri Rasulullah SAW yang mengalami istihadah ikut iktikaf bersama beliau. Ia melihat cairan yang keluar ada yang berwarna kemerahan dan ada yang berwarna kekuningan. Terkadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.” (HR Bukhari, no. 2037).

Berdasarkan hadis ini, sah iktikafnya wanita mustahadhah, sah pula shalatnya wanita mustahadhah, dan orang-orang yang dipersamakan dengan wanita mustahadhah itu, seperti orang yang selalu keluar air kencing, mazi, atau wadzi, dengan syarat tidak mengotori masjid.[]

(Disarikan dari kitab karya Syekh M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, berjudul Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, dengan beberapa perubahan). 

Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 22 Ramadhan 1443 / 22 April 2022


Oleh: K.H. M. Shiddiq Al Jawi
Ulama dan Ahli Fiqih Islam

Posting Komentar

0 Komentar