Ade Armando Ketiban 'Sial' Demo 11 April 2022: Inikah Eighenrichting (Main Hakim Sendiri) yang Diperbolehkan?


TintaSiyasi.com -- Demonstrasi mahasiswa tanggal 11 April 2022 di depan Gedung DPR MPR RI menyisakan tragedi yang penuh dengan polemik. Ade Armando (AA) dianiaya, bonyok dan ditelanjangi dihadapan masa aksi. Banyak yang mendesak untuk segera dicari dan diadili para pelaku penganiayaan tersebut. 

Sejak awal saya saksikan AA berada di tengah aksi massa sebenarnya sudah "mbatin" dalam hati, kok berani-beraninya AA masuk ke kandang singa. Apa tidak berbahaya mengingat selama ini sepak terjangnya sering membuat sebagian masyarakat meradang. 

Ia dikenal sebagai orang yang munafik, buzzer istana, dan penista agama. Ternyata dugaan saya benar AA digebukin sebagian peserta demonstrasi. Bonyok kepalanya dipermalukan hingga nyaris telanjang. Ketika diamankan pun tidak lagi mengenakan celana panjangnya, hanya sempak hitam yang sudah melorot pula. 

Peristiwa hukum pengroyokan atas AA ini kalau dalam dunia hukum disebut eighenrichting, main hakim sendiri. Apakah dibenarkan menurut hukum formal? Tentu tidak dibenarkan, mengingat perbuatan itu memnuhi unsur Tindak Pidana Penganiayaan bahkan bisa berakibat Pembunuhan. 

Namun, dalam praktik,  peristiwa ini sering dilakukan baik oleh Pemerintah, APH (penganiayaan, kekerasan, pembubaran ormas sepihak, extrajudicial killing KM 50) maupun oleh masyarakat (penganiayaan, kekerasan, pembunuhan, arakan bugil dan lain-lain). 

Menurut saya, ada empat faktor yang menjadi penyebab eighenrichting. Sebagian besar eighenrichting itu disebabkan oleh karena: 

Pertama, pengalaman masa lalu pelaku, terkait dengan tindak pidana yg dialaminya namun tidak ada penyelesaian secara adil dan tuntas oleh Pemerintah (APH); 

Kedua, APH kerapkali berbuat diskriminatif dlm penegakan hukum sehingga masyarakat merasa tidak percaya lagi (distrust). 

Ketiga, situasi dan kondisi in situ, ketika peristiwa terjadi. Misal ada provokasi dlm kerumunan massa aksi, demo dll sehingga tanpa kendali. Ini sdh masuk dlm hal psikologi massa. 

Keempat, kurangnya kontrol APH, petugas dan juga penanggung jawab keamanan setempat. Jadi boleh diduga ada semacam pembiaran oleh aparat atau setidaknya terjadi keteledoran APH. 

Untuk kasus AA ini keempat faktor ini menurut saya terpenuhi sebagai trigger eighenrichting. Yang paling kuat adalah diskriminasi dalam penegakan hukum. Seperti diketahui AA (yang dinilai sebagai buzzer)  ini sebenarnya telah ditetapkan sebagai tersangka atas penistaan Agama (Pasal 156 a KUHP) sejak 2017 dengan kasus yang bermula sejak 2015. Namun, kita tidak tahu kenapa seolah dia untouchable man oleh hukum berbeda dengan para aktivis, ulama dll yang berada di seberang kekuasaan di mana Aparat Penegak Hukum (APH) gercep alias gerak cepat untuk memprosesnya hingga memenjarakannya. 

Terkait dengan kasus AA ini, di dunia media sosial ramai dibicarakan hingga menjadi trending topic di twitter. Ada Tweet dari @siandi_ : 

"Gw ga membenarkan apa yang terjadi terhadap Ade Armando, tapi ini harusnya bisa dicegah. Jika pihak berwajib tidak pilih-pilih kasih terhadap laporan masyarakat. Yang terjadi ya pengadilan jalanan, untung ga mati itu orang". 

Pandangan saya terhadap cuitan @Siandi_ dalam konteks ini perlu kembali ke persoalan faktor trigger terjadinya eighenricting. Pasti terjadi polarisasi sikap masyarakat. Namun dalam perspektif hukum formal, peristiwa itu jelas bertentangan dengan hukum. Di satu sisi pihak buzzer kekuasaan pasti menentangnya sedangkan di sisi lain pihak seberang kekuasaan pasti mendukungnya dan terkesan merasa puas, seolah perasaannya telah diwakili oleh para pelaku eighenricting. Bahkan banyak sikap yang setuju jika perlu diterapkan juga terhadap buzzer yang diduga juga sebagai pelaku penistaan agama yang lain seperti Deny Siregar dan Abu Janda yang juga terkesan menjadi untouchable man. 

Dari peristiwa ini, adakah kekhawatiran bahwa satu kejadian ini akan mengubur esensi tuntutan dari BEM SI? Saya kira tuntutan BEM SI tidak akan terkubur dengan peristiwa ini. Aksi BEM SI tetap sangat bermakna terhadap 6 tuntutan. Setidaknya diakhir acara ada Wakil Ketua DPR Pak Sufmi Dasco Ahmad yang memastikan bahwa DPR berada di barisan yang sama dengan BEM SI untuk menolak perpanjangan jabatan presiden, penundaan pemilu ataupun presiden 3 periode. Berarti pula tidak ada amandemen terhadap UUD 1945. Sufmi menjamin bahwa Pemilu 2024 "akan dilaksanakan sesuai jadwalnya", yaitu 14 Februari dan 27 November untuk Pilkada serentak. 

Jika 6 tuntutan itu diabaikan oleh DPR dan Pemerintah, maka saya yakin BEM SI dan BEM lainnya serta elemen masyarakat lainnya akan berkolaborasi menuntut penegakan konstitusi, keadilan dan kebenaran. Jangan main-main dengan mahasiswa karena dari sisi sejarah, banyak sudah rezim yang bergururan dgn pola mahasiswa menjadi panglimanya. 

Peristiwa AA sebenarnya juga menunjukkan kepada kita bahwa, boleh orang sesumbar kebal hukum, tapi IA tidak akan kebal takdir, ditawur rakyatnya sendiri. Boleh orang merasa tak tersentuh hukum penguasa tapi dia tidak kebal hukumnya massa. Jika kita tidak hati-hati dan berbenah diri dalam penegakan hukum berkeadilan, maka Pengadilan Jalanan (Street Justice) bisa akan digelar di mana-mana. 

Tabik...!!!
Semarang, Selasa: 12 April 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki., S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar